Politisi Senior Dorong KLB untuk Penyelamatan Partai
JAKARTA, KOMPAS – Penurunan perolehan suara Partai Demokrat pada Pemilu 2019 menjadi dasar sejumlah politisi senior Partai Demokrat untuk mendeklarasikan Gerakan Moral Penyelamat Partai Demokrat. Gerakan ini menilai, demi meraih kejayaan kembali, upaya perbaikan tata kelola partai diperlukan; kongres luar biasa (KLB) dinilai dapat menjadi sebuah solusi.
Perubahan struktural partai juga dinilai dapat menjadi jalan menuju koalisi pendukung pemerintahan guna mempersiapkan mesin partai untuk Pilkada 2020 dan Pemilu 2024.
Beberapa politisi senior Partai Demokrat seperti Anggota Majelis Tinggi Max Sopacua dan Ahmad Mubarok pada Kamis (13/6/2019) di Jakarta mendeklarasikan Gerakan Moral Penyelamat Partai Demokrat (GMPPD). Gerakan ini dinilai diperlukan akibat menurunnya perolehan partai yang terus terjadi sejak 2009.
Pada Pemilu 2009, Demokrat menjadi partai pemenang pemilu dengan perolehan 20,85 persen. Namun perolehan ini terus menurun. Pada Pemilu 2014 suara Demokrat menurun menjadi 10,19 persen, dan Pemilu 2019 menjadi 7,7 persen.
“Kami adalah Gerakan Moral Penyelamat Partai Demokrat, kami ingin menyelamatkan Partai Demokrat ini. Pada pemilu sekarang ini, Partai Demokrat memperoleh 7,7 persen dan berada di peringkat ke-7. Kami ingin pada 2024 menanjak kembali, karena partai ini pernah mengalami masa sebagai partai berkuasa, partai nomor 1,” kata Max.
Melalui pernyataan tertulis yang diberikan usai konferensi pers digelar, GMPPD juga mendorong kongres luar biasa (KLB) untuk digelar selambat-lambatnya 9 September 2019. "KLB dinilai perlu digelar untuk menyongsong Pilkada 2020 dan mengembalikan kejayaan Partai Demokrat di 2024,” demikian bunyi salah satu poin dalam pernyataan tertulis tersebut.
Pada Pemilu 2014 suara Demokrat menurun menjadi 10,19 persen, dan Pemilu 2019 menjadi 7,7 persen.
Dukung pemerintah
GMPPD menegaskan bahwa Demokrat akan tetap bersama koalisi Prabowo-Sandi hingga proses di MK selesai.
Namun, GMPPD juga mengisyaratkan dorongan agar Demokrat bekerja sama dan mendukung koalisi pemerintah pasca putusan MK.
Salah satu poin pernyataan tertulis berbunyi, “Seluruh kader Demokrat dapat bekerjasama dengan pihak manapun, termasuk mendukung dan bekerjasama dengan kepemimpinan nasional Presiden RI-Wakil Presiden RI yang disahkan Konstitusi untuk kepentingan dan masa depan bangsa dan negara.”
Baca juga : Sinyal Demokrat Merapat ke Kubu Pemerintah
Perlu perubahan
Max mengisyaratkan bahwa diperlukan ada pembaruan struktur organisasi melalui KLB. Ia mengatakan, pembenahan organisasi harus melalui pembaruan tatanan organisasi. Dan, pembaruan tatanan organisasi baru berjalan baik apabila ada sumber daya manusia yang baik. “Dan SDM yang baik berarti harus ada perubahan. Bisa saja lewat KLB,” kata Max.
Menurut Max, apabila KLB digelar sebagai peresmian putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sebagai ketua umum Partai Demokrat, maka itu dapat diterima. “Kalau KLB, ya AHY yang jadi acuan dasar bagi kita maju sebagai pemimpin,” kata Max.
Hingga Kamis pukul 21.00 WIB, belum ada pernyataan sikap dari DPP Partai Demokrat terhadap wacana KLB tersebut. Para fungsionaris DPP seperti Sekjen Hinca Panjaitan dan Wakil Ketua Umum Syarif Hasan tidak merespon permintaan tanggapan dari Kompas.
Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat Imelda Sari pun mengatakan, ia pun masih menunggu arahan dari Hinca.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai, wacana kongres luar biasa untuk merombak pejabat struktural partai adalah sebuah respon internal partai terkait penurunan perolehan suara partai pada Pemilu 2019.
Menurut Arya, wacana ini dimunculkan oleh sebuah faksi baru di dalam partai yang tidak sejalan dengan kepengurusan saat ini. “Faksi itu percaya bahwa mulai ada suara-suara internal yang melihat kebijakan partai tidak berhasil menaikkan suara partai,” kata Arya.
Arya juga melihat bahwa usulan KLB bisa dibaca sebagai bentuk kritik internal terhadap sikap Demokrat yang tidak jelas. “Kadang berada di luar (koalisi pemerintah) kadang berada di dalam,” kata Arya.
Reposisi politik dan sumber daya
Dengan demikian, usulan KLB juga bisa dilihat sebagai cara untuk melakukan reposisi politik. “Tetapi ini masih harus melihat bagaimana hasil KLB itu apabila sekiranya jadi digelar,” kata Arya.
Penggunaan KLB atau musyawarah nasional luar biasa untuk melakukan reposisi politik adalah hal yang lazim. Seperti pada 2016, munaslub Partai Golkar yang memutuskan Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar juga menghasilkan keputusan bahwa partai tersebut beralih mendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Sementara itu, Peneliti Populi Center Jefri Adriansyah menilai, reposisi Partai Demokrat melalui mekanisme KLB ke dalam koalisi pendukung pemerintah tidak dapat dihindari. Apabila AHY resmi menjabat kursi ketua umum, posisi tawar Partai Demokrat kepada koalisi pemerintah akan lebih kuat.
“Dengan KLB, Demokrat mungkin juga ingin memperjelas posisi AHY agar nanti ketika dikandidasikan dalam perebutan kursi menteri, ada posisi jabatan yang jelas sebagai bargaining position, tetapi saya melihat ada kepentingan yang lebih kuat untuk menyongsong Pilkada 2020 ke depannya,” kata Jefri.
Terlebih lagi, posisi di dalam pemerintahan menjadi sangat krusial bagi operasional partai. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus berpandangan, guna dapat bertarung dalam berbagai kontes demokrasi di masa mendatang, partai perlu akses terhadap sumber daya. Dan tidak dapat dimungkiri, akses terhadap sumber daya paling mudah berada di sisi pemerintah.
Mencoreng partai
GMPPD juga menilai, berbagai pernyataan yang disampaikan oleh berbagai pengurus partai, seperti Wakil Sekjen Rachland Nashidik, Ketua Divisi Advokasi dan Hukum Ferdinand Hutahaean, dan Andi Arief telah mencoreng Demokrat yang dikenal sebagai partai yang santun dan bermartabat.
Sebelumnya, para pejabat Partai Demokrat tersebut menyatakan keengganannya untuk terus terlibat pada koalisi pengusung capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Contohnya, Ferdinand pernah menyatakan melalui Twitternya pada 19 Mei 2019 untuk berhenti mendukung Prabowo-Sandi secara pribadi.
Sedangkan Rachland mencuit di Twitter pada Minggu (9/6/201) bahwa sebaiknya Prabowo membubarkan koalisi.
Mengenai reaksi GMPPD tersebut, Rachland menyatakan bahwa ia tidak akan berkomentar lebih lanjut. “Saya no comment. Saya tidak ingin berbantahan dengan sesama kader di hadapan orang lain,” kata Rachland.