Dag-dig-dug gara-gara Koper
Tugas liputan ke luar negeri adalah salah satu penugasan menyenangkan bagi seorang wartawan. Namun, kisah perjalanan ke negeri seberang tak selalu berisi kisah menyenangkan. Terkadang, apes menjadikan perjalanan ”sedikit menyakitkan”.
Tugas liputan ke luar negeri biasanya menjadi penugasan menyenangkan bagi seorang wartawan. Namun, kisah perjalanan ke negeri seberang tidak selalu berisi kisah menyenangkan. Terkadang, apes menjadikan perjalanan sedikit menegangkan dan ”menyakitkan”. Hal itu saya alami pada Desember 2017, tepatnya beberapa saat menjelang Natal.
Saya mendapat tugas liputan memenuhi undangan Germany National Tourism Board (GNTB) untuk berkunjung ke Jerman pada 10-16 Desember 2017. Agendanya adalah tur ke Frankfurt, Erfurt, Dresden, dan Berlin. Di sana, kami diajak menikmati salah satu daya tarik wisata Jerman, yaitu Pasar Natal.
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Minggu (10/12/2017) pukul 18.30 WIB, saya dijadwalkan berangkat naik maskapai GA 846 ke Singapura. Dari sana, saya dan seorang teman dari majalah wisata akan naik penerbangan lanjutan menggunakan Lufthansa LH 799 pada pukul 23.55 waktu setempat.
Menjelang pukul 16.00 WIB, saya sudah tiba di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten. Saya tentu sangat bersemangat karena ini akan menjadi tur Eropa pertama kali buat saya. Tiba-tiba datang SMS dari maskapai, mengabarkan bahwa pesawat delay sejam, menjadi pukul 19.30 WIB.
Saya mulai cemas karena harus mengejar penerbangan lanjutan menuju Frankfurt. Saya pun menelepon call center yang diinformasikan lewat SMS. Petugas di ujung telepon meyakinkan, saya masih bisa mengejar pesawat lanjutan karena pesawat diperkirakan tiba di Singapura pukul 22.05 waktu setempat.
Saya sedikit tenang, lalu kembali duduk menanti teman yang belum datang. Setelah ia tiba, kami lantas check-in bersama-sama. Dua koper kami masukkan ke bagasi. Saya menanyakan kembali, apakah penerbangan lanjutan kami di Singapura masih terkejar? Sang petugas tersenyum dan mengatakan masih bisa. Ya sudah, tenanglah kami.
Kami kembali duduk manis di ruang tunggu keberangkatan di Gate (gerbang) 10. Namun, setelah menanti lama, Gate 10 tidak kunjung dibuka. Padahal, sudah banyak penumpang menanti. Penumpang sampai antre berdiri dalam barisan panjang di depan gerbang.
Antrean orang masuk gerbang cukup panjang karena dua penerbangan Garuda digabung menjadi satu, yaitu GA 846 yang seharusnya berangkat pukul 18.30 WIB dan GA 822 yang seharusnya berangkat pukul 19.30 WIB.
Sejak itu, saya tidak berani melihat jam sama sekali. Saya tidak berani membayangkan apa yang harus kami alami jika penerbangan lanjutan tidak terkejar.
Pukul 20.30 WIB akhirnya kami masuk pesawat. Persiapanlepas landas selesai. Namun, pesawat tidak bisa segera terbang karena harus antre untuk lepas landas. Pesawat kami dapat antrean nomor 20.
Baru sekitar pukul 20.45 WIB pesawat mulai terbang. Sejak itu, saya tidak berani melihat jam sama sekali. Saya tidak berani membayangkan apa yang harus kami alami jika penerbangan lanjutan tidak terkejar.
Kami pun bergegas mencari terminal keberangkatan pesawat kami. Rupanya drama belum berakhir. Transfer terminal Lufthansa ada di Terminal 2, sedangkan pesawat kami dari Jakarta tiba di Terminal 3. Kami kembali berlari menuju ruang tunggu shuttle bus ke Terminal 2. Rasanya lama sekali menunggu bus tiba. Saat sudah tiba pun, bus terasa berjalan pelan. Duh....
Kami tiba di Changi International Airport sekitar pukul 23.00 waktu setempat. Kami berlari mencari pusat informasi untuk bertanya apa yang harus dilakukan, sementara kami harus mengejar pesawat. Apakah kami harus mengambil bagasi dahulu baru ke Lufthansa atau langsung ke Lufthansa dan menginformasikan kondisi kami yang belum mengambil koper.
Jadilah kami berdua berangkat ke Jerman tanpa koper. Terbayang kondisi Jerman pada saat musim dingin, menjelang Natal lagi. Sementara semua baju hangat, jaket, dan keperluan harian ada di koper.
Beruntung, petugas yang kami temui sangat membantu. Dia menyarankan kami pergi ke counter Lufthansa terlebih dahulu untuk berkonsultasi. Karena jika kami menunggu bagasi dahulu, pesawat Lufthansa tidak akan terkejar.
Dengan perasaan tidak karuan, akhirnya kami tiba di transfer desk Lufthansa sekitar 30 menit sebelum pesawat lepas landas. Kru Lufthansa masih menerima kami naik pesawat. Hanya saja, mereka tidak bisa menunggu bagasi kami. Mereka mengatakan, koper kami akan diangkut penerbangan berikutnya. Syaratnya, kami harus melapor setibanya di Frankfurt.
Tanpa koper
Jadilah kami berdua berangkat ke Jerman tanpa koper. Harapannya, koper akan segera menyusul dengan penerbangan berikutnya. Terbayang kondisi Jerman pada saat musim dingin, menjelang Natal lagi. Sementara semua baju hangat, jaket, dan keperluan harian ada di koper.
Namun, saya yakin, kejadian buruk selalu bermula dari pikiran buruk. Jadi, saya berusaha menepis jauh-jauh pikiran, bagaimana jika koper saya hilang atau tidak bisa sampai Jerman.
Rasa letih dan khawatir coba saya enyahkan dengan menikmati aneka hidangan yang disajikan. Kue, makanan, hingga red wine, semuanya saya coba. Saya berpikir, minum anggur merah dapat membantu saya cepat mengantuk dan tidur agar tidak sempat berpikir macam-macam.
Bangun tidur, saya menyapa seorang pramugara Lufthansa. Maskapai ini tampaknya punya banyak pramugara yang cakep-cakep dan baik hati. Saya ceritakan masalah yang saya alami. Saya juga menanyakan, nanti setibanya di Frankfurt, saya bisa melapor ke mana soal bagasi itu. Pramugara itu mendengarkan sambil berjongkok dengan satu kaki seperti pria hendak melamar kekasihnya.
Pramugara itu lantas memberikan jawaban yang menenangkan. Katanya, saya tidak perlu cemas. Nanti, setiba di bandara, saya bisa mendatangi area pengambilan bagasi dan mencari ruangan Lufthansa Lost and Found yang ditandai dengan tulisan besar kuning.
Nah, saya diminta melapor ke sana. Petugas akan mengecek di komputernya karena semua terkomputerisasi. Sang pramugara juga meyakinkan saya agar tidak perlu khawatir karena petugas akan memberikan informasi kapan koper saya tiba. Jika perlu, koper akan diantar ke hotel. Mendengar penjelasan itu, hati saya langsung tenang.
Setiba di bandara, kami langsung melapor. Sambil menanti keberadaan koper, petugas Lost and Found memberi kami tas mungil berisi satu set alat mandi plus baju dalam.
Di bandara, kami bertemu rombongan lain dan penjemputnya. Mereka menanyakan kondisi kami. Tentu saja panitia terkaget-kaget dan berharap koper segera ditemukan.
Kami pun keluar bandara disambut suhu 1 derajat celsius. Wajah langsung terasa dicubit-cubit oleh embusan angin. Untungnya, hari itu kami langsung menuju hotel dengan acara seremonial sedikit saja.
Hari berikutnya, Selasa (12/12/2017) siang, Lufthansa masih melacak posisi bagasi kami. Padahal, kami sudah harus pergi meninggalkan Frankfurt menuju Erfurt. Saya mulai pesimistis dengan koper saya karena Lufthansa hanya tahu kami menginap di sebuah hotel di Frankfurt. Mereka tidak tahu kami akan berpindah dari satu kota ke kota lain setelah Frankfurt.
Meski begitu, saya merasa beruntung sempat masukkan kaus tangan dan syal ke dalam ransel yang saya bawa. Kedua barang berharga itu saya letakkan di antara kamera, laptop, dompet, dan berkas-berkas penting seperti paspor.
Baca juga: Menggapai Fitrah di Atas Jembatan Ampera
Saya juga sangat bersyukur, meski bercelana jins, saya mengenakan atasan baju lengan panjang dan jaket tipis yang mampu menahan angin. Tidak bisa menahan dingin memang, tetapi setidaknya mampu menahan angin yang dinginnya menusuk tulang.
Keberuntungan lain, rombongan kami banyak berjalan kaki saat menjelajahi kota-kota di Jerman sehingga tubuh lebih banyak merasa hangat.
Bengong
Dalam perjalanan menuju Erfurt, kami mendapat kabar bahwa koper kami kembali ke Jakarta. Rupanya, maskapai GA membawa balik koper dari Singapura ke Jakarta. Tentu saja kami kaget karena sudah berharap koper akan ditangani oleh kru Lufthansa. Panitia dari GNTB pun terbengong-bengong mendengar penjelasan kami. Mereka tidak menyangka koper kami akan kembali pulang.
Begitu mendengar koper balik ke Jakarta, kami mulai waswas. Siapa yang akan mengurusnya di sana. Akhirnya, saya meminta tolong seorang rekan wartawan yang biasa meliput bidang penerbangan untuk mengurusnya. Tujuannya, agar koper tidak usah dikirim lagi ke Jerman, tetapi diantar ke kantor Kompas saja.
Baca juga: Tujuh Hari di Markas Uni Eropa
Keputusan itu kami buat dengan pertimbangan matang. Pada 12 Desember 2017, koper ditemukan dengan posisi di Jakarta. Kalau dikirimkan lagi ke Jerman, koper baru bisa dikirim kembali pada 13 Desember malam. Lalu, pada 14 Desember koper baru sampai Frankfurt.
Pada tanggal tersebut, kami akan berada di Dresden, hari berikutnya geser ke Berlin, lalu pulang ke Tanah Air. Jika memaksakan koper dikirim ke Jerman, bisa-bisa saat koper tiba di Jerman, kami sudah pulang ke Indonesia.
Mendengar kisah mengenaskan kami, panitia GNTB merasa iba. Mereka tampak tidak tega melihat kami tidak ganti baju sepanjang trip dan menggigil kedinginan. Saat itu, suhu di Erfurt mulai mencapai -1 derajat celsius. Mereka kemudian membelikan kami koper dan baju hangat.
Saat itu, saya menyaksikan rasa kemanusiaan bekerja. Mereka melihat kami bukan sebagai warga negara lain, melainkan mengasihi sebagai sesama manusia. Saya sungguh terharu dan teringat dengan tulisan penulis asal Pakistan, Muhammad Iqbal, dalam bukunya, Tulip dari Sinai:
”Kau masih terikat pada warna kulit dan ras/ Maka kau sebut aku Afghan atau Turkoman/ Namun aku pertama kali manusia, nyata manusia/ Baru kemudian bisa kau sebut India atau Turkistan”.
Beruntung
Kasus koper tertinggal ini rupanya bukan hanya terjadi pada kami berdua. Pak Lokman, jurnalis NST asal Malaysia, pun mengalami nasib sama. Pada saat datang ke Frankfurt pertama kali, kopernya tidak ada karena masih tertinggal di Singapura. Bagian Lost and Found Lufthansa mengatakan akan mengirim koper Pak Lokman ke Erfurt pada esok harinya. Namun, pada hari yang ditentukan, koper tidak juga sampai.
Pak Lokman dengan sabar menanti hingga akhirnya rombongan kami meninggalkan hotel di Erfurt menuju Dresden. Hingga saat itu, Pak Lokman belum mendapatkan kopernya.
Di tengah jalan menuju Dresden, tiba-tiba Pak Lokman menerima surat elektronik bahwa kopernya dikirim ke hotel di Erfurt. Namun, hotel tidak mau menerimanya karena kami sudah check out. Akibatnya, si kurir mengirim koper ke bandara di Leipzig. Padahal, kami tidak ada jadwal mampir ke Leipzig. Nah….
GNTB kembali bingung. Bagaimana caranya agar koper itu bisa sampai di tangan. Disepakati, koper diusahakan dikirimkan kembali ke Kuala Lumpur. Nasib Pak Lokman pun sama seperti kami.
Pelajaran yang saya petik dari kejadian itu adalah saya harus selalu menyiapkan benda-benda penting di dalam tas yang tidak masuk bagasi. Jika tas cukup besar, kita bisa memasukkan sebuah jaket atau baju ganti. Memang beban tas akan berat, tetapi itu pilihan paling aman jika koper bermasalah seperti yang saya alami.