Upaya Pemerintah Provinsi DKI meringankan beban warga melalui pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan bagi sejumlah kalangan mendapat apresiasi positif warga Ibu Kota.
Oleh
Albertus Krisna/Litbang Kompas
·4 menit baca
Upaya Pemerintah Provinsi DKI meringankan beban warga melalui pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan bagi sejumlah kalangan mendapat apresiasi positif warga Ibu Kota.
Nilai jual obyek pajak (NJOP) bumi dan bangunan di Jakarta terus merangkak naik. Kondisi ini membebani warga karena diikuti kian mahalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Kontribusi PBB bagi pendapatan asli daerah di DKI Jakarta tergolong tinggi. Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta mencatat, PBB menyumbang 23,7 persen atau Rp 8,89 triliun pada 2018. Nilai tersebut tertinggi dibandingkan jenis pajak lain.
Besaran PBB dipengaruhi NJOP yang secara berkala diatur melalui peraturan gubernur. Terakhir, NJOP DKI diatur melalui Peraturan Gubernur Nomor 24 Tahun 2018 tentang Penetapan NJOP Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Jika dibandingkan ketetapan NJOP tahun 2017, NJOP 2018 naik rata-rata 19,54 persen.
NJOP tertinggi tanah di Jalan Ciputat Raya, Jakarta Selatan, misalnya, tahun 2017 sebesar Rp 12,2 juta per meter persegi. Setahun kemudian, NJOP menjadi Rp 13,6 juta.
Jika terdapat sepetak tanah seluas 100 meter persegi di sana, NJOP tahun 2017 sebesar Rp 1,22 miliar. PBB khusus tanah yang harus dibayarkan 0,1 persen dari NJOP atau Rp 1,22 juta. Seiring kenaikan NJOP tahun 2018, PBB naik menjadi Rp 1,34 juta.
Beragam penilaian dilontarkan responden menanggapi besaran PBB yang harus mereka tanggung tiap tahun. Bagi wajib pajak dengan PBB lebih dari Rp 10 juta, mayoritas responden (80 persen) menilai mahal.
Sementara wajib pajak bertarif kurang dari Rp 1 juta, 43,3 persen menilai murah.
Tidak dimungkiri, harga tanah di Jakarta sangat mahal. Sebagai gambaran, NJOP tanah di Jalan Jenderal Sudirman tahun 2018 telah mencapai Rp 94,8 juta per meter persegi. Sementara tanah di Jalan Jenderal Gatot Subroto seharga Rp 48,4 juta per meter persegi dan di Jalan Asia Afrika Rp 46,5 juta per meter persegi.
Pembebasan pajak
Pemprov DKI mengupayakan dua program pembebasan PBB. Pertama, pembebasan pajak menurut NJOP bumi dan bangunan yang diatur melalui Pergub Nomor 38 Tahun 2019. Pembebasan pajak diberikan kepada warga DKI Jakarta yang memiliki rumah, rusunami, dan rusunawa dengan batasan NJOP hingga Rp 1 miliar. Khusus program ini, setiap pemohon diperbolehkan mengajukan lebih dari satu obyek pajak dan hanya berlaku untuk wajib pajak yang bersangkutan.
Bagi orang awam tanpa garis keturunan veteran, gubernur DKI, atau presiden RI, program ini bagai embusan angin segar. Mereka memiliki kesempatan yang sama memperoleh pembebasan pajak.
Hingga awal tahun 2019, Gubernur Anies Baswedan mencatat sudah ada 990.437 rumah di DKI Jakarta dengan NJOP di bawah Rp 1 miliar yang dibebaskan dari PBB. Tercatat dalam jajak pendapat Kompas, ada 18,4 persen responden telah menikmati PBB gratis.
Program kedua adalah pembebasan sebagian PBB-P2 untuk sejumlah kalangan tertentu. Mereka di antaranya veteran, mantan presiden dan wakil presiden, mantan gubernur dan wakil gubernur, purnawirawan TNI/Polri, dan pensiunan PNS. Bahkan, tahun ini, melalui Pergub Nomor 42 Tahun 2019, cakupannya diperluas lagi dengan menambahkan profesi guru, dosen, dan tenaga kependidikan.
Upaya perluasan cakupan penerima pembebasan PBB ini diapresiasi banyak warga. Sebanyak 2 dari 5 responden mengatakan setuju dengan upaya pemerintah itu. Jumlah guru di Jakarta (BPS, 2017) sebanyak 103.638 orang. Adapun jumlah dosen aktif hingga 2019, dari catatan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, sebanyak 31.330 orang. Melalui perluasan itu, setidaknya akan ada tambahan 130.000 warga yang menikmati fasilitas gratis PBB.
Sementara 18,4 persen responden menyatakan tidak setuju dengan upaya pembebasan pajak tersebut. Publik khawatir hal itu akan mengurangi potensi penerimaan pajak DKI. Kekhawatiran itu seperti disuarakan 67 persen responden.
Menurut Faisal Syafrudin, Kepala BPRD DKI Jakarta, potensi kehilangan penerimaan pajak akibat perluasan pembebasan PBB sebesar Rp 27 miliar (Kompas, 27/4/2019). Meski demikian, potensi kehilangan ini bisa ditutupi dengan penerimaan pajak dari bangunan komersial.
Catatan Bank Indonesia, triwulan I tahun 2019, pertumbuhan bangunan komersial di Jabodetabek berada di atas rata-rata nasional. Bangunan perkantoran sewa, misalnya, naik 1,6 persen, sementara secara nasional hanya naik 1,49 persen.
Kenaikan PBB akibat merangkaknya NJOP bumi dan bangunan tidak dapat dihindari seiring dengan kian berkembangnya Ibu Kota. Walau dirasa memberatkan sejumlah warga, upaya pembebasan PBB yang disuguhkan pemerintah patut diapresiasi, dengan catatan harus tepat sasaran.