Menghidupkan Diponegoro untuk Masa Kini
Judul buku : Urip Iku Urub
Penulis : Peter Carey
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan : I, 2019
Tebal buku : xl + 568 hlm
ISBN : 978-602-412-534-9
Peter Carey bukan sosok asing di kalangan sejarawan dan pencinta sejarah modern Indonesia. Profesor emeritus sejarah di Trinity College, Oxford, Inggris, ini tersohor atas berbagai karyanya tentang Pangeran Diponegoro (1785-1855). Ia telah mempelajari sang pemimpin Perang Jawa (1825-1830) itu selama hampir setengah abad.
Karya magnum opus-nya, The Power of Prophecy (2007), yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan di Jawa, 1785-1855 (KPG, 2011), telah membangkitkan energi dan membentuk jalinan komunitas di Tanah Air yang bergulir terus tiada henti. Ia memberi inspirasi tentang perlunya sejarah Indonesia ditulis ulang sesuai kebutuhan zaman yang terus berkembang.
Pangeran Diponegoro adalah inspirator terbesar perlawanan terhadap kolonialisme di Indonesia. Tanpanya, gerakan kebangsaan Indonesia bakal berbeda. Energi membela martabat diri dan bangsa telah diwariskan oleh Pangeran Diponegoro. Semangat menjaga martabat diri dan teritori inilah yang harus dihidupkan kembali.
Peter Carey memerlukan waktu 30 tahun (1977-2007) untuk menerbitkan hasil penelitian disertasinya tentang Pangeran Diponegoro. Sejak bukunya terbit, banyak sekali aksi nyata bergulir terus, yang membuka banyak pintu untuk perbaikan sejarah Indonesia. Melalui buku dan aksi Peter, keturunan Diponegoro yang terserak bisa dikumpulkan.
Lalu, Wardiman Djojonegoro, Mendikbud 1993-1998, yang berkolaborasi dengan Peter Carey, berhasil membuat Babad Diponegoro ditetapkan UNESCO sebagai Memory of the World pada 2013. Bukunya memberi inspirasi perbaikan atas hari jadi Kabupaten Purworejo. Ia juga membantu memunculkan Raden Ronggo Prawirodirjo III, Bupati Madiun dan Bupati Wedana Mancanegara Timur Keraton Yogyakarta, untuk mengatasi stigma yang ada selepas Peristiwa Madiun 1948. Inisiatif Peter menggali historisitas sosok Raden Ronggo merupakan cara jitu memperlihatkan sejarah Madiun yang begitu kaya dan luar biasa.
Antologi selepas hijrah
Keputusan Peter pensiun dini dari Oxford dan pindah lalu menetap di Indonesia sejak tahun 2008 merupakan keputusan penting dalam hidupnya. Ditandai dengan pidato inaugurasi pada 1 Desember 2014, Peter Carey ditetapkan menjadi profesor tamu Jurusan Sejarah Universitas Indonesia. Peter berhasil membangun jaringan saling mengembangkan diri dengan sejarawan Indonesia, baik senior maupun yunior.
Terkait dengan wacana Diponegoro, Peter juga berhasil membangun jaringan dengan para seniman, guru, dan budayawan yang tertarik dengan Diponegoro. Simpul-simpul yang terajut telah membangun komunitas intelektual yang terus berkembang.
Jaringan yang terajut beberapa tahun ini digerakkan dengan cepat oleh FX Domini BB Hera yang bekerja keras menyusun sebuah buku antologi sebagai penghormatan untuk Peter Carey di hari ulang tahunnya yang ke-70 pada tahun 2018. Buku berisi 22 tulisan dari kolega sejarawan, sahabat, mahasiswa, dan pengagum Peter Carey di Indonesia dan luar negeri itu diberi judul Urip Iku Urub: Untaian Persembahan 70 Tahun Profesor Peter Carey (Penerbit Buku Kompas, 2019).
Hal menarik yang patut disadari ialah hampir semua tulisan di Urip Iku Urub berhubungan dengan Pangeran Diponegoro, baik pada masa hidupnya maupun respons sang pangeran terhadap kolonialisme di Indonesia. Buku ini melampaui peruntukannya serta dapat ditempatkan sebagai ensiklopedia populer tentang sejarah kolonial di zaman Diponegoro.
Oleh karena itu, judulnya sebaiknya diganti. Jika buku itu dibaca bersama karya-karya Peter Carey lain yang terkait, pembaca akan diperkaya dan belajar banyak darinya. Penambahan ide yang tajam dari masalah yang ditinggal oleh Pangeran Diponegoro juga harus dimasukkan.
Menyingkap stigmatisasi
Sebagaimana buku antologi, mutu tulisan tidak seragam. Ada tulisan yang berbelit, untung hanya satu-dua. Tulisan lain enak dibaca dan sangat informatif. Ternyata perlawanan terhadap kolonialisme tidak hanya melalui perang dan pemberontakan. KGPAA Mangkunegara IV, yang bertakhta pada 1853-1881, pernah melakukan perlawanan melalui persaingan di bidang ekonomi dan berhasil (hlm 451).
Demikian pula, karya misi Katolik dari para Suster Fransiskanes di Mendut berhasil membawa modernitas yang inklusif pada perempuan. Hal ini menjelaskan mengapa organisasi Wanita Katolik berpartisipasi dari awal dengan gerakan perempuan yang dimotori oleh Kowani (hlm 513).
Yang menarik, ada tulisan yang bersikap kritis terhadap Diponegoro, yakni yang ditulis sejarawan Didi Kwartanada, mengenai Tionghoa dalam pemikiran kajian Diponegoro. Didi menerangkan bahwa Diponegoro meninggalkan semangat anti-orang asing (xenofobia) dan menempatkan perempuan Tionghoa sebagai kambing hitam. Diponegoro menggunakan Perang Sabil untuk melawan kafir Belanda dan termasuk Tionghoa non-Islam.
Selain itu, Diponegoro menyalahkan perempuan Tionghoa atas kekalahan yang dialaminya karena ia berhubungan seks dengan nyonya China. Menurut dia, kesaktian hilang lantaran hubungan seks ini. Peristiwa tersebut membuat Pangeran Diponegoro melarang berhubungan seks dengan perempuan Tionghoa. Didi mengutip Denys Lombard, sejarawan Perancis, yang menyatakan bahwa ide ini adalah rasialis dan perlu dikoreksi (hlm 401-412).
Selain masalah Tionghoa yang harus kembali didekonstruksi untuk keperluan masa kini, masalah lain adalah penggunaan simbol Islam dalam peperangan yang perlu ditelisik lebih dalam. Persoalan ini harus diselesaikan dan dibuka sepenuhnya dengan sikap yang jelas.
Pangeran Diponegoro sama sekali bukan penganut Wahabi yang menginginkan negara Islam. Ia adalah penganut Islam sufi Tarekat Syattariyah yang dijalankan bersamaan dengan praktik mistis Jawa. Ia menamakan perangnya sebagai Perang Sabil dengan menggunakan serban yang diadopsi dari Turki. Simbol-simbol Timur Tengah yang digunakan ini perlu dijelaskan agar tidak disusupi dan dipakai oleh wahabisisme ataupun pelaku terorisme.
Sumbangan Peter Carey untuk dunia sejarah Indonesia begitu banyak. Ia menawarkan prototipe cara sejarawan merekonstruksi kisah yang ada. Kisah yang tak lagi berpihak pada penguasa, namun pada fakta yang ada, dan tugas sejarawan bertanggung jawab menyajikan fakta masa lalu.
Peter Carey juga ingin menempatkan sesuatu pada tempatnya berdasarkan fakta yang tidak sembarangan diambil. Ia menginginkan local wisdom Indonesia dimunculkan dan disebarkan secara gencar ke seluruh dunia karena ia percaya pada tatanan lama Nusantara yang pro-ekologi.
ESTHI SUSANTI HUDIONO Direktur Eksekutif Yayasan Hotline Surabaya; Penulis; Peminat Sejarah