MIMPI tentang Jakarta, tak selamanya berujung manis. Meski ada yang meraih kesuksesan materi setelah hidup di Ibu Kota, namun tak sedikit yang menanggung beban hidup lebih berat setelah merantau. Pada kondisi seperti ini, pindah ke Jakarta tak selalu jadi pilihan terbaik.
Oleh
Stefanus Ato/Benediktus Krisna Yoga
·4 menit baca
MIMPI tentang Jakarta, tak selamanya berujung manis. Meski ada yang meraih kesuksesan materi setelah hidup di Ibu Kota, namun tak sedikit yang menanggung beban hidup lebih berat setelah merantau. Pada kondisi seperti ini, pindah ke Jakarta tak selalu jadi pilihan terbaik.
Peter Finekan (20) duduk termenung di depan rumah kos saudaranya, di kawasan padat penduduk, Muara Baru, Jakarta Utara, Selasa (11/6/2019) sore. Peter baru selesai menulis selembar surat lamaran kerja ke restoran di kawasan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.
Selain selembar surat itu, remaja asal Kefamenanu, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu, sebenarnya sudah mengirim lima surat lamaran kerja ke berbagai tujuan. Tak ada yang istimewa dengan riwayat hidupnya. Peter mengandalkan ijazah dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas (SMA). Tidak ada dokumen pendukung lain karena memang dia belum punya pengalaman kerja.
"Belum ada panggilan. Kakak bilang sabar saja, dia punya banyak kenalan. Jadi, pasti nanti kerja, makanya disuruh kirim (surat lamaran kerja) lagi," ucap Peter.
Peter tertarik mengikuti kakak kandungnya datang ke Jakarta, karena tahu upah saudaranya Rp 4 juta per bulan. Dia juga melihat perubahan gaya hidup kakaknya yang berbeda saat pulang kampung. Tanpa pikir panjang, setelah mendapatkan bantuan biaya dari orangtua, remaja itu berangkat ke Jakarta 4 Mei 2019 lalu.
Peter tertarik mengikuti kakak kandungnya datang ke Jakarta, karena tahu upah saudaranya itu Rp 4 juta per bulan. Dia juga melihat perubahan gaya hidup kakaknya yang berbeda saat pulang kampung
Beban berat
Kisah Peter mirip seperti Gebi Poen (38), lelaki asal Kupang, NTT, yang sudah 16 tahun melalang buana di Jakarta. Meski sudah menjalani berbagai jenis pekerjaan, dia merasa hidupnya belum banyak berubah. Apalagi setelah memiliki istri dan dua orang anak, Gebi makin berat menanggung biaya hidup.
Gebi pertama kali ke Jakarta tahun 2003 bermodalkan uang pinjaman Rp 5 juta. Empat bulan pertama di Jakarta, dia menganggur dan tinggal bersama saudaranya di Muara Baru. Kemudian bekerja pada sebuah restoran di Mangga Dua, Jakarta Barat karena kedekatan saudaranya dengan juru masak di restoran itu.
"Pertama kerja, saya di bagian cuci piring dengan gaji Rp 2 juta per bulan," ucapnya. Meski kini penghasilannya Rp 4,5 juta per bulan dengan menjadi koki restoran, dia masih mengontrak rumah. Bebannya pun kian bertambah, setelah dua anaknya mulai sekolah.
Gebi pernah mengalami masa kelam dengan mendekam di penjara selama delapan bulan pada tahun 2017. Setelah diberhentikan dari pekerja restoran, dia bekerja sebagai penagih hutang warga yang menunggak cicilan. Namun naas, sebelum membawa motor hasil sitaaannya ke agen penjualan motor, aparat kepolisian menahannya. Gebi dan teman-temannya ternyata tak mengantongi surat tugas dari agen penjualan motor.
Namun tak selamanya pendatang mendapati kisah kelam. Idris (40), warga asal Makassar, Sulawesi Selatan kini memiliki dua kios kelontong, di kawasan Muara Baru. Setiap hari, omzet yang Idris dapatkan sekitar Rp 3 juta. Jika ditotal, dalam satu bulan omzet yang diperoleh sekitar Rp 90 juta. Dari jumlah itu, keuntungan bersih yang dia dapatkan mencapai Rp 20 juta.
Saat pertama ke Jakarta tahun 1999, Idris bekerja sebagai tenaga bongkar muat ikan di salah satu pabrik pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zacman dengan upah Rp 2 juta per bulan. Dari upah itu, Idris setiap bulan menyisihkan uang sebesar Rp 500.000.
"Setelah tiga tahun bekerja, dengan modal sekitar Rp 10 juta saya coba buka usaha warung," ujarnya.
Begitu pun juga Ragiel Pamungkas yang tak menyangka bakal menjadi pengusaha sukses. Pria 29 tahun ini adalah pemilik grup rumah makan Raja Bebek. Rumah makan dengan menu andalan bebek goreng itu tersebar itu di tujuh lokasi di Jakarta Selatan dan Tangerang Selatan.
Tak hanya itu, Ragil juga memiliki peternakan bebek dan ayam di Tegal, Pemalang, Brebes, dan Bogor. Total kapasitas produksi peternakannya per pekan mencapai 3.000 ekor bebek dan ayam. Produksi bebek dan ayam itu tak hanya disalurkan ke rumah makan miliknya tapi juga ke rumah makan dan pihak lainnya.
Semua itu dicapainya dalam tempo empat tahun sejak memutuskan merantau di Jakarta. Ia memulai bisnis sebagai peternak bebek di kampung halamannya sejak 2009. Perlahan tapi pasti peternakannya milik pria lulusan SMK, terus berkembang. Berbekal enam tahun pengalaman jadi peternak bebek, Ragil nekat melebarkan usaha ke Jakarta. Tak tanggung-tanggung, mimpinya tak hanya jadi pemasok bebek Jakarta, tetapi juga punya rumah makan.
"Kalau ingin ke Jakarta itu harus punya keahlian yang bisa diandalkan untuk hidup dan mencari uang. Harus tahu apa yang ingin dilakukan di sini," ujar Ragil. Pencapaiannya saat ini memberikan pelajaran penting. Merantau ke Jakarta itu butuh perencanaan matang. Mencari penghidupan tidak bisa hanya berbekal nekat, namun perlu keahlian yang bisa diandalkan.