JAKARTA, KOMPAS — Sistem perdagangan secara dalam jaringan atau e-dagang menjadi salah satu topik pembahasan dalam pertemuan negara-negara Kelompok 20 atau G-20. Perlunya kesetaraan berbisnis antarpelaku dalam ekosistem perdagangan itu menjadi sorotan.
Menanggapi pembahasan di tingkat G-20 itu, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (Idea) Ignatius Untung mengharapkan adanya kejelasan sikap pemerintah terhadap kesetaraan berbisnis atau level of playing field antarpelaku. ”Kami fokus membahas kesetaraan perlakuan pemerintah terhadap pelaku e-dagang di dalam negeri,” katanya saat dihubungi, Jumat (14/6/2019).
Kesetaraan perlakuan pemerintah itu merujuk pada pemain e-dagang yang berasal dari domestik dan luar negeri. Kedua jenis pemain ini sama-sama mendapatkan penghasilan dari konsumen Indonesia.
Selain itu, Untung menyatakan, ekosistem e-dagang internasional juga menyangkut hubungan ekspor dan impor. Bukan hanya pelaku e-dagang asing yang boleh mengimpor, melainkan juga pemain e-dagang lokal harus mendapatkan akses pasar ke luar negeri.
Secara terpisah, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan, pertemuan G-20 menilai e-dagang merupakan keniscayaan dan berdampak positif terhadap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah.
”Namun, jangan sampai e-dagang ini menjadi predator ekonomi, yakni pemain besar memakan pemain kecil. Konteksnya tak hanya di tingkat antarplatform e-dagang, tetapi juga antara pelaku e-dagang dan ritel fisik,” ujarnya saat ditemui di Jakarta.
Pemerintah kini tengah merumuskan rancangan peraturan pemerintah tentang e-dagang agar setiap pelaku dalam perdagangan skala ritel, baik fisik maupun dalam jaringan (daring), mendapatkan kesetaraan bisnis. Enggartiasto menyebutkan, pembahasan dipimpin oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Enggartiasto menilai, jalannya pembahasan rancangan aturan itu tergolong alot. Aturan tentang e-dagang itu juga harus memberikan ruang kesetaraan berbisnis bagi pelaku ritel fisik.
Pajak e-dagang
Pengenaan pajak pada pelaku e-dagang juga menjadi sorotan. ”Ada perbedaan persepsi antara pelaku ritel fisik dan e-dagang. Pelaku ritel fisik dinilai membayar pajak, sedangkan kami tidak. Padahal, tidak demikian,” kata Untung.
Pemerintah kini tengah merumuskan rancangan peraturan pemerintah tentang e-dagang agar setiap pelaku dalam perdagangan skala ritel, baik fisik maupun dalam jaringan (daring), mendapatkan kesetaraan bisnis.
Pelaku e-dagang tetap membayar pajak. Untung mengatakan, mekanisme pembayarannya bertumpu pada pedagang-pedagang yang berjualan di platform e-dagang.
Pada akhir Maret lalu, Kementerian Keuangan mencabut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Sebagai gantinya, Untung mengusulkan, pajak e-dagang seharusnya dapat dikenakan dengan dasar rekening bank milik pelaku. Rekening bank pelaku e-dagang merekam segala aktivitas transaksi jual-beli.
Apabila pajak dikenakan pada perusahaan platform e-dagang secara langsung, Untung khawatir pelaku yang skalanya masih kecil akan tertekan. Pengusaha platform e-dagang yang dimaksud berada dalam tingkat membutuhkan suntikan modal dan biasanya masih merugi.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, tidak ada diskriminasi kebijakan perpajakan antara pelaku e-dagang dan yang bersifat konvensional. ”Cara pemungutan (pajak) kami bahas bersama para pelaku e-dagang. Saya tegaskan, tidak ada perbedaan perlakuan perpajakan antara yang bersifat konvensional dan yang bersifat digital,” katanya.