Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, Rabu (12/6/2019), tiba di Teheran dalam misi menurunkan ketegangan AS-Iran yang berdampak pada kian memanasnya situasi Teluk Persia. Abe dijadwalkan berada di Teheran selama dua hari. Ia bertemu Presiden Iran Hassan Rouhani dan Pemimpin Spiritual Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Abe adalah PM pertama Jepang yang berkunjung ke Teheran setelah Revolusi Iran 1979. Keberanian Abe mengambil misi mediasi ini merupakan pertaruhan besar—atau spekulasi besar— bagi Abe dan Jepang mengingat perbedaan sikap AS-Iran saat ini masih sangat tajam.
Abe adalah PM pertama Jepang yang berkunjung ke Teheran setelah Revolusi Iran 1979.
Terlepas apakah misi mediasi itu akan sukses atau gagal, tak bisa dimungkiri Jepang memiliki kepentingan besar untuk menurunkan ketegangan di Teluk Persia. Jepang sangat diuntungkan dengan tercapainya kesepakatan nuklir Iran antara Iran dan enam negara besar: AS, Rusia, China, Inggris, Perancis, dan Jerman atau ”P5+1” pada Juli 2015.
Karena itu, Jepang sangat dirugikan dengan keputusan Presiden AS Donald Trump mundur sepihak dari kesepakatan nuklir Iran pada Mei 2018. Pasca-kesepakatan nuklir Iran 2015, Jepang memenangi tender terbanyak terkait ladang minyak dan gas di Iran senilai miliaran dollar AS.
Ada lima perusahaan Jepang dari 29 perusahaan mancanegara yang dipilih perusahaan nasional minyak Iran (NIOC) untuk proyek renovasi serta pengembangan ladang minyak dan gas di seantero Iran pasca-tercapainya kesepakatan nuklir Iran. NIOC pada 2 Januari 2017 mengumumkan, 50 perusahaan minyak dari mancanegara telah mengajukan permohonan untuk proyek-proyek itu.
Perusahaan minyak Iran memutuskan memilih 29 perusahaan dari 12 negara. Terbanyak dari Jepang, lima perusahaan. Ada 10 perusahaan lagi dari Asia, yakni dari China, Korea Selatan, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan India. Ada pula 2 perusahaan Rusia, 1 perusahaan Argentina, dan 11 perusahaan dari berbagai negara Eropa. Sebanyak 29 perusahaan itu mendapatkan tender untuk merenovasi dan mengembangkan 50 ladang minyak dan gas di seantero Iran.
Iran juga masih berjanji kepada Jepang untuk memberi proyek renovasi dan pengembangan kilang-kilang penyulingan agar dapat memproduksi lebih banyak lagi produk bensin dan solar. Iran merupakan negara pengekspor minyak terbesar ketiga ke Jepang setelah Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA). Iran mengekspor 15 hingga 20 persen kebutuhan minyak Jepang. Adapun Arab Saudi dan UEA mengekspor 65 persen kebutuhan minyak Jepang. Bagi Jepang, posisi Iran secara geopolitik sangat penting sebagai alternatif sumber suplai minyak dari Arab Saudi dan UEA.
Namun, pasca-Trump membatalkan secara sepihak kesepakatan nuklir Iran, semua perusahaan—termasuk perusahaan Jepang—mundur massal dari proyek renovasi dan pengembangan ladang minyak dan gas Iran karena takut terkena sanksi dari AS. Suplai minyak dari Iran ke Jepang ikut terhenti pula sejak Maret lalu.
Tidak mengherankan jika Jepang saat ini paling semangat melakukan mediasi AS-Iran, dengan harapan dapat memetik sukses dari normalisasi hubungan AS-Iran. Harapannya, semua perusahaan Jepang bisa kembali lagi ke Iran untuk meraup keuntungan miliaran dollar AS dari berbagai proyek renovasi dan pengembangan ladang dan gas di Iran.