Nusa Tenggara Timur belum memiliki satu pun alat deteksi dini bencana tsunami. Pemprov telah mengajukan dana senilai Rp 125 miliar untuk pembelian alat deteksi dini tsunami ke Badan Penanggulangan Bencana Nasional. Meski demikian, mitigasi bencana lebih diutamakan. NTT memiliki jenis bencana yang hampir lengkap.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS- Nusa Tenggara Timur belum memiliki satu pun alat deteksi dini bencana tsunami. Pemprov telah mengajukan dana senilai Rp 125 miliar untuk pembelian alat deteksi dini tsunami ke Badan Penanggulangan Bencana Nasional. Meski demikian, mitigasi bencana lebih diutamakan. NTT memiliki jenis bencana yang hampir lengkap.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nusa Tenggara Timur (NTT) Thomas Bangke saat rapat kerja dengan Komisi V DPRD NTT di Kupang, Jumat (14/6) mengatakan, gejala awal suatu bencana harus diketahui seluruh warga masyarakat. Mitigasi bencana sangat penting bagi masyarakat.
“NTT belum punya satu alat deteksi dini tsunami. BPBD sudah mengajukan anggaran senilai Rp 125 miliar Badan Penanggulangan Bencana Nasional untuk mengadakan enam alat deteksi dini tsunami. Satu alat senilai Rp 20 miliar. Ini memang sangat mahal bagi NTT dengan kondisi keuangan daerah yang sangat terbatas,”kata Bangke.
Tetapi alat deteksi itu harus disertai dengan tenaga operator yang selalu bersiaga selama 24 jam. Beberapa kejadian tsnami tidak sempat terpantau karena tenaga operator tidur lelap saat alat itu memperlihatkan adanya gejala-gejala tsunami.
Ia mengatakan, panjang garis pantai di NTT 8.000 km, dengan jumlah 1.192 pulau. Sekitar 3.000 km garis pantai sangat rawan bencana tsunami antara lain, pantai-pantai di pulau Sumba, Rote, Sabu, Kota Kupang, Malaka, Flores, dan Lembata. Bila terjadi air laut pasang, air laut masuk ke daratan sampai 200 meter.
Flores, Lembata, dan Alor sering terjadi gempa bumi vulkanik. Sumba, Timor, Rote, dan Sabu didominasi gempa bumi tektonik. Dua jenis gempa bumi ini berpeluang terjadi tsunami. Tetapi hampir semua pantai di NTT berpeluang terjadi tsunami.
Paling penting adalah sosialisasi kepada masyarakat bagaimana cara menghadapi bencana tsunami, gempa bumi, longsor atau bencana lain. Terkadang masyarakat panik saat suatu bencana datang sehingga tidak tahu bagaimana harus menyelamatkan diri. Pelatihan menghadapi suatu bencana ini harus dilakukan sesering mungkin.
Sarana dan prasarana yang dimiliki BPBD NTT saat ini, yakni satu unit mobil tangka untuk mendukung operasional dapur umum satu unit, WC Portabel enam unit dan satu unit untuk VIP, satu unit dump truk, dan perahu fiber satu unit. Tetapi perahu fiber ini dalam kondisi rusak sehingga tidak dapat dimanfaatkan. Padahal perahu ini untuk kegiatan mobilisasi manusia dan barang saat terjadi bencana alam.
“Saat terjadi bencana longsor di Manggarai Barat, Januari 2019, semua akses jalan darat tertutup material longsor dan sejumlah jembatan putus. Jalan satu-satunya mendistribusikan bantuan lewat laut, tetapi perahu itu dalam kondisi rusak. Perahu ini hibah dari BPBN, belum menjadi milik sepenuhnya Pemprov. Jika sudah dialihkan ke provinsi, bisa diperbaiki,”kata Bangke.
Anggota Komisi V DPRD NTT Aulora Agrava Modok mengatakan, mitigasi bencana atau antisipasi dini sebuah kejadian bencana, itu sangat penting dibanding upaya menanggulangi kondisi setelah terjadi bencana. NTT memiliki jenis-jenis bencana yang hampir lengkap. Tetapi mitigasi bencana sangat lemah.
Provinsi NTT memiliki jenis bencana yang hampir lengkap. Bencana longsor, gempa bumi, tsunami, kekeringan, rawan pangan, gizi buruk, stunting, angin puting beliung, cuaca laut buruk, hama belalang, abrasi pantai, dan angin kencang.
Saat ini NTT sedang memasuki kemarau panjang. Tahun 2017 kasus kekeringan hampir menimpa seluruh kabupaten/kota. Rawan pangan dan gizi buruk menimpa 10.000 anak di bawah usia lima tahun. Belajar dari pengalaman itu, tahun 2019 ini BPBD harus sudah melakukan persiapan bila terjadi bencana kekeringan serupa. Biasanya masyarakat mulai mengalami kekeringan itu pada bulan Agustus-November.