”Saya semula tidak mau diajak Pak Bupati (Abdullah Azwar Anas) berkunjung ke Muncar karena bau, jorok, dan becek. Namun, dia memastikan Muncar tidak seperti dulu,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ketika berkunjung ke Muncar, Banyuwangi, Kamis (4/4/2019).
Benar saja, kawasan Pasar Ikan dan Pelabuhan di Muncar tak sekotor dulu. Bau amis ikan bisa ditoleransi, jalan juga tak lagi sebecek dulu.
Puji Hartono, warga Muncar, mengungkapkan, dulu jalanan becek akibat genangan minyak ikan 10-20 cm. Itu faktor pemicu bau. ”Kami kalau mau ke kota malu. Baju sudah disemprot pakai parfum tetap bau amis,” ujarnya.
Kini, bau amis itu tak terlalu mengganggu. Jalanan juga terbebas dari genangan minyak ikan. Kalaupun ada genangan masih wajar.
Selain pembangunan infrastruktur berupa peninggian dan betonisasi, perubahan wajah Muncar juga karena hal lain. Tangkapan lemuru—ikon dan primadona di Muncar—merosot drastis.
Tahun 2009, tangkapan lemuru di Muncar 28.446.134 kilogram. Tahun 2018, hanya 730.715 kg . ”Sekarang tidak ada minyak ikan tercecer karena lemurunya tidak ada. Waktu masih melimpah, minyak lemuru bercampur buangan limbah pabrik pengalengan,” kata Asnawi, warga Muncar yang juga pengusaha ikan asin.
Asnawi merasakan keterpurukan Muncar. Dulu, bagaikan kota tak pernah tidur, setiap malam seperti pasar malam. Ingar bingar musik dari warung-warung terdengar sepanjang hari. Kala itu, lalu lintas dipadati becak dan kuli-kuli angkut dari pelabuhan ke pabrik-pabrik. Jalanan di sekitar Muncar macet setiap hari.
”Orang tidak tidur karena banyak aktivitas di pelabuhan. Lampu-lampu kapal menyala. Sekarang, ramai hanya pagi sampai siang. Selanjutnya sepi,” ucap Asnawi. Hal senada disampaikan Umar Hasan Zein, nelayan. Saat masih berlimpah lemuru, kemacetan bukan hanya di darat, melainkan juga di laut.
Sebelum tahun 2009, kata Umar, lebih dari 100 ton lemuru dibongkar muat dalam sehari. Satu kapal bisa menangkap hingga 20 ton. ”Lemuru terakhir muncul sebelum Pemilu (17 April), setelah itu tidak muncul lagi. Baru kemarin, Jumat (24/5), ada satu kapal yang dapat, itu pun hanya 3 ton,” katanya.
Saking banyaknya kapal pengangkut lemuru yang hendak bongkar muat, mereka antre. Setiap kapal butuh 3-4 jam bongkar muat. Kini, jangankan antre, bongkar saja kadang tidak. Tak ada ikan. Banyak nelayan beralih jadi buruh atau merantau ke daerah lain, seperti Bali. Sejumlah perempuan memilih menjadi tenaga kerja wanita.
Berdasarkan data Dinas Pangan dan Perikanan Banyuwangi, jumlah nelayan Muncar saat ini 13.189 orang. Kalaupun berkurang, tidak banyak. ”Status mereka masih nelayan kendati memiliki mata pencarian lain. Ada yang sesekali menjadi kuli bangunan, berdagang, dan lainnya. Kalaupun pindah ke daerah lain atau pulau lain atau jadi TKI, jumlahnya tidak banyak,” ujar Kepala Dinas Pangan dan Perikanan Banyuwangi Hary Cahyo Purnomo.
Gaya hidup
Penurunan tangkapan memengaruhi gaya hidup masyarakat Muncar. Warga yang dulu sejahtera karena lemuru, perlahan prihatin. Sri Maryati (37), pedagang ikan, saksi hidup perubahan kampung halaman. Awalnya, Muncar terkenal dengan industri pengalengan ikan lemuru yang berlimpah. Itu meredup sejak 2009.
”Dulu mau beli apa saja bisa, sekarang justru menjual barang-barang. Dulu ibu-ibu seperti kami biasa pakai perhiasan emas dari ujung jari sampai lengan. Saking banyaknya, tangan sampai susah menekuk,” ucap Sri yang mengenakan sebuah cincin. Saat itu, emas sangat mudah dibeli dari hasil tangkapan lemuru yang berlimpah ruah. Ia mengantongi uang penjualan puluhan kilogram lemuru ke pabrik pengalengan setiap harinya.
Kini, semua itu tak mudah lagi. Ditemui di sela-sela kesibukan menawarkan ikan di Pasar Pelelangan Ikan Muncar, Sri memilah ikan-ikan yang sudah rusak ke dalam satu ember tersendiri, lalu dijual ke pabrik penepungan.
Sungguh, saat ini semua bagian tubuh ikan sangat berarti. Sisa kepala dan tulang ikan pun sangat berarti. ”Kalau dulu, jangankan sisa kepala dan tulang, ikan yang masih bagus saja dibuang-buang karena berlimpah. Sekarang lemuru hilang, sisa-sisa ikan rusak masih dicari untuk masuk penepungan,” ujarnya.
Saat lemuru berlimpah, pabrik pengalengan bisa menolak ikan nelayan. Saking berlimpahnya ikan, penepungan juga menolak. Alhasil, ikan-ikan dibuang lagi ke laut.
Jejak kejayaan lemuru adalah 16 pabrik pengalengan ikan dalam satu kawasan sejak 1970-an. Muncar menjadi sentra industri pengalengan ikan tertua dan terbesar di Indonesia. Kini, seiring kepergian lemuru dan bersihnya kawasan Muncar, pergi pula kemonceran itu. Entah, sampai kapan.
(ANDREAS BENOEANGGER PUTRANTO)