LONDON, RABU— Para kandidat perdana menteri Inggris pengganti Theresa May kini harus menegaskan sikapnya apakah Inggris akan keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober 2019 dengan atau tanpa kesepakatan.
Sejumlah kandidat pimpinan Partai Konservatif yang otomatis akan menjadi perdana menteri sudah menegaskan bahwa Brexit akan terjadi pada akhir Oktober meskipun itu tanpa kesepakatan. Namun, kubu oposisi yang dimotori Partai Buruh kini menyusun kekuatan gabungan di parlemen untuk mencegah hal itu. Kubu ini berupaya mengegolkan legislasi yang mencegah Inggris keluar dari UE tanpa kesepakatan.
Partai Buruh telah merangkul Partai Nasional Skotlandia, Partai Liberal Demokrat, juga anggota parlemen Partai Konservatif yang pro-Brexit dengan kesepakatan, untuk mengagendakan RUU itu pada 25 Juni mendatang.
”Perdebatan Brexit di tubuh Konservatif telah mencapai titik yang mengkhawatirkan dan sangat ceroboh. Tak ada satu pun kandidat PM yang memiliki rencana kredibel mengenai bagaimana membuka kebuntuan sebelum akhir Oktober,” kata juru bicara Partai Buruh, Keir Starmer.
Terkait dengan hal itu, lanjut Starmer, anggota parlemen tidak bisa berpangku tangan melihat langkah-langkah para kandidat PM yang ingin mendorong agar Brexit keluar dari UE tanpa kesepakatan.
Mantan menteri Brexit, Dominic Raab, bahkan mengusulkan agar parlemen dibekukan sampai dengan 31 Oktober sehingga rencana Inggris keluar UE tanpa kesepakatan bisa terwujud.
Tetap buntu
Siapa pun yang terpilih sebagai PM menggantikan Theresa May akan sulit menguraikan kebuntuan politik karena semua jalan yang diusulkan pernah dilakukan May tetapi tetap tidak mampu meraih dukungan dari parlemen.
May sudah pernah meminta revisi Kesepakatan Brexit (ditandatangani bersama Uni Eropa pada November 2018) sebanyak dua kali kepada Brussels, termasuk meminta mundur tenggat Brexit dari seharusnya Maret 2019 menjadi Oktober 2019.
May juga sudah memperjuangkan keinginan kelompok hard Brexit yang menolak pasar tunggal Eropa dan pabean bersama. Ia juga sudah mengusulkan opsi yang diminta oposisi. Namun, semua upayanya itu tidak menghasilkan dukungan mayoritas anggota parlemen.
Siapa pun yang terpilih sebagai PM menggantikan Theresa May akan sulit menguraikan kebuntuan politik
Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker, Rabu (12/6/2019), menegaskan, Brussels menganggap kesepakatan Brexit telah selesai dan tidak akan bersedia membuka kembali negosiasi. ”Ini adalah traktat yang terjadi antara Inggris dan Uni Eropa, bukan traktat antara Juncker dan Theresa May. Siapa pun yang akan menjadi perdana menteri harus menghormati ini. Tak akan ada negosiasi lagi,” kata Juncker yang akan habis masa jabatannya tepat pada 31 Oktober.
Dari 10 kandidat PM Inggris, nama mantan Menlu Boris Johnson disebut-sebut berpeluang paling besar. Hanya saja, bagi kalangan bisnis ataupun investor di Inggris, Johnson adalah ”mimpi buruk” karena sejak awal ia mendukung hard Brexit dan mendukung Inggris keluar dari UE tanpa kesepakatan. Kandidat lainnya yang juga berpeluang adalah Menlu Inggris Jeremy Hunt dan Menteri Lingkungan Michael Gove. (REUTERS/AFP/MYR)