Percaya Penuh kepada MK
JAKARTA, KOMPAS —Sidang perdana perselisihan hasil pemilihan presiden pada Pemilu 2019, Jumat (14/6/2019), mengindikasikan adanya kepercayaan para pihak dan masyarakat kepada Mahkamah Konstitusi. Kendati terjadi perdebatan di antara para pihak terkait perbaikan permohonan, mereka akhirnya menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada hakim Mahkamah Konstitusi.
Kepercayaan ini dinilai bisa menjadi modal positif penyelesaian perselisihan hasil pemilu (PHPU) presiden. Hal ini harus disambut hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dengan menangani perkara secara bijaksana, adil, dan teliti.
Selain itu, unjuk rasa skala besar yang dikhawatirkan mewarnai persidangan PHPU juga tidak terjadi. Beberapa ratus meter dari MK, massa berunjuk rasa damai, tetapi bubar sekitar pukul 16.00. Pemimpin unjuk rasa, Abdullah Hehamahua, mengatakan, aksi ini bentuk dukungan moral kepada hakim MK agar independen, berani, dan jujur.
Di awal sidang, Ketua MK Anwar Usman menegaskan lagi, hakim MK tidak tunduk kepada pihak mana pun serta tidak bisa diintervensi. Hakim MK hanya tunduk kepada konstitusi dan perundang-undangan.
Perdebatan
Dalam sidang perdana, pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo- Sandi menyampaikan pokok-pokok permohonan sengketa hasil pilpres. Tiga kuasa hukum Prabowo-Sandi, yakni Bambang Widjojanto, Denny Indrayana, dan Teuku Nasrullah, bergantian membaca permohonan. Permohonan yang dibacakan ialah yang diserahkan kepada MK pada 10 Juni, yakni perbaikan dari permohonan yang diserahkan pada 24 Mei.
Menurut Bambang Widjojanto, pihaknya menemukan fakta cawapres Ma’ruf Amin belum mengundurkan diri sebagai pejabat BUMN, sebagaimana diatur Pasal 227 Huruf P UU Pemilu. Sampai saat ini, Ma’ruf disebut masih menjabat Ketua Dewan Pengawas BNI Syariah. Hal itu dinilai pihaknya layak menjadi pertimbangan MK untuk mendiskualifikasi Jokowi-Amin.
Pemohon juga menguraikan argumentasi terkait pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif, yakni penyalahgunaan anggaran belanja negara dan program/kerja pemerintah, ketidaknetralan aparatur negara, penyalahgunaan birokrasi dan badan usaha milik negara, pembatasan kebebasan media dan pers, serta diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum.
Dalam petitumnya, pemohon meminta majelis hakim MK, antara lain, memerintahkan KPU menetapkan Prabowo-Sandi sebagai capres-cawapres terpilih, atau memerintahkan KPU menggelar pemungutan suara ulang di seluruh wilayah Indonesia, atau memerintahkan pemungutan suara ulang di setidaknya 12 provinsi yang disebutkan di petitum.
Pembacaan permohonan itu sempat diinterupsi kuasa hukum KPU selaku termohon, Ali Nurdin, ataupun tim kuasa hukum Jokowi-Amin sebagai
pihak terkait. Kedua pihak keberatan atas perbaikan permohonan. Namun, Anwar Usman meminta interupsi tak diteruskan guna memberikan kesempatan pemohon menyampaikan argumentasi.
Ketua tim kuasa hukum Jokowi-Amin, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan menghargai pendirian hakim konstitusi yang membolehkan pembacaan perbaikan permohonan sekalipun hal itu dipandang berbeda dengan hukum acara yang diatur dalam Peraturan MK No 5/2018 dan UU No 7/2017 tentang Pemilu.
”Kami berpendapat ini bukan masalah kekosongan hukum dalam UU karena hal ini (ada tidaknya perbaikan permohonan dalam sengketa pilpres) diatur oleh PMK. Namun, karena majelis berpendapat lain setelah rapat permusyawaratan hakim (RPH), kami menghargainya,” kata Yusril.
Persidangan lanjutan dengan agenda jawaban terlapor dan pemeriksaan yang semula diagendakan Senin (17/6) akhirnya ditunda menjadi Selasa. Hal ini dilakukan setelah majelis hakim menyepakati memberi waktu ke KPU untuk memperbaiki jawaban termohon atas permohonan perbaikan.
”Kami akan menyiapkan jawaban atas perbaikan permohonan, 10 Juni 2019. Namun, dalam jawaban kami juga akan kami kemukakan sikap kami yang keberatan dengan perbaikan permohonan itu karena tidak sesuai dengan hukum acara di MK,” kata Ketua KPU Arief Budiman.
Kepercayaan publik
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, pemerintah meyakini MK menangani kasus sengketa pemilu dengan adil. Untuk itu, ia meminta masyarakat memercayakan sepenuhnya penanganan perkara PHPU ke MK.
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono, dihubungi dari Jakarta, mengatakan, kepercayaan dari publik dan pihak beperkara kepada MK merupakan sinyal positif bagi penyelesaian sengketa pilpres. Kepercayaan itu harus direspons MK dengan menangani perkara secara adil dan bijaksana.
Sidang selanjutnya diharapkan lebih menyentuh substansi, tidak lagi mempersoalkan hukum acara di MK.
Sementara itu, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, menilai ada kesalahan institusional MK terkait perbaikan permohonan PHPU presiden. Meski Peraturan MK No 5/2018 mengatur adanya tahapan perbaikan dan kelengkapan permohonan, jadwal dan keterangan untuk perbaikan perkara PHPU presiden tidak tercantum dalam lampiran. Namun, revisi permohonan tetap diterima.
”Akhirnya, hakim mengambil posisi ini karena menyadari ada kesalahan institusional. Di sisi lain, hakim juga ingin menghindari kontroversi kalau meminggirkan begitu saja. Akan tetapi, akibatnya tidak adil untuk pihak lain. Terlebih lagi, perbedaannya dengan permohonan yang diajukan 24 Mei itu jauh sekali,” tutur Bivitri.
Namun, Bivitri menilai wewenang hakim tetap harus dihormati dan kekuasaan hakim juga bisa menentukan ritme sidang.
(REK/IAN/NTA/BAY/FAI/AYU/DAN)