Pemerintah Hong Kong akhirnya bersedia untuk menunda amendemen Rancangan Undang-Undang mengenai ekstradisi. RUU ekstradisi tersebut dinyatakan ditangguhkan hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
HONG KONG, SABTU — Pemerintah Hong Kong akhirnya bersedia untuk menunda amendemen Rancangan Undang-Undang mengenai ekstradisi. RUU ekstradisi tersebut dinyatakan ditangguhkan hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengadakan konferensi pers di Hong Kong, Sabtu (15/6/2019). Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan, Pemerintah Hong Kong menunda amendemen RUU ekstradisi tersebut.
”Setelah melalui sejumlah pembahasan internal selama dua hari terakhir, saya sekarang mengumumkan bahwa pemerintah telah memutuskan untuk menunda pelaksanaan amendemen legislatif, memulai kembali komunikasi dengan semua sektor masyarakat, melakukan lebih banyak sosialisasi, dan mendengarkan berbagai pandangan masyarakat,” kata Lam.
RUU ekstradisi tersebut telah dimulai dibahas sejak Februari 2019. Sebelumnya, Lam merencanakan agar amendemen RUU ekstradisi disahkan pada Juli 2019.
Lam melanjutkan, ia merasakan kesedihan dan penyesalan yang mendalam karena memiliki kekurangan dalam menjalankan tugas sehingga memicu kontroversi dan perselisihan yang signifikan dalam masyarakat.
”Tolong beri kami kesempatan baru,” kata Lam yang menolak menjawab secara langsung ketika dikonfirmasi berkali-kali apakah ia akan mundur dari jabatan sebagai Kepala Eksekutif Hong Kong.
Adapun konferensi pers tersebut menjadi kali pertama Lam muncul di mata publik sejak ia menyerukan agar masyarakat menjaga ketertiban sosial dalam demonstrasi yang berlangsung pada Rabu (12/6/2019).
Penundaan amendemen RUU ekstradisi itu menjadi kemenangan kecil bagi warga Hong Kong yang melakukan aksi protes selama sepekan terakhir.
Warga menolak RUU ekstradisi karena dapat membuat Hong Kong mengekstradisi warganya dan warga asing ke sejumlah negara, termasuk China. Mereka khawatir karena China menganut hukum dan sistem peradilan yang berbeda dan tidak mengedepankan kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan hak asasi manusia.
Hong Kong menjadi bagian dari China sejak diserahkan Inggris pada 1997. Kesepakatan yang dibuat dengan Inggris adalah China dan Hong Kong adalah satu negara dengan dua sistem pemerintahan yang berbeda. Hong Kong baru akan melebur secara penuh ke dalam China pada 2047.
Aksi protes pada hari pertama, Minggu (9/6/2019), tercatat sebagai aksi protes terbesar di Hong Kong sejak 1997. Menurut penyelenggara protes, aksi protes itu dihadiri 1,03 juta warga.
Pada Rabu (12/6/2019), ribuan warga kembali turun ke jalan untuk mencegah pembacaan RUU ekstradisi di Dewan Legislatif Hong Kong. Demonstrasi berakhir ricuh dan melukai sekitar 80 orang. Pembacaan RUU ekstradisi kemudian ditunda.
Penyelenggara protes sebelumnya telah berencana untuk kembali melakukan aksi protes pada Minggu (16/6/2019). Selama melakukan aksi protes, pendemo juga berkali-kali meminta agar Lam mundur dari jabatannya.
Perwakilan Front Hak Asasi Manusia Sipil, Jimmy Sham, mengatakan, para pemimpin aksi protes RUU ekstradisi akan tetap melakukan aksi protes pada Minggu meskipun pemerintah telah menunda amendemen. Mereka menuntut agar pemerintah menarik RUU ekstradisi secara penuh.
”Kami perlu memberi tahu pemerintah bahwa warga Hong Kong tidak akan menyerah dan membatalkan protes kami jika kami tidak melihat mereka menarik RUU itu,” ujar Sham.
Tanggapan China
China mengeluarkan pernyataan menghormati keputusan yang diambil oleh Lam. Selain itu, China juga mengecam kericuhan yang terjadi selama aksi protes berlangsung.
”Kami mendukung, menghormati, dan mengerti dengan keputusan tersebut. Keputusan Lam merupakan upaya untuk mendengarkan masyarakat dan mengembalikan kedamaian segera mungkin,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang.
Menurut Geng, masalah yang terjadi di Hong Kong merupakan urusan internal China. Oleh karena itu, negara, organisasi, dan individu luar tidak berhak untuk mengintervensi.
China juga telah membantah telah memengaruhi Hong Kong terkait RUU ekstradisi. Namun, surat kabar Hong Kong bernama Sing Tao melaporkan bahwa Wakil Perdana Menteri China Han Zheng bertemu dengan Lam di Shenzhen, China, selama beberapa hari terakhir.
Dalam konferensi pers, Lam menolak untuk mengonfirmasi apakah benar pertemuan tersebut terjadi. Namun, ia mengklaim penundaan RUU merupakan keputusannya dan didukung oleh pemerintah pusat.
Posisi Lam
Pengamat ilmu politik dari SOAS, London, Steve Tsang, mengatakan, Beijing kemungkinan telah memerintahkan Lam untuk menunda RUU ekstradisi. Lam berada dalam posisi yang sulit.
”Saya pikir hari-hari Carrie Lam (sebagai pemimpin) dapat dihitung…. Beijing tidak dapat segera memecatnya karena itu akan menjadi indikasi kelemahan,” kata Tsang.
Anggota Legislatif pendukung demokrasi, Claudia Mo, mengatakan, Lam harus mundur dari jabatannya. Lam dinilai telah kehilangan kredibilitas di mata warga Hong Kong. (REUTERS/AFP)