Banjir berulang dan semakin parah di Samarinda, Kalimantan Timur, perlu diselesaikan menyeluruh. Lubang tambang, pendangkalan sungai, dan tata kota yang buruk disinyalir menjadi penyebabnya
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
SAMARINDA, KOMPAS – Banjir berulang dan semakin parah di Samarinda, Kalimantan Timur, perlu diselesaikan menyeluruh. Lubang tambang, pendangkalan sungai, dan tata kota yang buruk disinyalir menjadi penyebabnya. Kerja sama lintas sektor, penelitian komprehensif, dan aksi nyata diperlukan untuk pengurangan risiko bencana jangka panjang.
Hujan yang turun di wilayah hulu Sungai Mahakam sejak 5 Juni 2019 disusul di Samarinda membuat banjir melanda beberapa titik Samarinda. Banjir mulai meluas pada 7 Juni ke tiga kecamatan, yakni Samarinda Utara, Samarinda Ulu, dan Sungai Pinang. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Samarinda mencatat, 36.475 jiwa atau 12.397 keluarga terdampak dengan ketinggian air mencapai 150 sentimeter.
Jumlah tersebut jauh meningkat dibanding banjir 11 tahun sebelumnya. Sedikitnya 3.989 rumah terendam air di empat kelurahan di Kecamatan Samarinda Utara pada 2008 (Kompas, 9/11/2008). Ketinggian air saat itu antara 30 sentimeter dan 50 sentimeter.
Penelitian Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Mahakam Berau tahun 2013 menyimpulkan curah hujan yang tinggi bukan satu-satunya penyebab banjir yang melanda Samarinda setiap tahun. Sedimentasi sungai, penimbunan rawa untuk permukiman penduduk yang tinggi, peenggunaan lahan nonvegetasi yang tinggi, dan drainase yang tidak mencukupi menjadi beberapa penyebab utama.
BPDASHL Mahakam Berau menawarkan solusi yakni penerapan tata ruang kota. Di bantaran Sungai Karang Mumus yang membelah Kota Samarinda, berdiri bangunan permanen dan semi permanen. Hal itu membuat penduduk di sana terdampak banjir hingga 100 sentimeter tahun ini.
Solusi lain yang juga perlu dilakukan adalah pembuatan bangunan konservasi tanah dan air, pengerukan sungai, pembuatan peraturan terkait pembangunan permukiman di daerah rawa, penanaman di daerah bekas tambang, dan pembuatan drainase yang terpadu.
Ketua Forum Daerah Aliran Sungai Kalimantan Timur, Mislan, tahun 2018 mengkaji restorasi subdaerah aliran sungai (DAS) Karang Mumus dalam perspektif Ketahanan air. Ia mengatakan, perubahan tutupan lahan di sekitar Sungai Karang Mumus tinggi. Penutupan hutan lahan kering sekunder berkurang 46,58 persen atau seluas 17.710,78 hektare. Sungai, rawa, dan sempadan berubah menjadi belukar, lahan terbuka, dan pemukiman seluas 298,49 hektare.
Mislan mengatakan, restorasi Sub-DAS Karang Mumus penting dilakukan. Menurutnya, perlu ada kerja sama lintas sektor yang beriringan dan saling mendukung untuk menyelesaikan kondisi itu. “Masing-masing pihak masih menjalankan program dan kegiatan secara sektoral yang sering tidak terintegrasi dengan pihak lain,” kata Mislan, Jumat (14/6/2019).
Permasalahan itu sudah diketahui oleh pemerintah yang menjabat dari tahun ke tahun tetapi penyelesaian masalah tak kunjung terlihat. Pada 2016, terjadi banjir yang menyebabkan beberapa ruas jalan tergenang hingga 50 sentimeter. Kepala Humas Pemkot Samarinda saat itu, Masrullah, mengakui banjir yang semakin membesar.
”Banjir lama surutnya karena bersamaan dengan air pasang. Sebagian parit, juga kurang maksimal mengalirkan air karena terisi sedimen (tanah). Semakin banyak permukiman, bangunan, dan juga tambang batubara, juga memberi andil,” kata Masrullah (Kompas, 28/5/2016).
Relokasi warga juga pernah dilakukan pemerintah pada tahun 1999. Saat itu, dilakukan pengerukan Sungai Karang Mumus dan pembangunan 1991 rumah bagi warga terkena relokasi. Pemerintah membangun sekitar 1.000 rumah di daerah Bengkuring dan Sambutan dengan bantuan IBRD dan OECF Rp 235 miliar (Kompas, 6/3/1999).
Namun, pada banjir tahun ini, sebagian perumahan Bengkuring, Kelurahan Sempaja Timur, Kecamatan Samarinda Utara, terendam air hingga 100 sentimeter. Akibatnya, warga kesulitan air bersih dan listrik mati. Mereka mengungsi di masjid dan rumah keluarga terdekat.
Sekretaris Daerah Kota Samarinda Sugeng Chairuddin mengatakan, pemerintah akan secara bertahap membersihkan sungai Karang Mumus dan memikirkan pemindahan warga yang tinggal di sana. “Kedepannya, regulasi harus tegas. Kita akan bahas ke depan seperti apa karena sekarang (pemerintah) tidak dibolehkan pemberian pemukiman secara cuma-cuma,” kata Sugeng.
Kedepannya, regulasi harus tegas. Kita akan bahas ke depan seperti apa karena sekarang (pemerintah) tidak dibolehkan pemberian pemukiman secara cuma-cuma
Lubang tambang
Aktivitas perusahaan tambang yang tidak mereklamasi lubang bekas galian tambang diduga menjadi faktor pendukung banjir yang kian parah. Jaringan advokasi tambang (Jatam) Kalimantan Timur mencatat sebanyak 349 lubang tambang di Kota Samarinda.
“Dampak banjir yang meluas seiring dengan bertambahnya konsesi tambang setiap tahun. Pemerintah perlu tegas untuk memastikan bencana ini berakhir. Keberanian kepala daerah sangat dinantikan untuk pemulihan daerah pascatambang,” kata Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang.
Wakil Gubernur Kalimantan Timur Hadi Mulyadi mengatakan, pemerintah akan mengevaluasi eksplorasi dan eksploitasi Batubara di sekitar Samarinda. “Kita akan evaluasi eksplorasinya agar tidak dilakukan secara besar-besaran,” ujar Hadi saat meninjau lokasi banjir di Kelurahan Sidodadi, Samarinda Ulu, beberapa waktu lalu.
Ia juga akan berkoordinasi dengan Pemkot Samarinda untuk mencari solusi bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai Karang Mumus. Saat ini, sekitar 7.000 orang tinggal di sekitar sungai yang membelah kota Samarinda itu.
Sementara itu, kondisi genangan air di Samarinda saat ini mulai surut. Pantauan di Simpang Empat Lembuswana, kendaraan bermotor mulai melintasi jalan meski ketinggian air masih sekitar 20 sentimeter.
Namun, di beberapa wilayah, seperti di Temindung Permai, Kecamatan Samarinda Utara, kondisi air masih tinggi, sekitar 60 sentimeter sampai 100 sentimeter. Pemkot Samarinda memperpanjang masa tanggap darurat hingga 21 Juni 2019.