Tujuh Hari di Markas Uni Eropa
”Be careful with your dream, your dreams might come true”. Ungkapan tersebut sepertinya sesuai menggambarkan perasaan saya ketika untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Brussels, Belgia.
”Be careful with your dream, your dreams might come true”. Ungkapan tersebut sepertinya sesuai menggambarkan perasaan saya ketika untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Brussels, Belgia.
Sejak lama, saya memang bermimpi bisa berkunjung ke Benua Biru, Eropa. Siapa sangka, harapan itu terwujud saat tulisan saya yang berjudul ”Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan” mendapat penghargaan dari Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam dengan hadiah jalan-jalan ke markas Uni Eropa di Brussels.
Informasi mengenai penghargaan dari Uni Eropa itu saya dapatkan ketika perwakilan Uni Eropa, Sari Soegondo, menghubungi. ”Selamat ya, kamu mendapatkan penghargaan dari Uni Eropa. Informasi mengenai penghargaan itu bisa kamu lihat di eu4wartawan.id,” katanya, akhir tahun lalu.
Setelah berbicara dengan Bu Sari, saya langsung mengecek situs yang dimaksud. Berdasarkan situs itu, ada lima pemenang, yaitu Denty Piawai Nastitie dari Kompas.id (Kompas) dengan artikel ”Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan”, Diko Oktara Achmad Yani dari Koran Tempo dengan artikel ”Para Bintang yang Terus Berjuang”, Erik Purnama Putra dari Republika dengan artikel ”Berimajinasi Melihat Karya Lukis Difabel”, Suci Sekarwati dari Tempo.co dengan artikel ”Kisah Perempuan Afganistan Perjuangkan Hak Kaum Difabel”, serta Yus Mei Sawitri dari Bola.com dengan artikel ”Asian Paragames 2018, Awal Manis Sebuah Perjuangan Panjang”.
Sejak lama, saya memang bermimpi bisa berkunjung ke Benua Biru, Eropa. Siapa sangka, harapan itu terwujud saat tulisan saya yang berjudul ”Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan” mendapat penghargaan.
Di situs itu disebutkan, pemenang dianggap telah menulis artikel dengan skill jurnalistik dan pengamatan yang sangat baik serta menceritakan kisah-kisah menarik. Tulisan dianggap relevan dalam meningkatkan kesadaran di Indonesia tentang nilai-nilai universalitas hak asasi manusia, yaitu nondiskriminasi, kesetaraan jender, toleransi, dan keragaman.
Begitu membaca pengumuman tersebut, rasanya bangga, senang, terharu, dan tidak percaya berbaur menjadi satu. Rasa tidak percaya bahkan masih muncul ketika pada Sabtu, 9 Februari 2019, saya diundang Uni Eropa untuk menerima penghargaan di Restoran Seribu Rasa, Jakarta Pusat. Penghargaan diberikan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend.
Selanjutnya, perjalanan ke Uni Eropa dilakukan pada 6-16 April 2019. Bersama teman-teman, saya menghabiskan waktu selama sepekan di Brussels, Belgia, kemudian berkunjung ke Paris, Perancis, dan Amsterdam, Belanda.
Kunjungan lebih banyak diisi dengan study visit ke kantor-kantor Uni Eropa serta berdiskusi dengan pembuat kebijakan Uni Eropa dan perwakilan organisasi masyarakat di sana. Sisanya, tentu saja jalan-jalan dan menikmati kuliner lokal!
Brussels merupakan markas Uni Eropa, sebuah organisasi kerja sama antarnegara terbesar di Benua Biru. Uni Eropa saat ini beranggotakan 28 negara. Hal inilah yang membuat Brussels menjadi magnet untuk wartawan-wartawan dari sejumlah negara yang ingin melaksanakan tugas jurnalistik.
Selama berada di Belgia, sering kali muncul rasa kagum sekaligus heran di benak saya mengenai organisasi Uni Eropa yang dapat mengurus kepentingan 28 negara karena untuk mengurus kepentingan satu negara saja sudah terbayang bagaimana repotnya.
Baca juga: Mengintip Ruang Kerja Politikus-Jurnalis Uni Eropa
Hal lain yang menarik, saya bisa mempelajari bagaimana kebijakan dan program-program Uni Eropa dibuat dengan semangat nondiskriminasi, kesetaraan jender, toleransi, dan keberagaman. Kebijakan itu menyasar berbagai sektor, seperti pendidikan, olahraga, ekonomi, dan hubungan luar negeri.
Pertemuan-pertemuan dengan pemangku kebijakan Uni Eropa menjelaskan bahwa negara-negara di Benua Biru juga masih menghadapi sejumlah tantangan untuk mewujudkan semangat nondiskriminasi, kesetaraan jender, toleransi, dan keragaman, terutama apabila berkaitan dengan isu agama, ras, dan jender.
”Namun, daripada berdebat satu sama lain, lebih baik memastikan bahwa setiap warga negara bisa mendapatkan haknya, seperti hak untuk hidup layak, mendapatkan pekerjaan, dan mendapatkan pendidikan,” kata perwakilan dari kebijakan antidiskriminasi Uni Eropa.
Sebagian besar materi pertemuan dengan pemangku kebijakan Uni Eropa tidak boleh dipublikasikan karena bersifat rahasia. Beberapa isu penting dan sensitif juga dibicarakan, seperti tentang kebijakan kelapa sawit di Eropa. Informasi ini tentu saja hanya menjadi latar belakang informasi sehingga jurnalis yang diundang ke Uni Eropa dapat memahami politik kebijakan di sana.
Sebagian besar materi pertemuan dengan pemangku kebijakan Uni Eropa tidak boleh dipublikasikan karena bersifat rahasia. Beberapa isu penting dan sensitif juga dibicarakan, seperti tentang kebijakan kelapa sawit di Eropa.
Ketika bertemu dengan organisasi masyarakat, saya memuji fasilitas-fasilitas umum di Brussels yang ramah terhadap orang-orang dengan kebutuhan khusus. Tanda penerangan di stasiun kereta api, misalnya, sudah dilengkapi huruf Braille.
Demikian juga akses masuk ke stasiun kereta api dan halte yang dilengkapi jalur khusus untuk pengguna kursi roda. Namun, rupanya, fasilitas-fasilitas itu masih belum cukup untuk kebutuhan kaum difabel.
Parkir kendaraan orang dengan kebutuhan khusus, misalnya, belum tersedia di semua negara. Kaum difabel di Eropa juga masih memperjuangkan agar hak suara mereka dapat digunakan serta tersedianya akses internet yang ramah disabilitas. Akses internet ramah disabilitas dipercaya dapat membuka peluang hidup yang lebih baik bagi orang-orang dengan kebutuhan khusus.
Baca juga: Menikmati Lebaran di ”Bumi Pancasila”
Uni Eropa juga memastikan semua anak-anak dan remaja mendapatkan pendidikan berkualitas. Namun, kesulitannya, anak-anak dengan kebutuhan khusus sulit datang ke sekolah karena minimnya asistensi dari tenaga berpengalaman atau fasilitas transportasi dari rumah ke sekolah yang masih belum menunjang anak dengan kebutuhan khusus.
Berdiskusi dengan pembuat kebijakan dan perwakilan organisasi masyarakat di Uni Eropa menyadarkan saya bahwa tantangan untuk mewujudkan dunia yang terbuka bagi siapa saja, baik di Indonesia maupun di Uni Eropa hampir sama. Di Indonesia, tantangannya kerap lebih kompleks karena belum semua masyarakat memiliki pemahaman menyeluruh mengenai isu disabilitas.
Perjalanan di Brussels tentu saja kurang menarik tanpa mengunjungi tempat-tempat wisata. Bersama teman-teman, saya berkunjung ke Brussels’ Grand Place, Atomium, Parc du Cinquantenaire, dan Les Galeries Royales Saint-Hubert.
Saya juga mencicipi makanan khas lokal, seperti waffle, cokelat, dan belgian fries. Belgia juga sangat terkenal dengan keberadaan patung-patung bersejarah, seperti Manneken Pis dan Everard t’Serclaes.
Baca juga: Menggapai Fitrah di Atas Jembatan Ampera
Sebenarnya, sebelum sampai di Brussels, saya sangat penasaran mengapa patung ikonik Manneken Pis setinggi 61 sentimeter itu sangat terkenal. Berdasarkan penelusuran di dunia maya, ada ratusan legenda yang menceritakan asal-usul patung anak kecil telanjang buang air kecil ke baskom air mancur tersebut.
Misalnya, ada kisah tentang seorang anak kecil yang hilang dari ibunya saat berbelanja di pusat kota. Setelah sang ibu mencari, bahkan dibantu banyak orang, termasuk wali kota, akhirnya anak itu ditemukan sedang buang air kecil di sudut sebuah jalan kecil.
Dari semua legenda, tak satu pun cerita yang benar. Patung yang dirancang oleh Hieronymus Duquesnoy pada 1618-1619 itu ternyata terkenal bukan karena kebenaran cerita di baliknya, melainkan berkat simbol keterbukaan dan kebebasan berpikir orang-orang Belgia yang berasal dari berbagai latar belakang suku, bangsa, bahasa, dan budaya.
Patung lain yang menarik adalah Everard t’Serclaes. Patung yang terletak di Jalan Charles Buls di Brussels yang tak jauh dari Grand Place itu diukir oleh seniman Julien Dillens (1849-1904).
Konon, dengan menyentuh lengan patung itu, seseorang bisa mendapatkan keberuntungan, mencapai harapan, dan bisa kembali lagi ke Brussels. Tentu saja, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan menggosok patung itu dan berharap dapat kembali ke Brussels.
Terima kasih, Brussels, untuk kesempatan tujuh hari belajar dan tentu saja jalan-jalan (gratis) yang berharga. Semoga bisa kembali, suatu hari nanti!