PUISI
Kurnia Effendi
Tiga Ziarah
– Syeikh Sadzali
Angin mengendap ke lembah – ke arah
jurang grawah. Memberi saat dan tempat
bagi salawat: berduyun memanjat langit liat
Menghampiri ribuan akar pohon, air
menyerap tuah lalu memandikan kalian
Memasuki pusat darah dari tiga sumber
Tempat becermin dan menggugurkan dosa
Pada dinding-dinding kayu: abad menebal
Setiap kali kulit terkelupas, kembali zikir
menambal. Bubungan adalah menara tauhid
yang membuat awan gunung menari seperti Rumi
Kupinjam sukma kalian membawa raga
merapat pada makamku. Aku suka dengung
tahlil itu – berputar melingkar seolah tawaf
Kepada siapa lagi amanah Rasul kuwariskan
selain jiwa mukhsin yang tak terpikat dunia?
Hampir tak ada malam di sini sebab cahaya
subuh bagai kekal menerangi hutan. Serasa
tak ada siang di relung istirahku karena gelap
menjaga khusyuk percakapan para malaikat
– Sunan Muria
Benteng batu ini hanya memperpanjang langkah
menuju tempatku sedeku. Ya, serupa terwelu
Para imam menuntun kalian dengan doa yang sulit
diterjemahkan. Itu bagian dari cinta yang kalian
berat menanggungnya. Berulang-ulang
Salat seperlunya seperti sarapan sebelum bekerja
Membulir darah meragi getah menoreh zarah
Bercinta sekadarnya sebelum mencapai ampas dasar jiwa
Sehabis itu mungkin luka atau derita yang mirip magma
Bederma seluruh yang kalian punya: kembalikan
segala yang dipinjam, dengan mata nyalang atau terpejam
Tak ada bendera untuk satu aksara satu suara satu muara
Tak ada warna untuk satu mantra
Tak ada nama
Tak
– Sunan Kudus
Kota membangun dirinya dengan gembira
: aku suka pasar dan jalan yang melingkar
Mana lebih bising antara zikir dan perniagaan
yang mendekati suara azan?
Kurangkul roh-roh suci lalu kusimpan serupa
keris warisan untuk melupakan pembunuhan
Biarlah aku yakin hanya kepada yang gaib
– Kuragukan ujaran kalian karena naik turun iman
Jika aku melangkah ke utara, tidak menjauhi
selatan, sebab kesedihan bukan lawan kebahagiaan
Bersimpuh saja di sini memandang nisan yang
sudah kutinggalkan. Namun doa tak pernah padam
Seperti kata Djenar: hidup dimulai sesudah mati
Aku sedang menjalani. Pada sebuah tikungan
kutunggu kalian – sebelum mendaki
Mencari bukti
2019
Pengembara dan Sekuntum Bunga
Dalam sore semerbak harum taman, aku bercakap-cakap
dengan sekuntum bunga. Diredamnya luka pada seluruh
kelopak yang bertahan dari empasan musim telengas
“Ingin kuceritakan kepadamu, Pengembara.”
Dan aku bukan pengembara yang setia
Berulang ingkar janji, tak sepenuhnya menempuh
jalan lurus, mencari sumber benih kelahiran dunia:
Sepercik air yang berkilau cahaya
Segumpal tanah yang gembur dan basah
Sedesir angin yang melekatkan hawa dingin
Atau sedenging suara di hening Hira?
Gamang kuhampiri mulut kebun karena sekuntum bunga
menanti penuh harap. Ia bertahan pada tangkai ringkih,
akar pipih, dan rintih lirih
“Ingin kuwariskan kisah kepadamu, Pengembara.”
Dan aku bukan pengembara sejati
Langkahku berat oleh dendam tak terpadamkan
2019
Seorang Tamu
Kuintai kendaraannya: seekor bintang. Masih
berjejak garis cahaya memanjang ke awal kelam
Sisa gemuruh memasuki celah pintu – memercik latu
Tak sabar kucari tanda itu:
Sepasang mata yang lama tak tidur
karena cinta membuat sibuk lubuk hatinya
Aku tahu, fajar belum sepenuhnya bangkit
Jubahnya masih melindungi bumi yang sakit
Tapi laung iqamat tak mungkin terlambat
meski dibebani kesumat
Seperti sedang memandang sang penjemput,
jiwaku gemetar. “Bolehkah aku minta waktu
sebentar? Bolehkah?”
Dalam beku udara aku lolos dari pintu belakang
: Maut yang membentang
2019
Suluk Sungai
untuk Abdullah Wong
Selalu tak ada cara mengingatmu, sebagaimana
selalu tak ada cara membunuh amarahku
– Sungai sedang membelah sunyi nyanyianku
Mendengar detas seribu gelagah pecah dalam udara bisu
Nyeri itu menetap di ceruk hati. Membuat sarang
dendam yang tak sepenuhnya kumengerti
Angin membuyarkan bunyi lonceng sepanjang
musim. Arus waktu mengirimku ke masa lalu
bagai gerobak yang didorong mundur pada
jalan menurun
– Sungai terus membelah sunyi nyanyianku
Aku tahu kau tidak menunggu di situ
untuk mengumpulkan setiap puing ngilu
2019
Kubaca Peta
Demikianlah, aku telah berjalan seratus tahun
Mataku buta oleh air mata yang setiap tetesnya menjadi
lilin. Tidak kujumpa harum tubuhmu di gelap rimba
Anyaman batang pohon menutupi jejakmu. Kabut
menyempurnakan sesatku: tempat semua panggilan
tidak mendapatkan jawaban
Perjalanan kita menjadi pelepah panjang silsilah
Tercurah darah melukis peta penuh nama-nama
Sampai suatu hari kukenali hela napasmu, seperti
engkau mengenali kasar kulit tanganku
“Mengapa kita menjadi orang usiran, Kekasih?”
Tidak ada atap selain awan-gemawan
Tidak diperlukan sebuah guci selain curah hujan
Kita menanam kayu dengan perasaan malu
Mendulang cahaya seraya menyeka duka
“Di mana kausimpan peta yang kelak
mempertemukan kita kembali?”
2019
Dermaga Masih Sunyi
Setelah bahtera merapat, kabut memagut dari sisa gulita
Serupa pencuri cekatan yang merampas setiap kesempatan
Ombak reda bersama rasa waswas yang terseka
Sebab hendak berjumpa pipi ranum kekasih pujaan
Inilah tanah impian setelah almanak kembali diciptakan
Langit tercuci dari dosa purba. Camar mencoba kekuatan
sayapnya. Cakrawala mulai digaris dengan pena harapan
Angin memperkenalkan diri lewat hangat kecupan
Dermaga masih sunyi menunggu kelahiran matahari
Cahaya memecah punggung bukit yang membujur di timur
Menawarkan aroma hutan beserta kuntum-kuntum cendawan
Kericik air sungai seperti awal senandung pagi
Setelah kapal merapat – mungkin kandas oleh surut laut,
tiada lagi pelayaran dengan lelehan air mata dan rasa takut
Menghabiskan ribuan peta yang digulung perlahan
Mencoba melupakan perjanjian yang menyedihkan
2019
Kurnia Effendi lahir di Tegal, Jawa Tengah, 20 Oktober 1960. Ia telah menerbitkan 25 buku (cerpen, puisi, esai, novel, dan memoar). Dua kumpulan puisinya yang terbaru adalah Percakapan Interior (2018) dan Mencari Raden Saleh (2019).