Paceklik Lemuru Guncang Muncar
Sepuluh tahun terakhir, jumlah tangkapan lemuru di Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur, anjlok drastis. Nelayan dan pabrik pengalengan sama-sama kesulitan. Ada yang beralih profesi, ada yang tutup pabrik.
BANYUWANGI, KOMPAS Paceklik berkepanjangan ikan lemuru (Sardinella lemuru) melanda rantai bisnis perikanan di Muncar. Jumlah tangkapan ikan ikon pelabuhan dan sentra pengalengan ikan itu anjlok dalam 10 tahun terakhir.
Dampak penurunan tangkapan lemuru tidak hanya dirasakan nelayan dan pabrik pengalengan, tetapi juga sebagian besar masyarakat Muncar. Semua pelaku usaha perikanan di Muncar dipaksa beradaptasi dengan berbagai cara.
Data Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar Dinas Perikanan Jawa Timur menunjukkan penurunan drastis tangkapan lemuru. Tahun 2009, tangkapan 28.446.134 kilogram, sedangkan 2018 hanya 730.715 kg lemuru. Periode 2011-2015, tangkapan lemuru meningkat. Namun, tetap tidak menyamai tangkapan tahun 2009.
Hal itu dibenarkan Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Banyuwangi Hasan Basri, Rabu (12/6/2019). ”Hilangnya lemuru membuat pendapatan semua pelaku perikanan terganggu karena penurunan pendapatan hingga 50 persen. Nelayan beralih alat tangkap, bahkan mencari pekerjaan cadangan untuk bertahan,” katanya di Banyuwangi.
Kini, banyak nelayan menjadi pedagang atau kuli bangunan saat tangkapan tidak banyak. Mereka kembali melaut saat tangkapan potensial.
Hal senada disampaikan nelayan sekaligus pemilik kapal, Umar Hasan Zein. Lemuru adalah simbol kesejahteraan masyarakat Muncar karena sektor industri hingga nelayan kecil dapat untung dari lemuru.
Penurunan drastis tangkapan lemuru dirasakan langsung oleh Umar. Sebelum 2009, setiap kapal bisa mendapat 20 ton per hari, sedangkan kini hanya beberapa kapal yang mampu mendapat lemuru maksimal 5 ton per hari.
”Dulu saya bisa dapat Rp 300.000 hingga Rp 500.000 sekali berangkat melaut dari sore hingga esok pagi. Sekarang, nelayan hanya dapat Rp 30.000 hingga Rp 50.000 per hari. Bahkan, kadang pulang tanpa uang sepeser pun,” ucapnya.
Kondisi itu membuat beberapa teman Umar beralih jadi tukang bangunan. Bahkan, mencari kerja hingga Bali dan Kalimantan. Beberapa istri nelayan terpaksa menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri.
Dampak menghilangnya lemuru juga dirasakan para kuli angkut ikan yang biasa membawa ikan dari dermaga ke pabrik-pabrik pengalengan. Hilangnya lemuru berarti hilangnya komoditas mereka.
Kini, para kuli angkut itu hanya mengangkut ikan-ikan dari dermaga ke sejumlah gudang pendingin. Jumlahnya tentu tidak sebanyak lemuru. Mereka tidak lagi mengangkut puluhan ton ikan, tetapi hanya belasan ton.
”Saat lemuru masih berlimpah, saya bisa dapat uang hingga lebih dari Rp 1 juta. Sekarang hanya membawa pulang Rp 150.000. Hasil itu dapat dari mengangkut di beberapa kapal yang bongkar muat,” ujar Ahmad, kuli angkut di Tempat Pelelangan Ikan Muncar.
Merespons situasi, kata Hasan, nelayan yang biasa mencari lemuru menggunakan alat tangkap purse sein (pukat cincin), beralih menggunakan gillnet (jaring insang). Tangkapan pun berubah jadi tongkol atau kembung.
Kendati harga jual per kilogram tinggi, jumlah tangkapan tongkol atau kembung tidak dapat sebanyak tangkapan lemuru. Selain bergerak lebih lincah, populasi tongkol dan kembung di bawah lemuru.
Industri terpukul
Penurunan drastis tangkapan lemuru juga mendampak sektor industri. Ketua Asosiasi Pengusaha Pengalengan Ikan Indonesia (Apiki) Ady Saputra mengungkapkan, dampak fenomena itu sangat signifikan bagi industri pengalengan ikan.
”Industri pengalengan sangat terpengaruh, terutama bagi industri yang bersandar pada hasil tangkapan lemuru di Selat Bali. Lemuru mulai berkurang setelah 2009. Dampaknya, industri pengalengan ikan harus impor bahan baku lemuru pertama kali pada 2011 demi memenuhi kebutuhan,” katanya.
Guncangan keras dirasakan industri pengalengan pada 2009-2011. Beberapa pabrik di Muncar tutup. Namun, Ady tak menyebut berapa pabrik yang tutup. Ia ingat ada satu pabrik pengalengan di Pengambengan, Bali, juga ikut tutup.
Beberapa pabrik yang tidak tutup, kata Ady, terseok-seok. Pabrik-pabrik itu hanya beroperasi saat ada bahan baku. ”Seminggu mungkin hanya dua hari mereka beroperasi. Jumlah produksinya juga di bawah kapasitas terpasang,” ucapnya.
Salah satu pabrik yang masih eksis adalah PT Pasific Harvest. Kebijakan impor bahan baku dan persediaan lemuru di gudang penyimpanan membuat mereka mampu bertahan.
”Kami bisa survive karena masih ada persediaan lemuru cukup banyak. Namun, kami juga harus impor lemuru dari Pakistan, China, Yaman, Oman, dan Jepang 1.000 ton hingga 2.000 ton per bulan. Dampaknya, biaya produksi naik 10 persen hingga 15 persen,” kata Direktur PT Pasific Harvest Sherly Indrawati.
Marketing Manager PT Blambangan Food Packers Handoko juga mengungkapkan guncangan yang ia rasakan. Peluang bisnis terganggu karena permintaan yang ada tidak didukung pasokan bahan baku.
”Hal itu berdampak pada karyawan. Serapan tenaga kerja berkurang. Saat masih banyak pasokan, pekerja borongan, harian, dan tetap bisa 300 hingga 500 orang. Saat ini, maksimal hanya 300 orang,” ujarnya.
Muncar merupakan sentra pengalengan ikan terbesar dan tertua di Indonesia. Pabrik pengalengan di sana tahun 1970-an pernah memiliki 16 pabrik dalam satu kawasan.
Hilangnya lemuru sebagai ikon bisnis di Muncar mengguncang sentra industri pengalengan Muncar. Lemuru menjadi bahan baku penting bagi industri pengalengan karena minat pasar masih cukup tinggi.(GER)