DKPP di Antara Para Pihak yang Kecewa
Pihak yang kecewa dengan hasil Pemilu 2019 akan menggunakan berbagai cara untuk meluapkan kekecewaannya, termasuk mengadu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. DKPP kerap menghadapi tantangan berupa pengaduan di wilayah persinggungan antara pelanggaran administrasi dan kode etik. Bagaimana DKPP menyikapi?
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Prof Muhammad, yang memimpin persidangan DKPP pada akhir April lalu, agak meradang. Saat itu Muhammad menjadi ketua majelis persidangan DKPP dengan agenda pemeriksaan tiga pengaduan yang berbeda terhadap penyelenggaraan Pemilu 2019.
Sebagian adalah dugaan pelanggaran kode etik perekrutan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lebak, Banten, periode 2019-2024 dan dugaan pelanggaran kode etik oleh seorang komisioner KPU saat memberikan pernyataan di media massa.
Tepat saat majelis DKPP yang tengah bersidang, juga dihadiri anggota DKPP lainnya, yaitu Ida Budhiati, Teguh Prasetyo, dan Alfitra Salamm, hendak memeriksa pengaduan kedua, saat itulah Muhammad meradang. Pangkalnya adalah keberatan yang diajukan Cep Edi Setiawan, kuasa hukum Saepulloh dari Lembaga Pemantau Pemilu Pemuda Muslimin Indonesia sebagai pengadu. Adapun pihak teradu adalah sebagian anggota KPU pusat, KPU Jawa Barat, dan KPU Kabupaten Garut.
Persidangan dengan nomor perkara 24-PKE-DKPP/II/2019 itu membuat ruang sidang hening selama beberapa saat. Cep merasa tidak terima dengan jadwal persidangan DKPP yang dijadwalkan menyusul pemberitahuan yang, menurut dia, tiba-tiba dilakukan. Hal itu, menurut Cep, berdampak pada saksi yang sudah dipersiapkan berdasarkan jadwal sidang sebelumnya.
Muhammad lantas menjelaskan bahwa jadwal itu sudah disiapkan sebelumnya dengan baik dan memperhitungkan masa puncak Pemilu 2019 dengan proses pencoblosan surat suara di dalamnya. Namun, Cep tetap berbicara dengan sejumlah argumentasi, termasuk berbantahan dengan Muhammad mengenai hak menghadirkan sejumlah saksi.
Muhammad pun menegaskan bahwa apa yang dikeluhkan Cep mestinya melihat pada kondisi yang ada. Saat itu Ketua KPU Arief Budiman hadir bersama sejumlah anggota lainnya di kursi teradu. Sebagian hadir secara bergantian. Mereka adalah Pramono Ubaid Tanthowi, Viryan Aziz, dan Evi Novida Ginting. Adapun komisioner KPU lainnya, Wahyu Setiawan dan Hasyim Asy’ari, duduk di kursi pengunjung.
Menurut ketua majelis, kehadiran komisioner KPU pada saat itu mesti dilihat dari konteks penyelenggaraan tahapan pemilu yang sedang memasuki masa-masa sibuk. Terutama jika dikaitkan dengan proses rekapitulasi penghitungan suara yang dilakukan secara berjenjang, aneka tuduhan yang dialamatkan dari sebagian pihak, hingga upaya untuk mendelegitimasi penyelenggaraan Pemilu 2019.
Puncak dari kejengkelan Muhammad pun berujung dengan pengusiran Cep dari ruang sidang. Sejurus kemudian, Cep langsung berdiri dan dengan langkah gontai dia berjalan meninggalkan ruang sidang.
Evaluasi pemilu
Hari-hari seperti yang dialami Muhammad saat memimpin persidangan mungkin saja akan terjadi lagi dalam rutinitas anggota DKPP. Atau, dalam kesempatan lain, saat melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan pemilu.
Hal ini seperti dilakukan anggota KPU, Hasyim Asy’ari, yang juga anggota DKPP ex officio, akhir April lalu, saat menjadi pembicara dialog bertopik ”Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu” di lobi Gedung DKPP/Bawaslu.
Dalam paparannya, Hasyim mengatakan bahwa keberadaan DKPP ialah untuk menjaga kepercayaan publik pada pemilu. Sebab, pada dasarnya, pemilu adalah pertarungan untuk mencapai kekuasaan, menyusul terbatasnya kursi yang diperebutkan orang banyak dalam sebuah kontestasi meraih kursi.
Dalam hal itu, keberadaan KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mestilah ada di tengah-tengah proses kontestasi. Karena itu, penyelenggara dan pengawas penyelenggara tidak mungkin menjadi bagian yang ikut berkonflik, melainkan ikut dalam mengelola pertarungan tersebut.
Ia menambahkan, salah satu tantangan Pemilu 2019 adalah arus informasi yang cenderung tidak terkontrol. Hal ini terkait dengan perkembangan pesat teknologi komunikasi. Sebuah perkembangan yang menjadikan hampir setiap orang memiliki kemungkinan untuk memproduksi, mendistribusikan, dan mengonsumsi konten apa pun, baik yang hoaks maupun yang benar.
Akibatnya, penyelenggara pemilu kini mesti pula melakukan klarifikasi atas sejumlah informasi yang salah. Hasyim mengatakan, pembodohan massal akan terjadi bilamana informasi tidak benar itu dibiarkan masuk dalam ruang publik.
Profesionalitas jadi soal
Tantangan bagi DKPP, kata Hasyim, adalah pengaduan yang terkadang bercampur, pelanggaran administrasi ataukah kode etik. Hal ini sesuai dengan Pasal 155 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan aduan dan atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota KPU (pusat, provinsi, kabupaten/kota), dan Bawaslu (pusat, provinsi, kabupaten/kota).
Ia mencontohkan, salah satunya pemberitahuan terkait tanggal dan jam yang dilakukan penyelenggara pemilu. Hal itu bisa dikategorikan pelanggaran administrasi, tetapi bisa juga perilaku tidak profesional karena tidak cermat. Untuk itu, hal itu bisa juga digolongkan dalam pelanggaran kode etik.
Pada titik itu, mungkin saja DKPP akan dibanjiri oleh pihak-pihak yang kecewa pada penyelenggara pemilu. Karena itu, persidangan DKPP penting digelar untuk membuktikan ada atau tidaknya pelanggaran kode etik. Sebab, siapa yang mendalilkan, dia wajib untuk membuktikan.
Menanggapi hal itu, peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana, mengatakan, berdasarkan data yang dihimpun pada 2014, ada 879 pengaduan yang diterima DKPP. Dari jumlah itu, ada 547 pengaduan yang masuk pasca-Pemilu Legislatif 2014. ”Total teradu, termasuk yang diadukan komisioner, ada 2.696 orang,” kata Ihsan.
Sementara itu, hingga 25 Mei 2019, tercatat ada 107 pengaduan ke DKPP. KoDE Inisiatif memperkirakan pengaduan ke DKPP terkait penyelenggaraan Pemilu 2019 masih akan terus masuk. ”Namun, jika diperhatikan, pengaduan yang masuk pada 2019 (per 25 Mei) dengan pengaduan yang masuk pada 2014, terjadi penurunan cukup banyak,” ujar Ihsan
Hal itu mungkin saja karena penyelenggara pemilu yang makin profesional dan berhati-hati menyikapi segala sesuatu. Hal ini menyusul kesadaran bahwa segala perbuatan mereka yang terkait marwah penyelenggara diawasi masyarakat dan dapat diadukan ke DKPP
”Dari aduan-aduan yang masuk memang masih terlihat penyelenggaraan pemilu masih diwarnai soal profesionalitas penyelenggara. Namun, karena data yang masih dihimpun kebanyakan soal pengaduan, hal itu tentunya menjadi menarik melihat bagaimana putusan DKPP,” kata Ihsan.
Pada 2014, seperti dikutip dari laman dkpp.go.id pada Minggu (2/6/2019) malam, sekitar 64 persen laporan yang masuk ke DKPP berasal dari peserta pemilu. Sisanya adalah KPU, Bawaslu, dan masyarakat.
Terkait peran DKPP yang seolah tertutupi keberadaan Bawaslu dalam penyelenggaraan pemilu, Ihsan melihatnya sebagai kenyataan yang dimungkinkan menyusul kewenangan besar Bawaslu sebagaimana diamanatkan UU Pemilu. Bawaslu diberikan kewenangan menyelesaikan pelanggaran administrasi dan pidana pemilu.
Hal itu termasuk juga kewenangan mendiskualifikasi peserta pemilu. Tentu dengan kewenangan itu membuat Bawaslu sangat diharapkan peranannya langsung yang bisa diperoleh caleg. ”Ini berbeda dengan DKPP yang putusannya (hanya) memberikan enforcement ke penyelenggara pemilu saja,” ujar Ihsan.
Selain itu, kelembagaan Bawaslu yang berjenjang hingga ke daerah juga membuat pelaporan ke Bawaslu menjadi lebih mudah. Hal ini menyusul kedudukan DKPP yang berada di ibu kota negara. Namun, apa pun, DKPP tetap memegang peranan penting sebagai penjaga marwah penyelenggaraan pemilu agar kontestasi dalam sistem demokrasi tetap berlangsung adil dan jujur.