Pemberian Denda kepada Pengembang Harus Transparan
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO / HELENA F NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah Provinsi DKI harus transparan terkait pemberian denda kepada pengembang yang telah mendirikan bangunan tanpa izin di Pulau D atau Pantai Maju, pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Transparansi itu menyangkut masalah acuan dasar hukum pemberian denda dan pelibatan DPRD DKI untuk mengawal pelaksanaan atas aturan yang ada.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng di Jakarta, Jumat (14/6/2019), mengatakan, apabila transparansi itu tak dijalankan maka bisa menjadi celah korupsi. Apalagi, proyek reklamasi bukanlah proyek kecil.
"Pengenaan denda kepada pengembang harus transparan karena sangat sensitif secara politik dan rawan dikorupsi. Sewaktu-waktu BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) pun bisa mengaudit kalau ada penerimaan yang tak berdasar atau tak sesuai demand yang diterima," ujar Robert.
Sebelumnya, Pemprov DKI menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) untuk 932 bangunan di Pulau D. Bangunan itu terdiri dari 409 rumah tinggal, 212 rumah kantor (rukan) yang sudah jadi, serta 311 rukan dan rumah tinggal yang belum selesai dibangun. Hak Guna Bangunan (HGB) untuk Pulau D kini dikuasai pengembang, PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan PT Agung Sedayu Group.
Penerbitan IMB menuai kritik dari sejumlah pihak, termasuk DPRD, karena dinilai mendadak. Ketua Komisi D Bidang Pembangunan DPRD DKI Jakarta Iman Satria merasa, pihaknya tak pernah diajak konsultasi oleh Pemprov DKI terkait penerbitan izin tersebut (Kompas, 14/6/2019)
Robert menilai, Pemprov DKI seharusnya tak menggunakan peraturan daerah yang terdahulu sebagai acuan pembebanan denda kepada pengembang yang telah mendirikan bangunan tanpa izin di Pulau D. Sebab, denda itu bisa saja nilainya lebih kecil dibandingkan penghitungan dalam rancangan perda yang baru akan diusulkan.
"Itu yang sangat disayangkan. Kalau menunggu perda terbaru akan jauh lebih bagus untuk pemerintah daerah sendiri," tutur Robert.
Ketua Komisi D Bidang Pembangunan DPRD DKI Jakarta Iman Satria pun sangat menyayangkan sikap Pemprov DKI yang tak ada koordinasi dengan DPRD dalam penerbitan IMB dan pemberian denda kepada pengembang. Padahal, pemberian denda itu harus dikawal secara serius agar tak melenceng dari aturan dan masuk dalam kas daerah.
"Denda itu yang harus dikejar dan diawasi. Tetapi, kan, kami juga tak tahu tiba-tiba izin keluar begitu saja," kata Iman.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI Jakarta Heru Hermawanto menjelaskan, pengenaan denda mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2006 tentang Retribusi Daerah. Namun, dia enggan membeberkan jumlah besaran denda itu.
"Batasannya, kan, denda maksimal 10 persen. Tetapi, denda itu dikenakan sesuai dengan bangunan yang sudah dikerjakan atau sudah diselesaikan. Kalau masih pondasi ya dikalikan saja dengan nilai 10 persennya," ujarnya.
Menunggu kajian
Heru juga menjelaskan, sejauh ini, pihaknya masih menunggu hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta terhadap dua rancangan perda yang diajukan Pemprov DKI. Dua aturan yang dimaksud itu adalah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K), serta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRKS) Pantai Utara Jakarta.
Dalam raperda itu, lanjut Heru, akan lebih disempurnakan lagi rencana tata ruang wilayah dan rencana detil tata ruang dari pulau-pulau yang ada. Menurut dia, sejauh ini, yang diajukan dalam perda tersebut adalah empat pulau reklamasi yang sudah terbangun dari rencana 17 pulau. Empat pulau itu adalah Pulau C, D, G, dan N.
"Kalau di Perda Nomor 8 Tahun 1995, kan, memang sudah memuat pulau reklamasi tetapi penamaan pulau tidak disebut dengan tegas. Namun secara substansinya pulau-pulau reklamasi sudah tergambar dalam peta lampiran perda tersebut. Nanti di perda yang baru akan disempurnakan," kata Heru.