I La Galigo Dipentaskan Lagi di Ciputra Artpreneur
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bakti Budaya Djarum Foundation dan Yayasan Bali Purnanti bekerja sama dengan Ciputra Artpreneur akan menggelar pertunjukan musik dan teater I La Galigo pada 3, 5, 6, dan 7 Juli 2019 di Ciputra Artpreneur Theater. Naskah pertunjukan ini diadaptasi dari Sureq Galigo, sebuah wiracarita mitos penciptaan suku Bugis sekitar abad ke-13 hingga 15 yang diwariskan melalui tradisi lisan dan naskah-naskah, kemudian dituliskan dalam bentuk syair menggunakan bahasa Bugis dan huruf Bugis kuno.
Karya musik-teater I La Galigo ini disampaikan melalui tarian, gerak tubuh, dan penataan musik gubahan maestro musik Rahayu Supanggah di bawah penyutradaraan salah satu sutradara teater kontemporer terbaik dunia saat ini, Robert Wilson. Pertunjukan yang berdurasi dua jam ini akan menggunakan tata cahaya dan tata panggung yang spektakuler.
Untuk menciptakan ekspresi yang lebih dramatis, sebanyak 70 instrumen musik, mulai dari instrumen tradisional Sulawesi, Jawa, dan Bali akan dimainkan 12 musisi untuk mengiringi pertunjukan ini. Penataan bunyi dan musik ini merupakan sebuah hasil karya dan hasil kerja intensif melalui riset yang dipimpin Rahayu Supanggah.
“Mulai dari tahun 2001 kami mempelajari naskah tua yang dianggap sakral dalam budaya Bugis tersebut, sekaligus mendalami budaya Sulawesi Selatan. Setelah tiga tahun, akhirnya pada tahun 2004 kami melakukan pementasan pertama I La Galigo di Esplanade, Singapura yang kemudian melanglang buana ke 9 negara,” ujar Restu I Kusumaningrum, Ketua Yayasan Bali Purnati dan Direktur Artistik I La Galigo, Kamis (13/6/2019), di Jakarta.
Setelah 18 tahun berlalu, kini I La Galigo dipentaskan lagi di Ciputra Artpreneur. Pertunjukan yang telah dirangkai secara modern ini diharapkan dapat memperkenalkan naskah kuno asli Indonesia kepada generasi muda, sekaligus mengusik keingintahuan masyarakat untuk lebih mendalami seni budaya Indonesia sehingga tidak punah.
Konser keliling dunia
Sejak pentas perdananya di Esplanade Theatres on the Bay, Singapura pada 2004, pementasan I La Galigo secara beruntun digelar keliling ke kota-kota besar dunia, seperti Lincoln Center Festival di New York, Het Muziektheater di Amsterdam, Fòrum Universal de les Cultures di Barcelona, Les Nuits de Fourvière di Prancis, Ravenna Festival di Italy, Metropolitan Hall for Taipei Arts Festival di Taipei, Melbourne International Arts Festival di Melbourne, Teatro Arcimboldi di Milan, sebelum akhirnya kembali ke Makassar untuk dipentaskan di Benteng Rotterdam.
I La Galigo juga terpilih sebagai pementasan khusus berkelas dunia pada saat Annual Meetings IMF-World Bank Group 2018 di Bali. The New York Times menyebut pementasan I La Galigo sebagai "stunningly beautiful music-theater work" saat menjadi pembuka pada Lincoln Center Festival 2005.
“Banyaknya apresiasi yang diberikan terhadap pertunjukan I La Galigo baik di dalam maupun luar negeri membuktikan bahwa budaya kita luar biasa indahnya di mata dunia. Maka tak heran jika negara ini dijuluki zamrud khatulistiwa, karena Indonesia memang punya beragam potensi yang luar biasa,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.
I La Galigo merupakan sebuah harta seni budaya Indonesia yang tak kalah menarik dengan kisah Mahabharata maupun Ramayana. Sejak 2011, UNESCO telah mengakui I La Galigo sebagai Memory of the World untuk kategori warisan dokumenter. (ABK)