Pembinaan Usia Dini dan Perbaikan Kompetisi Jadi Prioritas
Pembinaan usia dini terhadap calon atlet menjadi prioritas yang harus dilakukan Komite Olahraga Nasional Indonesia atau KONI jika ingin memperbaiki prestasi olah raga Indonesia di masa depan. Perbaikan kualitas kompetisi di semua cabang olah raga juga harus dilakukan untuk mendapatkan atlet-atlet nasional yang berkualitas dunia.
Oleh
Prayogi Dwi Sulistyo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembinaan usia dini harus menjadi prioritas Komite Olahraga Nasional Indonesia atau KONI jika ingin memperbaiki prestasi olah raga Indonesia. Perbaikan kualitas kompetisi di semua cabang olah raga juga harus dilakukan untuk mendapatkan atlet nasional yang berkualitas dunia.
Hal itu dikemukakan Letjen (Purn) Marciano Norman dalam Tatap Muka dan Dialog Memajukan Prestasi Olah Raga Indonesia, Sabtu (15/6/2019) di Hotel Borobudur, Jakarta. Dialog itu juga menjadi ajang sosialisasi visi dan misi Marciano yang akan maju sebagai calon ketua Ketua Umum KONI.
Marciano mengatakan, berdasarkan pengalamannya sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Taekwondo Indonesia (PBTI), dari tahun 2011 hingga 2019, taekwondo dapat berkembang pesat di Indonesia karena sinergi KONI, Komite Olimpiade Indonesia (KOI), pengurus cabang olah raga, serta Kementerian Pemuda dan Olahraga.
"Maju mundurnya olah raga Indonesia menjadi tanggung jawab seluruh pengurus organisasi olah raga di Indonesia," kata Marciano.
Marciano berharap, KONI dapat menjadi lembaga independen, profesional, dan modern dalam menghadapi tantangan di masa depan. Salah satu tantangan yang perlu diantisipasi adalah memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membina dan meningkatkan prestasi atlet.
Pembinaan berjenjang dierncanakan di semua cabang olah raga, dari tingkat anak-anak, remaja, hingga profesional, dengan menyiapkan pelatih yang berkualitas sejak di daerah. Pembinaan itu didukung dengan kompetisi berjenjang dan pemandu bakat yang mencari atlet dengan bakat terbaik untuk dilatih secara khusus.
“Kompetisi harus teratur, berjenjang, dan berkesinambungan. Jangan lagi ada kompetisi yang diwarnai praktik pengaturan skor,” ujar mantan Kepala Badan Intelijen Negara tersebut.
Di sisi lain, Marciano juga ingin menata organisasi olah raga agar lebih ramping dan efisien “Kalau terlalu besar, kita akan disibukkan dengan banyak masalah. Kita harus meluangkan waktu melihat kondisi nyata di lapangan,” kata Marciano.
Meskipun ingin merombak tata kelola organisasi olahraga Indonesia, Marciano akan mempertahankan program yang sudah bagus, salah satunya Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) yang sudah dijalankan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pendidikan.
Marciano berharap, para atlet juga dibekali pendidikan formal sehingga setelah tidak aktif lagi di tim nasional, mereka dapat memiliki pengetahuan untuk menjadi pelatih atau masuk ke dunia usaha. Untuk mewujudkan mimpi tersebut, dibutuhkan sinergi antara pengurus cabang olahraga dengan organisasi dan pemerintah.
Masalah utama lain yang ingin segera dibenahi Marciano adalah banyaknya fasilitas olahraga yang terbelengkalai. Sebagai contoh, Indonesia memiliki fasilitas bekas ajang Asian Games di kompleks Gelora Bung Karno yang berstandar internasional. Sayangnya, fasilitas tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan beberapa cabang olahraga karena biaya sewa yang terlalu mahal.
Untuk mengatasi hal tersebut, perlu ada anggaran tambahan untuk menutup biaya operasional. “Kalau semua dibebankan pada cabang olahraga, mereka tidak akan mampu. Akhirnya, atlet latihan di lapangan yang tidak standar dan kebingungan ketika bertanding,” kata Marciano.
Kurang perhatian
Wakil Ketua Umum II Persatuan Panahan Indonesia (Perpani) Alman Hudri mengatakan, tidak semua cabang olahraga mendapat perhatian dari pemerintah. Hal tersebut terlihat dari hilangnya klub olah raga di tingkat kabupaten dan tidak ada kompetisi olah raga tingkat sekolah menengah, salah satunya cabang olah raga panahan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Alman mengusulkan agar membuka sentra pembinaan pelajar. “Perlu ada 2 sekolah rujukan untuk pelaksanaan pembinaan usia dini,” tutur Alman.
Dalam kunjungannya di beberapa daerah, seperti Maluku, banyak bibit-bibit atlet yang tidak terdeteksi oleh pemerintah pusat. Padahal, mereka memiliki bakat besar yang dapat dikembangkan. Karena itu, perlu ada pembinaan dari tingkat bawah untuk mencari atlet berbakat.
Kepala Bidang Pelatnas (Pemusatan Latihan Nasional) Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) Edy Prayitno mengatakan, PBSI memiliki program pelatnas bertahun-tahun, tetapi tidak pernah mendapat kunjungan dari KONI. Ia berharap, KONI melakukan kunjungan secara periodik agar mengetahui permasalahan di lapangan.
Kurang dana
Permasalahan anggaran juga masih dialami oleh beberapa cabang olahraga. Kepala Bidang Pertandingan Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI) Amir Hussain mengaku, pemerintah kurang peduli untuk mendengarkan keluhan dari cabang olah raga.
“Kita sudah mengajukan anggaran dan proposal, tetapi tidak ada kejelasannya. Padahal, dana tersebut dibutuhkan untuk kejuaraan nasional dan pembinaan,” ujar Amir. Ia juga menilai, Pekan Olahraga Nasional dan persiapan untuk menghadapi SEA Games juga tidak ada kejelasan.
Menurut Sekretaris Jenderal Persatuan Rugby Union Indonesia Radityo Gambiro, anggaran yang dialokasikan untuk pembinaan olahraga Indonesia masih minim. “Jangan hanya yang berprestasi saja yang dapat anggaran, tetapi setiap cabang olah raga lain juga butuh dana untuk pembinaan tiap tahun,” ujar Radityo.