DPR mewacanakan pembatasan jumlah RUU yang dimasukkan ke dalam Prolegnas, sekaligus akan mengkaji ulang mekanisme penyusunan Prolegnas.
JAKARTA, KOMPAS - Dewan Perwakilan Rakyat melalui revisi Undang-Undang tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan berencana memperketat mekanisme penyusunan Program Legislasi Nasional. Perlu ada perubahan fundamental serta pemilahan rancangan undang-undang yang lebih selektif agar target legislasi dapat dicapai.
Hal itu berkaca dari pengalaman pembahasan undang-undang selama ini yang jarang bisa memenuhi target, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas, Jumat (14/6/2019), di Jakarta, mengatakan, beberapa poin krusial yang akan dibahas dalam revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan (RUU PPP) adalah mengenai mekanisme baru penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Saat ini, penyusunan draf RUU tersebut sedang dibahas di Baleg DPR dan akan dibahas bersama pemerintah sebelum akhir masa jabatan DPR periode ini, September mendatang. RUU PPP sudah masuk Prolegnas 2019.
Ia memaparkan, jumlah RUU yang masuk dalam Prolegnas tahunan di periode mendatang akan dibatasi menjadi setidaknya 30 RUU. Diharapkan, dengan pembatasan itu, target legislasi akan lebih cepat dan mudah dicapai.
Selama ini, Prolegnas bisa memuat lebih dari 30 RUU. Sebagai perbandingan, sepanjang periode 2014-2019, jumlah RUU dalam Prolegnas selalu di atas 40 RUU. Prolegnas 2015 terdiri dari 40 RUU, Prolegnas 2016 (51 RUU), Prolegnas 2017 (52 RUU) Prolegnas 2018 (50 RUU), dan Prolegnas 2019 (55 RUU).
Mayoritas RUU itu tidak berhasil disahkan dalam jangka waktu satu tahun. Sebagai contoh, hanya 5 RUU yang disahkan pada 2018 dan 8 RUU pada 2017. Target RUU pada 2016 tercatat paling banyak dicapai, yakni 10 RUU. Sementara itu, sepanjang 2019 ini, DPR dan pemerintah baru bisa menyelesaikan tiga RUU.
Supratman mengatakan, Prolegnas yang sudah disusun akan dievaluasi setiap enam bulan. Para pengusul RUU dari DPR wajib menyiapkan naskah akademik dan draf RUU dalam kurun waktu enam bulan sejak Prolegnas ditetapkan.
”Kalau tidak, RUU bersangkutan dicoret dari Prolegnas dan diganti dengan RUU lain yang lebih siap dibahas,” kata Supratman.
Selama ini, ketentuan tersebut memang tidak tercantum dalam undang-undang, tetapi dalam praktiknya kerap dilakukan.
Lebih lanjut, Supratman mengatakan, pengusulan RUU dalam Prolegnas juga harus diawali dengan koordinasi di internal pemerintah ataupun DPR. Selama ini, RUU diusulkan secara acak oleh pemerintah dan DPR tanpa koordinasi antarkementerian dan lembaga pemerintah, ataupun antar-fraksi partai politik di DPR.
Penyusunan Prolegnas juga harus sesuai dengan skala kebutuhan dan peta jalan pembangunan legislasi. ”Sekarang, kan, tidak ada. Semua kementerian/lembaga dan fraksi atau komisi di DPR mengusulkan RUU sesuai apa yang ada di pikirannya atau sesuai kondisi, itu tidak boleh. Harus ada road map sehingga RUU yang dibahas benar-benar sesuai kebutuhan nasional,” katanya.
Mekanisme Prolegnas
Menurut Direktur Monitoring, Evaluasi, dan Penguatan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri, efektivitas kinerja legislasi harus dilakukan dengan menempuh langkah paling fundamental, yakni mendesain ulang mekanisme Prolegnas.
Membatasi kuota dan mengevaluasi RUU setiap enam bulan memang terobosan positif. Namun, tanpa desain ulang mekanisme prolegnas secara fundamental, persoalan serupa dikhawatirkan akan terjadi lagi.
PSHK mengusulkan, Prolegnas baru diberlakukan di tahun kedua masa jabatan. Artinya, dalam tahun pertama menjabat, pemerintah dan DPR fokus berkoordinasi secara intensif untuk menyesuaikan usulan-usulan RUU dengan peta pembangunan nasional, dalam hal ini Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Pembahasan RUU dimulai di tahun kedua.
Hal ini sebelumnya belum pernah diterapkan DPR dan pemerintah. ”Dengan demikian, tidak ada usulan RUU, baik dari pemerintah, DPR, maupun DPD, yang tidak ada keterkaitannya dengan rencana pembangunan nasional. Semua usulan RUU sudah melalui kajian matang, dan satu tahun waktu yang cukup untuk mengkaji itu,” ujarnya.