Memuliakan Masakan Warisan Leluhur
Kearifan lokal tidak hanya menjadi benteng untuk menjaga keberlangsungan tradisi budaya bagi masyarakat Dayak, tetapi juga upaya memuliakan warisan leluhur, termasuk kuliner. Bagi masyarakat adat Dayak, makan bukan hanya pemanja lidah, melainkan juga bagaimana menghasilkan makanan sehat dan kaya rasa.
Bagi masyarakat Dayak, makanan bukan hanya pemanja lidah, melainkan juga warisan leluhur yang patut dijaga. Mulai dari mengumpulkan bumbu masakan di hutan hingga dihidangkan di ruang makan menjadi satu proses terdalam budaya Dayak.
Utami Dewi (36), warga Desa Dahian Tunggal, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, Rabu (10/4/2019) pagi, memanggul lanjung (tas panggul yang terbuat dari rotan). Ia dan ibu-ibu lain di desa mulai berkebun.
Di lahan tak sampai 0,5 hektar, Utami memanen padi di ladangnya. Ia memisahkan bulir-bulir padi dari tangkainya. Sekitar satu jam lamanya ia bergumul dengan pisau kecil di tangan untuk memanen padi.
Di desa yang berjarak 128 kilometer dari Kota Palangkaraya itu, masyarakatnya masih menerapkan sistem padi ladang berpindah. Utami dan keluarga salah satunya. Namun, di ladang itu, tidak hanya padi yang ditanam dengan cara tumpang sari, mereka menanam berbagai sayuran dan buah, seperti pepaya, singkong, pisang, cabai, dan tomat asam atau rimbang.
Utami juga menyempatkan mampir ke hutan sekunder yang berjarak tidak lebih dari 10 meter dari ladangnya. Di hutan itu, ia mengambil umbut rotan atau rotan muda, sirsak muda, kelakai (daun pakis), dan daun sepang (daun mekai/Alberticia papuana becc).
”Kami pakai daun sepang ini untuk penyedap rasa. Jarang di sini orang pakai micin. Daun tinggal diseduh saja atau ditumis tergantung yang masak,” kata Utami. Daun sepang tumbuh liar di dalam hutan. Bentuk daunnya seperti daun sirih dan agak berserat. Dekan Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Siti Maimunah mengungkapkan, daun ini mengandung monosodium glutamate (MSG).
Tidak hanya daun sepang, daun sungkai juga memiliki kandungan MSG. Di beberapa tempat di Kalimantan, daun ini dikenal dengan berbagai nama, sebagian besar yang mengetahui hanya ibu-ibu Dayak.
”Kedua daun dipakai masyarakat adat Dayak untuk memasak sebagai penyedap rasa. Ini membuktikan bahan alami kaya akan rasa,” tambah Siti.
Masakan pun dibuat. Siang itu, Utami dan beberapa ibu-ibu dari desa tetangga datang untuk memasak. Salah satu yang membantu Utami adalah Siti (40), warga Desa Tumbang Lawang, Kabupaten Katingan. Siti menyiapkan bambu untuk memasak. Daging ayam dan ikan yang sudah dibersihkan dilumuri bumbu tumbuk.
Bumbu yang digunakan, seperti kunyit, serai, bawang merah, dan jeruk nipis, dilumurkan ke daging. Daging yang menguning itu lalu didiamkan sebelum dimasukkan ke dalam bambu. Baru setelah itu ditambahkan ke dalam bambu garam dan air rebusan daun sepang dimasukkan.
Ujung bambu ditutup dengan daun sepang Bambu-bambu itu kemudian dipanggang di bara api dengan nyala api kecil dan harus dijaga agar bara tidak menghanguskan bambu. Dari bau dan buih air di dalam bambu, kata Siti, bisa kelihatan kalau sudah matang.
Utami dan Siti juga membuat berbagai jenis sayuran. Salah satunya adalah sayur sirsak muda yang pembuatannya hampir sama dengan membuat sayur nangka. Rasanya pun tidak jauh berbeda. Buah sirsak muda yang dimasak menjadi sayur tidak mengeluarkan rasa masam.
Paling sehat
Chef Ragil Imam Wibowo dari Nusa Indonesian Gastronomy yang ikut bersama World Wide Fund for Nature (WWF) mengatakan, dengan proses masakan dan bahan makanan yang dikumpulkan disimpulkan bahwa masakan Dayak adalah yang paling sehat.
”Pada dasarnya mereka tidak mengenal minyak goreng karena tidak digoreng. Mereka lebih ke bakar atau masak bambu, lalu rebus. Menggoreng adalah budaya baru yang masuk belakangan,” kata Ragil.
Menurut Ragil, bahan pangan non-beras, terutama pangan lokal, kini kian diminati masyarakat modern. Semakin banyak tawaran olahan pangan lokal non-beras yang membuka mata akan keragaman cita rasa.
”Ini terbukti juga dari masakan Dayak. Dari masakan yang mereka hidangkan saja sebenarnya sudah tidak perlu beras sumber karbohidrat dan protein sudah ada di sayuran-sayuran itu,” kata Ragil.
Selama ini Ragil dan chef lainnya dalam Nusa Indonesian Gastronomy menyajikan masakan lokal tradisional ke kancah nasional dan internasional. Tidak hanya mengenalkan identitas budaya lewat kuliner, tetapi juga memuliakan kembali masakan daerah dengan gaya modern.
Ragil yang mendapat penghargaan The Best of the Year dalam Jakarta Best Eats 2018 meracik aneka bahan lokal menjadi menu baru. Misalnya, ayam kampung dimasak bambu khas Dayak bisa disajikan dengan potongan sirsak muda dan ditaburi nasi singkong dalam berbagai festival kuliner.
Demikian juga dengan sukun kukus yang dilumatkan seperti mashed potato disandingkan dengan jantung sapi Bali yang dimasak kari Aceh. Sukun, menurut Ragil, lebih lembut dan wangi jika dibandingkan dengan lumatan kentang.
Ketahanan pangan
Peneliti dari Lembaga Dayak 21, Marko Mahin, yang juga antropolog Dayak, mengungkapkan, pangan lokal menjadi kunci ketahanan pangan masyarakat Dayak. Ada tiga aspek ketahanan pangan, yakni ketersediaan, keterjangkauan atau akses, dan stabilitas.
Menurut Marko, selama ini ketahanan pangan dihitung dari berapa banyak beras yang dihasilkan atau ketersediaan beras. Hal itu terbantahkan dengan penelitiannya di tiga desa di Kabupaten Katingan, yakni Desa Tewang Karangan, Dahian Tunggal, dan Desa Tumbang Lawang. Di tiga desa itu, ketahanan pangan diukur dari akses dan ketersediaan pangan di hutan. Selama hutan masih ada, ketahanan pangan masyarakat Dayak khususnya bisa terjaga.
Penelitian Lembaga Dayak 21 menunjukkan, terdapat sedikitnya 108 jenis padi lokal dan 30 jenis ketan yang semuanya ditanam di rawa ataupun di ladang. Selain itu, terdapat pula 119 jenis buah, baik yang tumbuh liar maupun budidaya. Ditambah lagi terdapat 172 jenis sayuran yang tumbuh liar dan ditanam petani.
”Masyarakat Dayak sangat bergantung pada alam, akses mereka ke hutan, dan ketersediaan pangan juga stabilitas itu yang mereka jaga. Namun, saat ini semua berubah,” ungkap Marko di Palangkaraya, Jumat (3/5).
Perubahan itu dirasakan dengan masifnya deforestasi atau alih fungsi lahan menjadi perkebunan monokultur. Dari data yang dihimpun Kompas, tutupan hutan di Kalteng turun setiap tahun. Tahun 1990 masih ada 11,05 juta hektar, 2014 tinggal 7,8 juta hektar karena dibabat untuk beragam kepentingan.
Wilayah Kalteng secara keseluruhan mencapai 15,8 juta hektar, di mana 78 persen atau 11,3 juta hektar sudah berada pada pemilik izin konsesi, baik yang sudah maupun yang belum beroperasi.
”Perubahan dari hutan menjadi perkebunan menghilangkan tradisi atau kebiasaan berburu dan meramu masyarakat Dayak, ini yang luput diperhatikan. Hilangnya hutan akan berbanding dengan hilangnya budaya Dayak,” kata Marko.