Meleset dari target sepertinya sudah menjadi budaya di jajaran birokrat. Alasan-alasan kemudian disiapkan menjelang tenggat berakhirnya program agar publik percaya pemerintah atau pemerintah daerah sudah mengeluarkan kemampuan maksimal mereka. Tampaknya, hal itu juga berjalan pada program pembangunan ruang terbuka hijau di Ibu Kota.
Alasan yang sudah tersedia dan mudah: harga tanah terus melambung. Atau, pengadaan lahan tersendat karena dokumen tanah tidak beres serta tanah sedang dalam sengketa. Alhasil, dalam hampir 20 tahun luas ruang terbuka hijau (RTH) hanya bertambah nyaris 1 persen terhadap luas daratan DKI, dari 9 persen tahun 2000 menjadi 9,9 persen pada 2018.
Padahal, waktu tersisa cuma 12 tahun untuk mencapai target RTH seluas 30 persen dari luas DKI tahun 2030. Kompromi pun dibuat agar Jakarta tidak perlu mencapai target tersebut.
Kepala Seksi Perencanaan Pertamanan Dinas Kehutanan DKI Jakarta Hendrianto mengatakan, pihaknya mengusulkan agar istilah ruang terbuka hijau diganti menjadi ruang hijau. Dengan demikian, area hijau yang tidak menempati tanah tertentu, seperti taman vertikal atau taman di atap gedung pencakar langit, bisa dihitung sebagai capaian di 2030 nanti.
Fungsi RTH secara lengkap dijabarkan dalam lampiran Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Untuk fungsi ekologis, RTH antara lain berperan menjadi paru-paru kota, mengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami berlangsung lancar, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, serta penyerap polutan dari udara, air, dan tanah.
Pakar arsitektur lansekap dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, gemas dengan pesimisme Pemerintah Provinsi DKI mencapai RTH 30 persen. Apalagi, kendala yang disampaikan secara berulang, yaitu soal sulitnya mendapatkan tanah. ”Saya yakin 30 persen, bahkan lebih dari 30 persen itu bisa. Potensinya sudah ada, tinggal ditelusuri,” ucap Yudi, panggilan akrabnya.
Potensi bisa dilihat pada halaman 211 dari buku RTH 30%! Resolusi (Kota) Hijau yang ditulis Yudi bersama Iwan Ismaun dan terbit pada 2011. Dari data citra satelit yang tercantum di sana, potensi RTH DKI (2009) 21.517,02 hektar atau 33,38 persen, terdiri dari 1,45 persen di Jakarta Pusat, 5,68 persen di Jakarta Barat, 5,71 persen di Jakarta Selatan, 12,10 persen di Jakarta Timur, serta 8,44 persen di Jakarta Utara.
Luas RTH publik yang sudah ada sebesar 9,79 persen. Artinya, ada 23,59 persen lahan yang berpotensi digarap menjadi RTH. Agar bisa menjadi kenyataan, kata Yudi, Pemprov DKI harus berinovasi, keluar dari orientasi jual-beli tanah dalam mengadakan lahan RTH. Salah satu caranya, pemprov meminjam—bukan membeli—lahan kosong swasta untuk dijadikan RTH.
Penelusuran Kompas pada Jumat (31/5/2019), terdapat hamparan lahan yang luas dekat kawasan Sudirman Central Business District (SCBD), bersisian dengan pintu masuk Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Senayan, di Jakarta Selatan. Lahan ditumbuhi pohon dan semak belukar, tetapi setidaknya dua petugas keamanan terlihat menjaga aset lahan itu. Papan informasi di sana menyatakan, tanah merupakan milik PT GMN.
Tanah kosong yang terkesan tidak terurus juga bisa dilihat di sisi Halte Transjakarta Gatot Subroto Jamsostek, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Terdapat plang yang menyatakan tanah milik PT HJBP. Beragam tumbuhan dibiarkan hidup hingga rimbun menutupi lahan di sana.
Kedua area lahan kosong itu sama-sama ditutup dari publik menggunakan pagar seng tinggi. Coba bayangkan, betapa bahagianya karyawan kantor-kantor di sekitarnya jika lahan kosong dijadikan taman dan bisa untuk bersantai menikmati makan siang.
Setelah sekitar satu dekade sejak Yudi melontarkan ide penggunaan lahan swasta untuk RTH, Pemprov DKI sepertinya mulai merespons dengan membuat peraturan yang memaksa swasta pemilik lahan kosong membangun RTH. Gubernur DKI Anies Baswedan menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 41 Tahun 2019 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) kepada Wajib Pajak Orang Pribadi atas Obyek Pajak Bangunan berupa Rumah untuk Tahun Pajak 2019.
Berdasarkan pasal 3, PBB-P2 lahan kosong dikenakan dua kali lipat dari PBB-P2 terutang tahun berkenaan. Hal itu jika lahan kosong berada di Jalan MH Thamrin, Jenderal Sudirman, R Rasuna Said, Jenderal Gatot Subroto, dan MT Haryono. Namun, jika wajib pajak menjadikan tanah kosong itu sebagai RTH yang bisa dimanfaatkan oleh umum secara gratis, pemprov memberi diskon pembayaran PBB-P2 sebesar 50 persen.
Meskipun sama-sama berangkat dari ide memanfaatkan lahan kosong privat, Yudi mengkritik skema insentif-disinsentif itu sebagai kebijakan setengah hati. Dari perbincangannya dengan pelaku bisnis real estat, para pemilik tanah kosong kemungkinan lebih memilih membayar pajak dua kali lipat daripada mendapat diskon 50 persen, tetapi harus menyediakan dana untuk pembangunan RTH dan pemeliharaan rutinnya. ”Kan, pemiliknya lagi susah, tidak punya uang untuk membangun di tanah kosong mereka,” ujarnya.
Jika pemprov sepenuh hati ingin mempercepat penambahan RTH, Yudi mengusulkan agar pemilik tanah kosong yang dijadikan lahan RTH dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Selain itu, biaya pembangunan dan pemeliharaan rutin ditanggung pemprov. Biaya bisa berasal dari pengalihan anggaran pengadaan lahan yang amat besar setiap tahun.
Sebagai gambaran, dari anggaran dinas kehutanan tahun 2019 yang totalnya Rp 2,08 triliun, sebanyak Rp 1,55 triliun atau 74,5 persen untuk pengadaan lahan RTH. Adapun biaya pembangunan RTH sebesar Rp 114,57 miliar, sekitar 0,05 persen dari total anggaran dinas.
Alternatif solusi sudah nyata tersedia. Apakah pemprov masih akan berlindung di balik alasan harga tanah mahal untuk tidak mencapai RTH 30 persen?