Merusak Papan Peringatan Hutan, Pedagang Kopi Kena UU Kejahatan Korporasi
Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu menjatuhkan vonis 1 tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar bagi Hermanto Bin Nusirwan (43) pemilik warung kopi di kawasan hutan lindung. Nuriswan dijerat dengan UU kejahatan korporasi karena mengganti papan peringatan di pos polisi hutan menjadi penunjuk warung kopi miliknya.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
BENGKULU,KOMPAS—Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu menjatuhkan vonis 1 tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar bagi Hermanto Bin Nusirwan (43) pemilik warung kopi di kawasan hutan lindung. Nuriswan dijerat dengan UU kejahatan korporasi karena mengganti papan peringatan di pos polisi hutan menjadi penunjuk warung kopi miliknya.
Putusan tersebut dibacakan oleh Majelis Hakim yang diketuai Rimdan dan anggota Irwin Zaily serta Yongki, Jumat (14/6/2019). Putusan ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum yakni 4 tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar subsider 6 bulan penjara.
Hermanto dinyatakan terbukti bersalah merusak sarana dan prasarana kehutanan dan dianggap melanggar Undang Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Dia terbukti bersalah merusak papan peringatan yang ada di pos polisi kehutan dan mengubahnya menjadi penunjuk tempat usahanya.
Hermanto sejak 2017 sudah membuka usaha di hutan lindung Bukit Daun Register 5 wilayah Kepahiang sebelum akhirnya didakwa karena dianggap berjualan di dalam kawasan hutan lindung. Putusan itu pun tidak bulat dari tiga hakim tersebut, hanya Irwin Zaily yang berbeda pendapat (dissenting opinion).
Irwin berpendapat UU P3H tidak tepat dikenakan pada terdakwa Hermanto. UU tersebut lebih tepat digunakan untuk kejahatan perusakan hutan. Atas keputusan ini, Hermanto pun harus melanjutkan penahannya setelah ditahan sejak Januari 2019.
Kuasa Hukum Hermanto, Firnandes Maurisya menyatakan banding karena menilai dakwaan yang diberikan tidaklah tepat karena Hermanto hanyalah seorang individu yang mencari uang untuk kehidupannya sehari-hari. “Dengan membuka warung di sana, Hermanto mendapatkan uang Rp 60.000 per hari,” katanya.
Menurutnya UU P3H lebih cocok bagi kejahatan koorporasi yang melakukan penembangan liar dan terorganisasi, serta juga menjual produk kayunya hingga keluar negeri. Tidak untuk Hermanto yang hanya mencari uang untuk memenuhi kebutuhan istri dan kedua anaknya.
Selain itu, jaksa penuntut umum juga mendakwa Hermanto karena telah berjualan di dalam kawasan hutan lindung Bukit Daun Register 5 wilayah Kepahiang. “ Namun hingga akhir persidangan, jaksa tidak pernah memberikan bukti peta bahwa, kawasan yang ditempati Hermanto adalah kawasan hutan lindung,” ungkapnya.
Firnandes mengatakan, kalaupun harus dihukum, dakwaan yang diberikan bukanlah pasal tersebut melainkan Undang Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. “Apabila dakwaan yang diberikan salah tentu, terdakwa harus dibebaskan,” katanya.
Berdasarkan pengakuan Hermanto, dirinya mulai berjualan disana karena saran dari salah satu oknum pegawai Dinas Kehutanan Kepahiang. Bahkan, tidak hanya Hermanto yang berjualan di situ, di lokasi yang sama juga terdapat pedagang yang berjualan namun tidak ditindak. “Kami hanya menutut keadilan,” ungkap Firnandes.
Dalam banding nanti, ujar Firnades, pihaknya menuntut agar Hermanto dibebaskan karena dakwaan yang diberikan tidak sesuai dan namanya harus direhabilitasi. "Kami sedang menyiapkan bahan untuk mengajukan banding,"katanya.
Humas Pengadilan Negeri Kepahiang Yongki mengatakan, keputusan yang diberikan ini berdasarkan fakta persidangan dan Hermanto pun mengaku telah melakukan perusakan sarana dan prasarana kehutanan berupa papan peringatan. Hermanto berjualan tepat di samping pos polisi kehutanan. Dirinya tidak terbukti melakukan penebangan hanya mengecat papan peringatan dan mengubahnya sebagai papan nama usahanya.
Atas perbuatan tersebut, Dinas Kehutanan Kepahiang telah memberikan surat peringatan hingga dua kali kepada Hermanto tetapi tidak digubris. Atas bukti itulah, dua hakim menjatuhkan vonis tersebut. Vonis yang diberikan pun jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntu 4 tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar subsider 6 bulan penjara.
Dengan mempertimbangkan kondisi terdakwa dan tidak ada hal yang memberatkan hakim memberikan sanksi paling ringan dari UU P3H. “Atas keputusan ini, terdakwa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bengkulu,” katanya.