Pembatasan Media Sosial Jangan Merugikan Hak Publik
Oleh
SHARON PATRICIA DAN I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah, Kamis (13/6/2019), menyatakan akan kembali membatasi akses media sosial (medsos) apabila lalu lintas percakapan yang ekstrem meningkat saat sidang perdana perselisihan hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi.
Namun, pemerintah juga diminta untuk terlebih dulu mengkaji rencana batasan itu dengan jelas dan sesuai dengan ketentuan dalam three-part test atau uji tiga sebelum membatasi penggunaan medsos itu.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menegaskan, pilihan membatasi akses medsos hanya akan digunakan jika betul-betul dibutuhkan.
Kebijakan tersebut pernah diambil pemerintah saat menangani kerusuhan 21-22 Mei 2019 di depan kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Saat itu, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika membatasi akses medsos karena berita hoaks sudah menyebar luas. Pemerintah juga menilai, percakapan di medsos sudah makin ekstrem dan mengadu domba masyarakat.
“Saat itu berita bohong menyebar, kemudian menjadi liar dan membangun opini publik. Kondisi itu mengakibatkan kekacauan informasi, sehingga tidak membantu pengamanan tapi justru menambah beban pengamanan,” ujar Wiranto di Jakarta.
Wiranto berharap masyarakat turut berpartisipasi dengan tidak memproduksi dan menyebarkan berita-berita bohong yang berpotensi memecah belah kesatuan dan persatuan. Dengan begitu, ia memastikan pemerintah tak akan membatasi akses medsos.
“Saya berjanji kalau keadaannya cukup aman dan tidak ada kegiatan medsos yang ekstrem. Ya pemerintah tidak akan apa-apakan. Itu juga merugikan kepentingan masyarakat,” katanya.
Ditemui secara terpisah, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Ari Pramuditya meminta agar pemerintah benar-benar mengkaji batasan yang jelas dan sesuai dengan ketentuan dalam three-part test atau uji tiga rangkai. Kajian ini harus dilakukan sebelum mengambil kebijakan pembatasan layanan medsos.
“Ketiga uji rangkai itu, yakni pembatasan harus dilakukan hanya melalui undang-undang, pembatasan hanya diperkenankan terhadap tujuan yang sah yang telah disebutkan dalam Pasal 19 ayat 3 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan pembatasan tersebut benar-benar diperlukan untuk menjamin dan melindungi tujuan yang sah,” tutur Ari.
Kajian ini penting dilakukan untuk memastikan tidak dirugikannya hak dan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Misalnya, dalam hal komunikasi dan aktivitas ekonomi yang dilakukan melalui medsos.
Selain itu, apabila ada suatu keadaan darurat yang menyebabkan pembatasan terhadap HAM tertentu sebagaimana diatur dalam ICCPR, maka presiden harus membuat penetapan secara resmi bahwa negara dalam keadaan darurat melalui Keputusan Presiden.
Ari menjelaskan, keadaan darurat dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti penyebab atau ancaman yang timbul dari luar (eksternal) atau dari dalam negeri (internal). Ancamannya dapat berupa ancaman militer atau dapat pula tidak bersenjata seperti teror bom dan keadaan darurat lainnya.
Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa tersebut, konstitusi memberikan kekuasaan kepada kepala negara atau pemerintah untuk menilai dan menentukan negara dalam keadaan darurat.
“Bisa juga apabila suatu keadaan tidak termasuk keadaan darurat, namun pemerintah merasa perlu membuat penetapan, maka tindakan itu harus merupakan tindakan hukum yang diumumkan oleh pejabat hukum tertinggi di Indonesia, yaitu Jaksa Agung sehingga tidak menjadi kebijakan politis,” kata Ari.