Nusa Tenggara Barat adalah tempat lahirnya para pelari berbakat. Mereka berprestasi di tengah keterbatasan, terutama fasilitas atletik yang tak memadai. Mereka menanti perhatian agar dapat tumbuh lebih optimal.
”Di tanah merah berdebu ini dulu Lalu Muhammad Zohri berlatih. Tempat ini, kalau kemarau, berdebu menyesakkan dada. Kalau hujan, becek berlumpur yang membuat kami tidak bisa berlatih. Andai kondisinya lebih baik, mungkin setiap tahun bisa lahir Zohri-Zohri baru,” ujar pelatih sprint Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) NTB Made Budiasa, yang juga mantan sprinter nasional, di sela melatih di Lapangan PPLP NTB, Mataram, Sabtu (18/5/2019).
Sejarah atletik NTB amat panjang. Kisahnya diawali atlet lari jarak jauh Ismail Abidin (88). Atlet asal Bima itu merajai nomor 5.000 meter dan 10.000 meter pada kejuaraan tingkat nasional sejak 1953. Dia pun terpilih mewakili Indonesia pada sejumlah ajang muticabang, termasuk Asian Games Jakarta 1962, Ganefo 1963, dan Asian Games Bangkok 196.
”Dia adalah generasi awal atlet atletik Indonesia, seangkatan dengan Mohammad Sarengat dan Gurnam Singh. Dia yang mengawali sejarah atletik NTB yang berlanjut hingga kiini,” kata Muhdar, menantu Ismail yang juga pelatih lari jarak jauh Pelatda NTB .
Sejak itu, NTB terus melahirkan atlet cabang atletik. Setelah era Ismail, muncul pelari jarak jauh Muhammad Thayib di era 1970-an, pelari jarak jauh Ahmad Said pada 1980-an, peloncat tinggi Arya Yuniawan Purwoko pada 1990-an, sprinter Made Budiasa di awal 2000-an, hingga Zohri dan pelompat jauh Sapwaturrahman saat ini.
Namun, berbanding terbalik dengan prestasi atletnya yang luar biasa, sarana dan prasarana atletik di NTB sangat memprihatinkan. Saat ini, hanya ada dua tempat latihan atletik permanen yang semuanya berada di Mataram, ibu kota NTB, yakni Stadion Turide dan Lapangan Atletik PPLP NTB. Di kabupaten/kota lain, sama sekali tidak ada tempat latihan permanen.
Kondisi Stadion Turide yang dibangun sejak 2007 sangat buruk. Lintasan karet terkelupas dan terangkat di banyak tempat karena melepuh oleh panas menyengat. Lintasan lari itu penuh gumpalan akibat rongga lintasan yang terkelupas, seperti jerawat di wajah. Kalau tetap dipakai, lintasan yang terangkat itu bisa membuat pelari tersandung.
Lapangan PPLP NTB tak kalah buruk. Sejak dibangun 1997, lapangan itu tidak pernah direnovasi. Akibatnya, trek yang terbuat dari pecahan batu bata itu kini tak ubahnya tanah merah jalan setapak. Kondisi kian parah karena lintasan itu dipenuhi batu-batu lain serta tumbuhan liar. Kalau terjatuh, pelari pasti terluka. ”Tetapi, inilah tempat latihan lari terbaik di NTB saat ini,” tutur Made.
Jauh ke pelosok di luar Mataram, para dan calon atlet NTB lahir dibentuk alam. Hal itu terlihat di tempat asal Zohri, yakni Kabupaten Lombok Utara. Di sekitar kaki Gunung Rinjani itu, para atlet berlatih di pantai dan di gunung karena tidak ada fasilitas latihan lain. Padahal, alam di sana cukup keras. Suhu di pantai sangat terik, bisa mencapai 35 derajat celcius. Di gunung, jalannya naik turun cukup terjal. Atlet harus menjalani latihan yang amat keras di alam yang tak ramah.
Padahal, menurut pelatih lari PASI Lombok Utara yang menemukan bakat Zohri di SMP Negeri 1 Pemenang, Rosida, atlet remaja di bawah 18 tahun belum boleh menjalani latihan keras. Otot-otot mereka belum siap menerimanya. Jika dipaksakan bisa berakibat buruk untuk perkembangan tubuh mereka. Mereka mudah cedera saat menginjak usia emas.
”Kami tidak punya pilihan lain. Kalau tidak begini, kami tidak bisa latihan. Ada tempat alternatif, seperti di halaman sekolah atau lapangan sepak bola. Namun, tempat itu ramai dipakai oleh banyak orang,” ujarnya.
Para atlet NTB tak mau menyerah dan tetap berlatih dengan kondisi serba terbatas. Mereka menggantungkan asa dari atletik, apalagi setelah sukses Zohri, banyak atlet remaja bercita-cita bisa merubah nasib lewat prestasi di atletik. ”Kami ingin juga mencoba berlatih di tempat bagus. Lintasan tanah ini keras, sedangkan karet terasa empuk. Saat bertanding di lintasan karet, kami harus beradaptasi lagi,” ujar Lalu Agus Supianto (16), atlet lari 100 meter di PPLP NTB.
Anggaran terbatas
Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga NTB Husnanidiaty Nurdin mengakui tidak punya anggaran untuk memperbaiki fasilitas tersebut. Diperlukan anggaran Rp 14 miliar untuk memperbaiki lintasan lari Stadion Turide, dan Rp 200 miliar untuk merenovasi lapangan maupun asrama PPLP NTB.
Anggaran sudah diajukan pada Pemprov NTB tetapi belum ada respons, meski pihaknya sudah membuat cetak biru perbaikan PPLP NTB yang ditargetkan rampung 2020. ”Kami berharap timbal balik pemerintah pusat. Kami sudah menyumbang banyak atlet ke tingkat nasional, dan berharap fasilitas di sini lebih diperhatikan,” ujarnya.
Pelatih kepala sprint PB PASI Eni Nuraini menyampaikan, pembinaan atletik ditunjang empat faktor, yakni perhatian pemerintah, pembinaan yang baik, potensi atlet, dan fasilitas layak. Atletik NTB punya tiga modal utama, yakni perhatian pemerintah, pembinaan, dan sumber daya. ”Mereka butuh dilengkapi fasilitas yang layak. Apalagi nomor lapangan seperti lompat jauh, loncat tinggi, dan tolak peluru sangat bergantung dengan fasilitas yang layak,” tegasnya. (RUL/ZAK)