Urgensi Pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta Masih Dipertimbangkan
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski pembentukan tim gabungan pencari fakta untuk menemukan fakta atas kerusuhan 21-22 Mei masih menuai pro dan kontra, dukungan sudah mulai mengalir. Terlepas dari itu, yang terpenting adalah upaya konkret mengusut tuntas kerusuhan agar demokrasi Indonesia tetap terjaga.
”Bagi kami, yang terpenting adalah fokus dengan tugas sekarang dan secara intensif terus berkoordinasi dan bekerja sama dengan polisi. Kerja sama dalam arti untuk penegakan hukum dan keadilan,” kata Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Taufan Damanik saat ditemui di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2019).
Ia menyampaikan, Komnas HAM terus mendorong agar polisi bisa lebih cepat bekerja, tetapi tetap profesional dalam menuntaskan kasus ini. Sebab, hasil kerja polisi menjadi penting untuk menjaga kepercayaan publik.
Penuntasan dugaan pelanggaran hukum dalam peristiwa kerusuhan 21-22 Mei harus dilakukan secara komprehensif. ”Tidak hanya mengungkap rencana pembunuhan terhadap empat pejabat negara, tetapi penting juga mengusut tuntas penyebab tewasnya 9 orang dalam kerusuhan itu,” ujar Taufan.
Dalam kerja sama pengungkapan kasus ini, lanjut Taufan, Komnas HAM berfungsi mengawasi dalam aspek kinerja polisi. Komisi Kepolisian Nasional akan mengawasi dari aspek kepolisian. Sementara Ombudsman mengawasi dari aspek administrasi penyelenggara negara sehingga apa yang dikerjakan polisi akan tetap sesuai prosedur standar operasi yang berlaku.
Taufan juga menyampaikan, apabila nantinya Presiden Joko Widodo menilai tim gabungan pencari fakta (TGPF) perlu dibentuk, Komnas HAM siap mendukung. Sementara ini Komnas HAM masih berfokus menyelesaikan tugas yang ada.
Komnas HAM juga meminta, jika ke depan TGPF akan dibentuk, jangan sampai hal itu justru menjadi isu politik. Pasalnya, riuh rendah politik saat ini terjadi antarelite politik, bahkan hingga ke warga negara. Hal ini berbeda dengan kasus Mei 1998 ketika warga negara prodemokrasi melawan satu rezim otoriter.
Jika ke depan tim gabungan pencari fakta akan dibentuk, jangan sampai hal itu justru menjadi isu politik.
Secara terpisah, Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma mengatakan harus ada cara pandang yang berbeda. ”Setelah pemilihan presiden selesai, Jokowi sudah kembali menjadi presiden hingga Oktober 2019, bukan sebagai kontestan politik,” ujarnya.
Dengan begitu, kebijakan Jokowi dalam membentuk TGPF tidak dapat dibawa ke ranah politik. Bahwa kerusuhan 21-22 Mei harus dipandang sebagai peristiwa hukum yang harus diselesaikan secara hukum.
Maka, apa pun latar belakang politik dari korban kerusuhan, mereka sudah kembali menjadi warga negara Indonesia yang harus dilindungi. Begitu pun dengan para pelaku kerusuhan yang harus ditindak tegas secara hukum.
”Kami menilai, pembentukan TGPF akan menetralisir anasir politik di mana setiap institusi yang terlibat bekerja secara independen dalam mengungkap kasus ini sehingga penyelesaian kasus ini akan semakin terang,” ucap Feri.
Menjaga demokrasi
Taufan menilai, insiden from the ballots to the bullet atau dari kotak suara ke peluru telah mencederai proses demokrasi Indonesia selama ini. ”Peristiwa ini menimbulkan kepahitan, baik di dalam negeri maupun luar negeri, tentang masa depan demokrasi Indonesia. Kok bisa jatuh ke dalam suatu proses politik kekerasan?” katanya.
Inilah yang menjadi tantangan besar bagi polisi dan Pemerintah Indonesia secara menyeluruh. Khususnya polisi, mereka harus dapat membuktikan bahwa polisi adalah garda terdepan bagi penegakan hukum di Indonesia.
”Kalau polisi bisa menyelesaikan secara transparan dan akuntabel, kekhawatiran akan kemunduran demokrasi dapat terjawab. Namun, apabila yang terjadi malah sebaliknya, ini adalah ancaman bagi demokrasi Indonesia,” ujarnya.
Sebab, lanjut Taufan, tidak ada negara di dunia ini yang mampu membangun demokrasi dengan baik, tetapi mengabaikan aspek-aspek kemanusiaan. Dalam hal ini, Komnas HAM menegaskan, penyelesaian kasus 9 orang yang meninggal jauh lebih penting dari sekadar mengambil kesepakatan persoalan politik.
”Jika ada satu korban nyawa dalam dinamika politik Indonesia, itu persoalan serius yang harus diselesaikan. Sebagai negara demokrasi, Indonesia tidak boleh berdiri di atas politik kekerasan,” ucap Taufan.
Sementara itu, Feri menyebutkan, peristiwa kerusuhan ini terjadi akibat pertarungan elite politik berebut kekuasaan. Namun, mereka telah mengorbankan warga negara biasa, warga yang mungkin diprovokasi dan dibayar untuk bertarung hidup atau mati dalam aksi itu.
Peristiwa kerusuhan ini terjadi akibat pertarungan elite politik berebut kekuasaan. Namun, mereka telah mengorbankan warga negara biasa, warga yang mungkin diprovokasi dan dibayar untuk bertarung hidup atau mati dalam aksi itu.
Oleh karena itu, penting untuk mengelola, mengolah, dan menyelesaikan kasus secara komprehensif. Jika tidak, ketidakpercayaan masyarakat kepada negara akan semakin kuat dan bias informasi menjadi semakin banyak.
”Ini menjadi indikator penting untuk memantapkan substansial dari demokrasi kita. Menjaga agar demokrasi kita ke depan tetap terjaga,” ucap Feri.