Ekspansi Bisnis Restoran ke Mancanegara Perlu Dukungan Modal
Asosiasi Pengusaha Indonesia mengatakan, kesempatan membuka bisnis restoran Indonesia di luar negeri masih tersendat masalah permodalan. Padahal, pengembangan bisnis tersebut berpotensi menyumbang devisa yang dapat meningkatkan perekonomian.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Pengusaha Indonesia mengatakan, kesempatan membuka bisnis restoran Indonesia di luar negeri masih tersendat masalah permodalan. Padahal, pengembangan bisnis tersebut berpotensi menyumbang devisa yang dapat meningkatkan perekonomian.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani mengatakan, pertumbuhan bisnis restoran merek Indonesia di luar negeri masih sangat lambat. Menurut pria yang juga menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) itu, permodalan menjadi salah satu kendalanya.
”Selama ini, diaspora Indonesia yang mau membuka bisnis di luar negeri sulit mendapatkan modal pinjaman dari bank di luar negeri karena administrasi dan sebagainya. Mau minta bantuan bank di dalam negeri juga tidak ada aturannya,” tuturnya kepada Kompas, Sabtu (15/6/2019), di Jakarta.
Ia berharap pemerintah bisa mendukung permodalan bisnis yang menyangkut ekspor jasa itu melalui lembaga pembiayaan ekspor yang sudah ada. ”Kalau kita punya dukungan pendanaan dari pemerintah, lewat Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI/Indonesia Eximbank), pendanaan akan lebih optimal,” ujarnya.
Dengan sokongan pemerintah, Indonesia dapat mengembangkan ekspor jasa berbasis kuliner, seperti yang dilakukan Pemerintah Thailand dalam bentuk kebijakan gastrodiplomasi.
Dikutip dari Wall Street Journal, pada 2001, Pemerintah Thailand mendirikan Global Thai Restaurant Company sebagai upaya untuk menyebar setidaknya 3.000 restoran Thailand di seluruh dunia. Saat ini, lebih kurang 15.000 restoran Thailand tersebar di berbagai belahan dunia.
Tidak hanya itu, Bank Ekspor Impor Thailand (Exim Thailand) dan Bank Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Thailand (SME Bank) juga menawarkan pinjaman kepada masyarakat Thailand yang mau membuka restoran di luar negeri.
Masukan untuk mencontoh kebijakan negara tetangga tersebut baru-baru ini disampaikan Apindo kepada Presiden Joko Widodo. Masukan itu disampaikan dalam pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (13/6/2019) lalu, yang juga diikuti Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo).
Presiden meminta masukan konkret dari para pengusaha untuk perbaikan ekonomi selama lima tahun ke depan. Ia secara spesifik meminta agar investasi dan ekspor Indonesia bisa mengatasi ketertinggalan dari negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand.
Sementara itu, nilai ekspor Indonesia masih kurang mendongkrak perekonomian. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan Indonesia pada Januari-April 2019 defisit 2,564 miliar dollar AS. Adapun data Bank Indonesia menunjukkan, transaksi berjalan triwulan I-2019 defisit 6,966 miliar dollar AS.
Birokrasi
Analis kebijakan dari Indonesia Services Dialogue (ISD), Muhammad Syarif Hidayatullah, berpendapat, Pemerintah Indonesia bisa menyeriusi potensi ekspor jasa di sektor tersebut guna menyeimbangkan neraca jasa dengan mengurangi defisit transaksi berjalan.
Sejauh ini, Pemerintah Indonesia sudah melakukan gastrodiplomasi untuk memperkenalkan keanekaragaman kuliner Nusantara di berbagai kesempatan, baik saat menjamu tamu negara maupun saat mempromosikan budaya Indonesia di luar negeri.
Namun, Syarif menilai, pemerintah perlu membuat langkah lebih dari sekadar membangun citra. ”Pemerintah memang punya wacana ke arah sana, tetapi perlu ada realisasi konkretnya. Pemerintah mungkin bisa memberikan insentif agar jaringan restoran Indonesia bisa mengglobal,” katanya.
Selain itu, ia menyarankan agar pemerintah perlu menyelesaikan kendala birokrasi secara umum, seperti dalam hal pendaftaran hak kekayaan intelektual dan merek dagang.
”Proses pendaftaran masih berlarut-larut sehingga tidak menciptakan insentif bagi pelaku usaha jasa untuk memiliki merek dagang. Karena tidak ada merek dagang, daya saing jasa Indonesia menjadi berkurang,” ujarnya.