Jambi, Kompas— Titik-titik baru pembukaan lahan dalam habitat gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) kian meluas. Aktivitas tersebut semakin mempersempit ruang jelajah satwa itu dan memperparah konflik yang terus berulang.
Di Kabupaten Tebo, Jambi, konflik manusia dan Gajah Sumatera menyebar pada dua lokasi sekaligus dalam 4 hari terakhir. Konflik terjadi di Kelurahan Sungai Bengkal dan Desa Lingkaran Nago, Kecamatan Tebo Ilir.
Pemilik kebun sawit di Sungai Bengkal, Maulana, mengeluhkan kawanan gajah telah dua kali masuk ke kebun sawitnya pada Senin dan Rabu.“Sudah hampir 50 batang tanaman sawit saya rusak. Ada yang tercabut. Lainnya terinjak-injak,” katanya, Kamis (13/6/2019).
Pada Rabu (12/6/2019) dinihari, petani setempat menyalakan mercon di kebun untuk mengusir gajah. Warga pun terus berjaga-jaga demi mengantisipasi kawanan gajah kembali masuk ke kebun.
“Sekarang ini kami benar-benar was-was,” lanjutnya.
Diakui Maulana, masuknya gajah ke wilayah itu baru dua tahun terakhir. Itu terjadi tak lama setelah areal dibuka menjadi kebun sawit.
Terkait konflik yang terjadi, Kepala Seksi II Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Jambi, Wawan Gunawan, mengatakan, telah berupaya mengatasinya dengan cara melakukan translokasi gajah pada tahun 2018. Satu dari 4 gajah yang menjelajah di sana, dipindahkan ke kawasan restorasi ekosistem Hutan Harapan.Sekarang ini masih tersisa 3 gajah lagi di wilayah itu.
"Hampir tidak ada jalan bagi kawanan gajah masuk ke hutan karena begitu banyaknya pembukaan kebun baru. Setiap kali lewat akan selalu diusir, memaksa gajah berbalik arah,"
Setelah menjalani proses translokasi selama 36 jam, seekor gajah liar dispersal dari ekosistem Bukit Tigapuluh, Kabupaten Tebo,tiba di habitat barunya di Hutan Harapan, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Sabtu (6/10/2018) dinihari.
Penggiringan gajah liar itu dibantu 3 gajah terlatih yang didatangkan dari Pusat Pelatihan Gajah Minas, Riau. Translokasi itu menjadi bagian penyelamatan gajah tersisa dari ancaman konflik dan kepunahan.
Jika pembukaan kebun baru terus meluas, pihaknya memastikan konflik serupa bakal terus terjadi. Sejauh ini untuk menyelamatkan gajah tersisa, pihaknya mengupayakan penggiringan kelompok itu ke wilayah konsesi swasta yang masih berhutan.
Sebelumnya, Unit Mitigasi Konflik Gajah (ECMU) Frankfurt Zoological Society (FZS) memantau konflik yang terus meningkat. Pada 2010, terpantau 96 konflik manusia dan gajah. Tahun 2011, naik menjadi 130 kasus. Pada 2017, jumlahnya 271 konflik.
Puncaknya pada 2018, terpantau 346 konflik. Rangkaian kejadian itu telah mengakibatkan 9.161 tanaman karet dan sawit mati, 2.475 batang tanaman dan pondok rusak, serta kematian seekor gajah.
Tutupan hutan di dataran rendah ekosistem Bukit Tigapuluh menyusut drastis. Berdasarkan analisis citra tahun 1985, ekosistem itu seluas total 651.232 hektar masih bertutupan hutan 95 persen. Namun, pada 2005, tutupan menyusut menjadi 77 persen.
Tahun 2010, tutupannya tersisa 49 persen saja mencakup taman nasional, hutan produksi, dan sebagian kecil area penggunaan lain. Dalam habitat itu, populasinya terdata 400-an ekor gajah di tahun 1980-an, kini hanya tersisa 140-an ekor.