Delegasi dari berbagai negara memenuhi salah satu ruangan hotel di Nadi, Fiji, pada awal Mei 2019. Saat itu, Vice President for Knowledge Management and Sustainable Development Bank Pembangunan Asia (ADB) Bambang Susantono tengah menyampaikan pidato kunci.
Pidato tersebut disampaikan pada Insurance Development Forum : Accelerating Private Sector Financing for Disaster Risk Management and Climate Resilience in The Asia and Pacific Region. Forum ini merupakan rangkaian penyelenggaraan pertemuan ke-52 ADB.
Isu mengenai lingkungan, termasuk perubahan iklim dan bencana, mengemuka dalam berbagai sesi pada pertemuan tahunan ADB 2019 itu. Hal ini relevan, karena berdasarkan catatan ADB, negara-negara kepulauan Pasifik termasuk paling terpapar risiko dampak perubahan iklim.
Berawal dari 1966, pada saat Samoa sebagai salah satu pendiri bergabung dalam ADB, kini ada 15 negara kawasan Pasifik menjadi anggota ADB. Secara berurutan, Fiji bergabung dengan ADB pada 1970 dan Papua Nugini pada 1971.
Pilihan Fiji sebagai lokasi pertemuan tahunan ADB kali ini mempunyai arti tersendiri. Delegasi dari berbagai negara dapat mengenal lebih dekat kondisi anggota ADB yang berada di kawasan Pasifik tersebut.
Sebagai ilustrasi, pada sesi rehat di sela-sela agenda padat pertemuan ADB, ada seorang perempuan muda yang berkisah tentang tinggi muka air laut di sekitar tempat tinggalnya, yang belakangan naik. Sepintas seperti obrolan biasa. Namun, mendengar hal tersebut, teman bicaranya dari negara lain tersadar bahwa perubahan iklim bukan hanya wacana abstrak. Dampak perubahan iklim sudah terasa nyata, terutama di negeri mungil terpencil yang berada di tengah samudera.
Maka, tak berlebihan ketika penguatan institusi untuk ketahanan bencana dan iklim di negara-negara anggota menjadi salah satu perhatian ADB. Selama ini, bantuan lembaga tersebut antara lain diwujudkan melalui penguatan kapasitas, perencanaan pengelolaan risiko bencana, dan perluasan pembiayaan risiko bencana.
ADB menengarai, ada peralihan kebijakan banyak negara di kawasan Asia-Pasifik dalam merespons bencana. Kebijakan proaktif mulai menggantikan kebijakan reaktif.
Sebagai gambaran, mengutip data ADB, kebutuhan investasi infrastruktur Asia dari 2016 sampai dengan 2030 diperkirakan mencapai 26 triliun dollar AS. Alhasil, perencanaan yang tepat serta investasi infrastruktur tahan bencana dan ramah iklim menjadi penting.
Pilihan kebijakan yang tepat dalam merespons bencana harus diupayakan, termasuk oleh Indonesia. Apalagi, bencana berpotensi menimbulkan kerugian yang tak sedikit di Negeri Cincin Api ini.
Perhitungan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, misalnya, mengestimasi dampak kerugian akibat bencana alam di Indonesia setiap tahun berkisar Rp 22 triliun hingga Rp 23 triliun. Angka yang cukup besar.
Pemerintah mulai memikirkan penggunaan mekanisme asuransi dalam menyikapi risiko bencana. Apalagi, industri asuransi belum berkembang optimal di Indonesia.
Bencana, adalah hal yang mendadak dan sulit diperkirakan. Akan tetapi, kesiapan dan kewaspadaan dalam menghadapi bencana bisa diupayakan. (C Anto Saptowalyono)