Kenaikan ongkos transportasi, baik pesawat udara maupun layanan ojek motor dan mobil daring, justru dikhawatirkan memengaruhi pola konsumsi masyarakat.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan konsumsi masyarakat berpotensi melambat seiring dengan dinamika ekonomi makro domestik. Masyarakat segmentasi ekonomi menengah atas berpotensi mengurangi konsumsi sebagai wujud antisipasi atas pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Survei Bank Indonesia (BI) memproyeksikan, Indeks Ekspektasi Ekonomi (IEK) terhadap kondisi ekonomi enam bulan mendatang pada Mei 2019 turun sebesar 1,9 poin menjadi 142,9 poin.
Penurunan ini dipengaruhi oleh ekspektasi terhadap penghasilan dan kegiatan usaha pada enam bulan ke depan yang tecermin melalui penurunan Indeks Ekspektasi Penghasilan (IEP) sebanyak 2,4 poin menjadi 150,4 pada Mei 2019.
Dilihat dari survei tersebut, konsumen pun memperkirakan ada kenaikan harga dalam tiga bulan ke depan sejalan dengan kekhawatiran kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Indeks ekspektasi kegiatan usaha Mei 2019 juga menurun 1,9 poin menjadi 146,8. Penurunan terdalam terjadi untuk konsumen dengan pengeluaran Rp 1 juta-Rp 4 juta per bulan dengan rentang usia 20-30 tahun dan 41-60 tahun.
Kondisi tersebut disebabkan oleh tekanan harga pada enam bulan ke depan, terutama ketika faktor ini menjadi penghambat perkembangan kegiatan usaha di masa mendatang.
Di samping itu, optimisme ketersediaan lapangan pekerjaan juga menurun dalam enam bulan ke depan menjadi 131,4 poin dibandingkan dengan 132,9 poin pada bulan sebelumnya. Pelemahan ini terjadi untuk semua tingkat pendidikan.
Saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (16/6/2019), ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menilai, melambatnya konsumsi terjadi akibat berbagai macam kondisi, mulai dari efek pelambatan ekonomi hingga efek inflasi.
”Dalam situasi seperti ini, konsumen dari segmen masyarakat kelas menengah atas akan melakukan antisipasi. Jadi, banyak konsumen yang pilih menabung dan menunda belanja,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Bhima, masyarakat juga melihat adanya antisipasi penyesuaian subsidi untuk harga BBM dan tarif listrik seusai penyelenggaraan pemilu presiden dan legislatif yang lalu.
Bhima berharap pemerintah dapat memberikan insentif melalui pemangkasan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang tertentu. ”Andil kenaikan tarif impor barang konsumsi tidak signifikan terhadap defisit transaksi berjalan dibandingkan dengan bahan baku,” ujarnya.
Biaya transportasi
Dihubungi terpisah, ekonom PT Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistianingsih, menilai, penurunan ekspektasi ekonomi serta penghasilan enam bulan itu bukanlah akibat dari pelambatan ekonomi.
Menurut dia, ekspektasi ekonomi dan penghasilan yang turun dalam enam bulan ke depan lebih disebabkan momen Lebaran dan Ramadhan sudah berlalu. Lana justru khawatir kenaikan ongkos transportasi, baik pesawat udara maupun layanan ojek motor dan mobil daring, memengaruhi pola konsumsi masyarakat.
”Karena adanya pengeluaran yang lebih untuk transportasi, potensi pemasukan dianggap masyarakat tidak naik. Di sisi lain, pemerintah mulai menyadari konsumsi masyarakat yang stagnan di kisaran 5 persen,” ujarnya.