Pascakericuhan, Kantor Pemerintahan Hong Kong Tutup
Kantor pemerintahan Hong Kong tutup hingga akhir pekan pasca-aksi unjuk rasa besar-besaran warga Hong Kong menolak Rancangan Undang-Undang Ekstradisi. Tak hanya itu, sejumlah pusat perbelanjaan masih memilih tutup, dan tidak sedikit kantor yang menawarkan pegawainya bekerja dari rumah demi keamanan para pekerja.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
HONG KONG, KAMIS — Kantor pemerintahan Hong Kong tutup hingga akhir pekan pascakericuhan saat aksi unjuk rasa besar-besaran warga Hong Kong menolak Rancangan Undang-Undang Ekstradisi. Tak hanya itu, sejumlah pusat perbelanjaan masih memilih tutup, dan tidak sedikit kantor yang menawarkan pegawainya untuk bekerja dari rumah demi keamanan mereka.
Otoritas Hong Kong menutup kantor-kantor pemerintahan di kawasan Central, pusat bisnis di Hong Kong, yang menjadi lokasi aksi unjuk rasa. Pengamanan di sekitar kantor juga diperketat.
Barisan anggota polisi berseragam menggunakan helm dan pelindung terlihat berjaga-jaga di sekitar kantor Dewan Legislatif Hong Kong, Distrik Admiralty. Warga yang menggunakan kereta komuter juga diperiksa identitasnya oleh polisi.
”Saya tidak tahu rencana para pendemo hari ini, kami hanya mengikuti. Akan tetapi, kami pikir demo akan lebih kecil dibandingkan kemarin dan juga lebih damai setelah apa yang terjadi kemarin,” kata Ken Lam, salah satu peserta aksi.
Sementara mayoritas jalan di sekitar Central telah dibuka pada hari ini. Namun, Pacific Place yang merupakan pusat perbelanjaan besar di samping kantor Dewan Legislatif Hong Kong tetap tutup.
Sejumlah bank di pusat bisnis menyatakan tetap beroperasi. Hanya saja, banyak di antaranya yang menawarkan pegawainya untuk bekerja dari rumah.
Beberapa kantor cabang bank yang memilih tutup seperti Bank Standard Chartered, Bank of China, dan DBS.
”Sebagai pencegahan, kami menutup dua kantor lebih awal saat aksi aksi protes berlangsung. Prioritas kami adalah keamanan bagi para pekerja dan mendukung para nasabah,” demikian pernyataan dari HSBC.
Ratusan pendemo terlihat masih berkeliaran di jalan membawa makanan dan masker di sekitar kantor Badan Legislatif. Beberapa menyatakan tidak akan berhenti berunjuk rasa hingga RUU Ekstradisi dibatalkan.
Pada Rabu (12/6/2019), ratusan warga Hong Kong melanjutkan aksi demo menolak RUU Ekstradisi. RUU Ekstradisi akan membuat Hong Kong dapat mengekstradisi warganya ke China. Warga menolak karena China yang berpaham komunis memiliki sistem peradilan yang berbeda.
Selain itu, ekstradisi ditentang karena dinilai melanggar sistem hukum, kebebasan berpendapat, dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) yang selama ini membedakan Hong Kong dan China.
RUU juga dinilai semakin memperdalam kontrol China atas Hong Kong yang direncanakan melebur dengan China pada 2047.
Kericuhan yang terjadi saat aksi unjuk rasa kemarin menjadi yang terburuk di Hong Kong sejak diserahkan oleh Inggris ke China pada 1997. Polisi menembakkan peluru karet, gas air mata, dan semprotan merica untuk membubarkan massa.
Menurut otoritas Rumah Sakit Hong Kong, sebanyak 72 orang dibawa ke rumah sakit hingga pukul 22.00.
Aksi unjuk rasa itu berhasil membuat pembacaan RUU di depan Dewan Legislatif Hong Kong ditunda. Namun, pemungutan suara untuk mengesahkan RUU Ekstradisi direncanakan tetap digelar pada 20 Juni.
Sebelumnya, aksi unjuk rasa serupa digelar pada Minggu (9/6/2019). Sekitar 1,03 juta orang turun ke jalan sehingga membuat aksi ini menjadi demonstrasi terbesar setelah 1997. Aksi protes itu juga berakhir dengan kericuhan.
Sekalipun berhari-hari ditekan aksi unjuk rasa, Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam bersikukuh tidak akan membatalkan RUU Ekstradisi. Pemerintah menjamin HAM tidak akan dilanggar ketika legislasi itu diterapkan.
Seruan dunia
Sejumlah negara dan komunitas internasional turut menyuarakan kekhawatiran atas pengajuan RUU Ekstradisi. Mereka juga menyoroti aksi protes besar-besaran yang dilakukan oleh warga Hong Kong.
Perdana Menteri Inggris Theresa May, misalnya, khawatir RUU itu akan berdampak khususnya terhadap warga Inggris yang menetap di sana.
Sementara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dapat mengerti dengan alasan digelarnya aksi unjuk rasa itu. Dia pun berharap China dan Hong Kong segera menemukan solusi dari persoalan tersebut.
Begitu pula Uni Eropa (UE) yang memahami kekhawatiran warga Hong Kong atas RUU Ekstradisi. UE berpendapat, RUU memiliki dampak jangka panjang terhadap warga Hong Kong, UE, warga asing, dan iklim bisnis di Hong Kong.
Untuk itu, UE meminta hak warga Hong Kong dihormati. UE juga meminta Hong Kong agar melakukan konsultasi dengan publik secara mendalam sebelum melanjutkan RUU Ekstradisi.
Selain UE, Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Geneva turut mencermati gejolak yang muncul di Hong Kong. Kantor HAM PBB mendorong seluruh pihak mengekspresikan pendapat dengan damai. Otoritas Hong Kong juga diminta berdialog dengan warga Hong Kong mengenai RUU Ekstradisi. (Reuters/AP/AFP)