30 Tahun lalu, ribuan pecinta bulutangkis Indonesia yang hadir di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (28/5/1989) malam dipaksa menahan nafas saat Indonesia tertinggal 0-2 dari Korea Selatan (Korsel) dalam final Kejuaraan Dunia Bulutangkis Beregu Campuran Piala Sudirman.
Oleh
JOHNNY TG
·6 menit baca
30 Tahun lalu, ribuan pecinta bulutangkis Indonesia yang hadir di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (28/5/1989) malam dipaksa menahan nafas saat Indonesia tertinggal 0-2 dari Korea Selatan (Korsel) dalam final Kejuaraan Dunia Bulutangkis Beregu Campuran Piala Sudirman.
Di partai pertama ganda putra Eddy Hartono/Gunawan harus mengakui keunggulan mantan juara dunia dan juara All Englad, Park Joo-bong/Kim Moon-soo 9-15, 15-8, 13-15. Pertarungan selama 90 menit itu tidak hanya menguras tenaga dan pikiran pemain serta teriakan penonton, juga membuat Eddy harus muntah di pertengahan set ketiga. Partai kedua, ganda putri Indonesia, Verawati Fajrin/Yanti Kusmiati gagal menyumbang angka. Mereka kalah 12-15, 6-15 dari Chung So-young/Hwang Hye-young dalam waktu 40 menit.
Beruntung Susi Susanti, yang turun di partai ketiga tunggal putri berhasil menyelamatkan regunya dengan kemenangan 10-12, 12-10, 11-0 atas Lee Young Suk dalam waktu 50 menit. Pada set kedua, Susi ketinggalan 7-10, namun bisa melepaskan diri dari tekanan Lee sehingga menang 12-10. Di set ketiga, Susi bermain agresif. Lawannya, Lee finalis All England 1988, seperti tidak kuasa menahan lelah dan beban psikologis karena berada di partai penentu.
Setelah unggul 6-0 dan pindah tempat, Susi terus melaju dan menutup set ketiga dengan 11-0. Kaki Lee sudah goyah karena terkuras di dua set sebelumnya. Ia menangis begitu angka terakhir direbut Susi dan langsung keluar lapangan tanpa sempat menyalami wasit dan juri servis. Lee sempat pingsan sesampainya di kamar ganti akibat kelelahan. Kemenangan Susi menjadikan Indonesia memperkecil ketinggalannya menjadi 1-2.
Perjuangan Susi seolah membangkitkan semangat pemain Indonesia di dua partai berikutnya. Tunggal putra Eddy Kurniawan menang telak 15-4, 15-4 atas Sung Han-Kuk dalam waktu 23 menit. Kedudukan pun menjadi imbang, 2-2 atas Korsel. Pada partai kelima atau penentu di ganda campuran, pasangan Eddy Hartono/Verawati Fajrin akan berhadapan dengan Park Joo-bong/Chung Myung-hee. Begitu pukulan back hand Park Joo-bong melebar ke kiri bidang Eddy Hartono/Verawati Fajrin, membuat pasangan Indonesia menang 15-3 dalam tempo 10 menit, setelah unggul di set pertama 18-13. Verawati yang kalah di nomor ganda putri, tidak kuasa menahan tangis. Dia langsung bersujud di karpet hijau beberapa kali, sementara pasangannya Eddy Hartono mengacungkan tangan kirinya.
Istora Senayan bagaikan meledak oleh gemuruh dan sorak sorai para pendukung Indonesia. Para pemain, baik yang tampil maupun hanya menjadi suporter dan pelatih merah matanya karena terhari. Indonesia akhirnya merebut Piala Sudirman, piala seharga Rp 27 juta dari emas murni, setelah menundukkan Korsel dengan skor 3-2. 30 Tahun kemudian, pada kejuaraan Piala Sudirman di Naning, China, 19-26 Mei 2019, langkah Indonesia terhenti di semifinal setelah dikalahkan Jepang dengan skor 1-3.
Sudirman, Tokoh Bulutangkis Indonesia dan dunia
Kongres Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) yang akan berlangsung di Purwokerto, 19-21 Januari 1968, salah satu acara pentingnya adalah pemilihan ketua PB PBSI. Saat itu ada empat calon, Ferry Sonneville, Brigjen Sobiran, Sudirman dan Padmosumasto SH. Pada hari Sabtu (20/1) malam, Sudirman terpilih sebagai Ketua Umum PB PBSI dengan suara bulat. (Kompas, 23/1/1968, hlm 2).
Pria kelahiran Pematang Siantar, 19 April 1922, sebenarnya seorang ahli farmasi dan menduduki jabatan direktur di PT Tempo. Terlahir dari keluarga pecinta bulutangkis, Sudirman sudah bermain bulutangkis sejak usia 13 tahun. Di akhir tahun 30-an, Sudirman berkeliling Sumatra untuk mengikuti pertandingan antar kota. “Semuanya bisa saya kalahkan. Karena itu secara tidak resmi saya bisa disebut juara Sumatera,” kata Sudirman. (Kompas, Selasa, 5/5/1981, hlm 1.).
Setelah pindah ke Jakarta, Sudirman membentuk perkumpulan bulutangkis PB Bakti, di Petojo. Klub nya pernah memenangkan Kejuaraan Jakarta tahun 1944. Pada acara Pekan-pekan Olah Raga antara tahun 1945-1950, ia selalu mendapat tempat yang terhormat. Atas prakarsa Sudirman dan M Sumantri, pada tahun 1950 dimulailah gagasan untuk menyatukan sejumlah klub bulutangkis di berbagai kota dan daerah dalam sebuah wadah organisasi.
Tanggal 5 Mei 1951 dalam sebuah rapat di Bandung yang dihadiri oleh sekitar 30 klub dari Jawa dan luar Jawa, berdirilah Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) dan Sudirman terpilih sebagai Wakil Ketua dan Rochidi sebagai Ketua Umum. Pada kongres PBSI ke-2, Sudirman diangkat menjadi Ketua Umum PB PBSI.
Disamping pembina bulutangkis dan menjadi Ketua Umum PB PBSI periode 1952-1963 dan 1968-1981, Sudirman pintar dalam diplomasi bulutangkis di tingkat internasional. Tahun 1953, PBSI masuk menjadi anggota IBF (International Badminton Federation) dan mulai mengirimkan pemain-pemainnya keluar negeri seperti ke Kuala Lumpur, Malaysia dan Singapura. Dua pemain Indonesia, Ferry Sonneville dan Olich Solichin mengalahkan Wong Peng Soon dan Eddy Choong. Keduanya merupakan jago Malaysia dan juara dunia tidak resmi.
Di organisasi internasional, dalam sidang tahunan IBF di London, awal Juli 1975, Sudirman terpilih untuk menduduki jabatan wakil ketua IBF (1975-1983). Berkat tangan dinginnya, Sudirman berhasil “mengawinkan” Piala Thomas dan Piala Uber di tahun 1975. Bersama Suharso Suhandinata, keduanya berhasil mempersatukan dua badan perbulutangkisan internasional, IBF dan WBF (World Badminton Federation) pada Mei 1981. Dedikasinya yang tinggi membuat IBF memberikan Medali Pengabdian (Distinguished Service Awards) dalam sidang di Jakarta saat berlangsungnya Piala Thomas, Kejuaraan Dunia Bulutangkis Beregu Putra, 22 April – 4 Mei 1986.
Selasa (10/6/1981) malam, Sudirman, Bapak Bulutangkis Indonesia meninggal dunia di RS Pelni, Jakarta. Suharso Suhandinata, tokoh bulutangkis dan teman dekat almarhum, pada Mei 1981 mencetuskan ide untuk mengabadikan nama Sudirman. Suharso mengirim surat pribadi kepada anggota dan Ketua Dewan IBF tentang gagasan Piala Sudirman. Piala itu sebaiknya mempunyai status sebagai sumbangan PBSI kepada IBF sehingga konsekuensi kejuaraan selanjutnya menjadi tanggung jawab IBF.
Mereka menerima baik mengingat peran Sudirman saat di IBF. Lewat lobi yang intensif akhirnya gagasan tentang nama piala diterima dan eventnya adalah kejuaraan dunia beregu campuran. Karena untuk kejuaraan dunia beregu putra sudah ada Piala Thomas, dan Piala Uber untuk beregu putri. Rusnandi, mahasiswa tingkat akhir Fakultas Seni Rupa jurusan Patung, ITB memenangkan lomba desain piala yang diadakan PBSI dengan desainnya bertema Borobudur, shuttle cock dan benang sari. Piala setinggi 80 sentimeter ini membawa pesan besarnya sumbangsih Sudirman pada perbulutangkisan Indonesia serta harapan agar dunia perbulutangkisan terus maju sesuai dengan perkembangan teknologi.
Dalam Sidang dewan IBF di Beijing tahun 1987, lewat lobi yang keras, dua utusan Indonesia di Dewan IBF, Justian Suhandinata dan Titus Kurniadi akhirnya bisa menggolkan penyelenggaraan Piala Sudirman di Jakarta, 24-28 Mei 1989. Dalam pemungutan suara rahasia , Indonesia menang dengan perbandingan suara 9-8 atas Denmark. Biaya yang harus ditanggung PBSI sekitar Rp 1,3 milyar. Lebih dari setengahnya diserahkan ke IBF yang akan membagikannya pada negara peserta sebagai biaya transportasi dan akomodasi mengikuti kejuaraan.
Kejuaraan yang digelar setiap dua tahun sekali ini, menurut Ketua Umum PB PBSI (1985-1993) Try Sutrisno untuk memperkaya kejuaraan bulutangkis internasional yang bermutu. Indonesia hingga tahun 1985, sudah delapan kali merebut Piala Thomas dan satu kali Piala Uber. Menjadi juara Piala Sudirman akan memperlihatkan dominasi sebuah negara di dunia di cabang olahraga bulutangkis. Di kejuaraan ini dipertandingkan lima partai yaitu tunggal putra, tunggal putri, ganda putra, ganda putri dan ganda campuran.
Sumber: Kompas, Jumat, 29 Januari 1971, halaman 3, Kompas, Selasa, 5 Mei 1981, halaman 4, Kompas, Rabu, 11 Juni 1986, halaman 10, Kompas, Jumat, 5 Desember 1986, halaman 10, Kompas, Jumat, 11 November 1988, halaman 10, Kompas, Selasa, 16 Mei 1989, halaman 10, Kompas, Selasa, 23 Mei 1989, halaman 14, Kompas, Rabu, 24 Mei 1989, halaman 14, Kompas, Jumat, 26 Mei 1989, halaman 1, Kompas, Sabtu, 27 Mei 1989, halaman 1, Kompas, Senin, 29 Mei 1989, halaman 1.