Nelayan di Pulau Terong dan Pulau Geranting, Batam, Kepulauan Riau, memprotes rencana penambangan pasir laut karena khawatir merusak ekosistem pesisir. Mereka meminta perizinan tambang dikaji ulang dan lokasinya dijauhkan minimal 2 mil laut dari garis pantai saat surut terendah.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS – Nelayan di Pulau Terong dan Pulau Geranting, Batam, Kepulauan Riau, memprotes rencana penambangan pasir laut karena khawatir ekosistem pesisir rusak. Mereka meminta perizinan tambang dikaji ulang dan lokasinya dijauhkan minimal 2 mil laut dari garis pantai saat surut terendah.
Ketua Kelompok Nelayan Pulau Terong Jemizan, Kamis (13/6/2019), mengatakan, para nelayan khawatir kehilangan mata pencarian jika rencana pertambangan diteruskan. Pulau Terong dan Pulau Geranting dihuni sekitar 3.000 warga yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.
Lokasi tambang pasir laut seluas 991,63 hektare yang dikeluhkan warga itu dikelola PT Riau Pratama. Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) yang diberikan Gubernur Kepulauan Riau pada 2015 telah diperpanjang pada 2018 dan berlaku hingga Februari 2021.
Suasana memanas pada Minggu (9/6) saat sebuah kapal isap milik PT Riau Pratama melintas di perairan sekitar Pulau Terong. Hal itu membuat warga terkejut karena mengira kapal itu telah mulai menyedot pasir laut. Menurut warga, selama ini belum ada sosialisasi dimulainya kegiatan eksploitasi.
Dua perahu yang ditumpangi belasan nelayan dan tokoh masyarakat setempat nekat mengejar kapal isap tersebut. Warga meminta awak kapal segera labuh jangkar agar bisa dimintai keterangan. “Mereka malah ketakutan dan langsung pergi menjauh,” kata Jemizan.
Menurut Pelaksana Tugas Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kepulauan Riau Hendri Kurniadi, meskipun telah mengantongi izin tambang, PT Riau Pratama belum boleh beroperasi menambang pasir laut. Aktivitas yang diizinkan hanya sebatas kegiatan eksplorasi persiapan penambangan.
Hendri mengatakan, masih ada dua syarat yang harus dipenuni, yaitu penunjukan kepala teknik tambang dan pengajuan rencana kompensasi bagi masyarakat. “Kalau ada sebagian warga yang menyatakan tidak setuju, maka perusahaan perlu melakukan pendekatan lagi,” ujarnya.
Kalau ada sebagian warga yang menyatakan tidak setuju, maka perusahaan perlu melakukan pendekatan lagi
Dihentikan sementara
Dalam pertemuan di Polres Batam-Rempang-Galang (Barelang), Rabu (12/6), perwakilan warga dan perusahaan sepakat menunggu kajian lebih lanjut dari pihak berwenang. Untuk sementara waktu, PT Riau Pratama diminta menghentikan aktivitas eksplorasi agar tidak memancing konflik.
Kepala Polsek Belakang Padang Ajun Komisaris Ulil Rahim mengatakan, saat ini kapal isap sudah ditarik perusahaan untuk menjauh ke perairan Pulau Sambu. Adapun warga juga diimbau kepolisian untuk tidak melakukan aksi main hakim sendiri terhadap aktivitas tambang yang berlangsung di wilayah tersebut.
Asisten Direktur Operasional PT Riau Pratama Said Andy memastikan, yang dilakukan kapal isap itu sebatas kegiatan eksplorasi pemetaan dasar laut untuk mengukur kebutuhan panjang pipa dan daya sedot pompa. “Belum terjadi apa-apa, satu butir (pasir) pun belum diambil,” katanya.
Said menuturkan, sesuai kontrak yang berlaku PT Riau Pratama akan menambang 1 juta meter kubik pasir laut di perairan Pulau Terong dan Pulau Geranting. Material itu diperlukan bagi pembangunan sejumlah proyek infrastruktur di Kepulauan Riau, salah satunya reklamasi pantai Ocarina di Batam Center.
“Perusahaan mendapatkan Surat Izin Kerja Keruk (SIKK) dari Kementerian Perhubungan, artinya sudah lulus uji analisis mengenai dampak lingkungan. Tambang pasir laut dengan metode isap tidak merusak terumbu karang, alat penyedot yang digunakan hanya bisa mengisap pasir,” kata Said.
Daerah tangkapan
Hasil analisis kesesuaian ruang terhadap Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Kepulauan Riau menunjukkan, lokasi pengusahaan tambang PT Riau Pratama bersinggungan dengan zona perikanan tangkap nelayan tradisional serta zona alur kabel laut.
Pelaksana Tugas Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Padang Hery Daulay mengatakan, lokasi tambang pasir laut sebaiknya dijauhkan minimal 2 mil laut dari garis pantai saat surut terendah. Hal itu perlu dilakukan agar tidak mengganggu ekosistem pesisir tempat nelayan tradisional mencari ikan.
Sementara itu, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Kota Batam Yusfa Hendri mengatakan, Pemkot Batam tidak ikut memberikan rekomendasi saat izin PT Riau Pratama diperpanjang. Pemkot menilai tambang tidak cocok berada di dekat pulau kecil yang penduduknya mayoritas berprofesi sebagai nelayan.
“Kalau dari sisi kita, Pemkot Batam, menolak (rencana tambang) itu. Saat pembahasan RZWP3K Kepulauan Riau pada 2018, Pemkot Batam menyurati gubernur untuk tidak memberi izin penambangan pasir laut,” ujar Yusfa.
Jemizan berharap, jika tambang pasir laut tetap diizinkan berlaku harus ada pengawasan ketat dari pemerintah agar aktivitas nelayan menangkap ikan tidak terganggu. Mereka tidak mau keanekaragaman hayati di perairan Pulau Terong dan Pulau Geranting rusak karena aktivitas tambang demi kepentingan pembangunan di wilayah lain.