Faktor Ekonomi dan Pergaulan Bebas Picu Perkawinan Anak di Indramayu
Perkawinan usia anak di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mencapai ratusan kasus setiap tahun. Selain faktor ekonomi, pergaulan bebas yang berdampak pada kehamilan juga memicu perkawinan anak.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
INDRAMAYU, KOMPAS - Perkawinan usia anak di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mencapai ratusan kasus setiap tahun. Selain faktor ekonomi, pergaulan bebas yang berdampak pada kehamilan juga memicu perkawinan anak.
Tingkat perkawinan anak terekam dalam jumlah dispensasi kawin yang diputuskan Pengadilan Agama Indramayu. Sesuai Undang Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, usia pernikahan minim untuk perempuan 16 tahun sedangkan laki-laki di 19 tahun. Bila di bawah ketentuan itu, mereka dapat menikah dengan catatan mengurus dispensasi kawin.
Hingga Mei 2019, pengadilan agama setempat memutus 119 dispensasi kawin. Tahun lalu, dispensasi kawin sebanyak 266 perkara. Jumlah ini menurun dibandingkan dispensasi kawin yang dikabulkan pengadilan pada 2017 dan 2016, yakni masing-masing 302 kasus dan 324 kasus.
Artinya, dalam tiga tahun terakhir, setiap dua hari setidaknya terjadi satu perkawinan anak di Indramayu. Ini belum termasuk permintaan dispensasi kawin yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dispensasi yang diputuskan pengadilan.
"Pemberian dispensasi kawin ini dilematis. Satu sisi, usianya belum sesuai untuk menikah. Tetapi, orangtua memohon agar anaknya dapat segera dinikahkan," ujar Engkung Kurniati Imron, Humas Pengadilan Agama Indramayu, kepada Kompas, Kamis (13/6/2019) di Indramayu.
Pemberian dispensasi kawin ini dilematis. Satu sisi, usianya belum sesuai untuk menikah. Tetapi, orangtua memohon agar anaknya dapat segera dinikahkan
Apalagi, lanjutnya, lampiran surat keterangan pemerintah desa juga menyatakan calon suami telah punya pekerjaan dengan upah sekitar Rp 750.000 per bulan hingga di atas Rp 1 juta. Padahal, menurut dia, rata-rata yang pemohon dispensasi masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Selain faktor ekonomi seperti orangtua yang terjerat utang, pergaulan bebas juga menjadi pemicu perkawinan anak. "Umumnya, mereka sudah berhubungan badan, bahkan ada yang hamil. Orangtua merasa malu sehingga ingin menikahkan anaknya segera," lanjut Kurniati yang juga hakim PA Indramayu.
Menurut Kurniati, pihaknya telah berupaya agar orangtua memikirkan kembali rencana menikahkan anak yang belum cukup umur. "Tetapi, banyak orangtua yang sudah menentukan tanggal pernikahan meskipun belum ada dispensasi kawin. Mereka juga terbatas dalam pengetahuan hukum," ungkapnya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indramayu Lily Ulyaty mengakui, kehamilan tidak diinginkan menjadi pemicu perkawinan anak. Namun, pihaknya tidak memiliki data pasti berapa banyak anak yang hamil di luar pernikahan.
Pihaknya udah berupaya mencegah perkawinan anak. "Selain sosialisasi yang gencar kepada masyarakat, kami juga membuat Forum Anak Kabupaten Indramayu. Forum berisi puluhan anak ini menjadi perpanjangan tangan kami untuk mencegah perkawinan anak. Forum ini diharapkan nanti muncul di setiap kecamatan bahkan desa," ujarnya.
Sekretaris Cabang Koalisi Perempuan Indonesia Indramayu Yuyun Khoerunnisa mengatakan, meskipun jumlah perkawinan anak menurun di Indramayu, angkanya masih tinggi. "Di daerah lain hanya 30 kasus atau di bawah 100 kasus per tahun. Di Indramayu ada ratusan," ujarnya.
Menurut dia, perkawinan anak masih berlangsung karena sumber masalahnya tidak diselesaikan. "Terdesak kebutuhan ekonomi, ibunya bekerja di luar negeri. Pola asuh pada anak pun tidak optimal. Akhirnya, anaknya terjerumus pergaulan bebas. Apalagi, teknologi yang digunakan secara tidak baik berdampak negatif. Ujungnya, ya nikah muda," ujarnya.
Sebagai sentra padi nasional, Indramayu dengan produksi hingga 1,7 juta ton gabah per tahun juga merupakan salah satu pemasok terbesar pekerja migran Indonesia di luar negeri. Lebih dari 22.000 warga Indramayu menjadi pekerja migran Indonesia setiap tahun.
Untuk itu, menurut Yuyun, persoalan perkawinan anak harus diselesaikan secara komprehensif oleh lintas sektoral, dari dinas pendidikan, kesehatan, bahkan tenaga kerja. Sebab, dampak perkawinan anak juga kompleks, seperti stunting, kekerasan dbalam rumah tangga, perceraian, hingga kemiskinan.
Pemkab juga diminta segera membuat peraturan daerah yang memuat secara rinci upaya pencegahan perkawinan anak. "Bahkan, pemerintah desa juga harus membuat regulasi serupa dan memanfaatkan dana desa untuk pemberdayaan perempuan dan anak," ungkapnya.