Shenzhen
Kisah Pemerintah China membangun Shenzhen terdengar seperti dongeng. Kota ini baru dibangun 40 tahun yang lalu. Dari sebuah desa nelayan kecil bernama Bao’an, Shenzhen bertransformasi menjadi megalopolis di delta Sungai Mutiara.
Lupakan bayangan China sebagai negara komunis serba tertutup dan alergi pasar bebas. Di Shenzhen, China sejatinya adalah negara kapitalis. Kota ini adalah cikal bakal China bertumbuh menjadi kekuatan adidaya ekonomi dunia, mengimbangi Amerika Serikat.
Deng Xiaoping, pemimpin China, adalah arsitek utamanya. Tahun 1979, sembari memandang kemegahan Hong Kong di pinggir sungai kecil yang membatasi wilayah protektorat Inggris itu dengan desa nelayan Bao’an, Deng mungkin bersumpah dalam hati. Tak perlu menunggu tahun 1997—ketika Inggris harus menyerahkan Hong Kong ke China—desa nelayan ini juga bisa segemerlap tetangganya.
Deng menyulap Bao’an menjadi kawasan ekonomi khusus. Beragam kebijakan investasi, perpajakan, bea cukai, dan perdagangan diterapkan. Kawasan ekonomi khusus Shenzhen menjadi uji coba pertama Deng untuk apa yang dia sebut praktik kapitalisme pasar yang dipandu cita-cita sosialisme dengan karakteristik China.
Mula-mula taipan di Hong Kong menanamkan modal di sini. Kemudian para industrialis dari Taiwan, Korea Selatan, dan negara-negara industri maju lainnya tertarik dengan segala kemudahan yang ditawarkan Deng di Shenzhen. Kota ini pun menjadi basis produksi manufaktur terbesar di dunia.
Perusahaan teknologi tinggi asing yang memiliki basis operasi di China menjadikan Nanshan, salah satu distrik di Shenzhen, sebagai markas utama mereka. Shenzhen pun menjadi pusat teknologi global dunia. Voila! Shenzhen pun jadi Silicon Valley baru.
Minggu (20/4/2019), In-Con (Indonesia Consortium), perusahaan yang memasarkan paket perjalanan wisata ke China, mengajak sejumlah jurnalis Indonesia mengunjungi Shenzhen. Pemilik In-Con, Henry Huang, mengatakan, perjalanan ke Shenzhen adalah paket lengkap menikmati keajaiban China era modern.
Pukul 09.00
Pusat Kota
Dari Jakarta, kami berangkat menggunakan maskapai China Southern Airlines yang melayani rute Jakarta-Shenzhen setiap hari. Pesawat berangkat dari Jakarta pukul 02.00, mundur sekitar satu jam dari jadwal karena gangguan cuaca.
Penerbangan Jakarta-Shenzhen ditempuh dalam waktu 5 jam 40 menit. Tiba di Bandara Bao’an International Shenzhen sekitar pukul 08.00 waktu setempat. Kami pun segera menuju pusat kota Shenzhen mencari sarapan pagi.
Pemandu kami, Jasmine, fasih berbahasa Indonesia. Dia belajar bahasa Indonesia di Akademi Bahasa Asing Guangzhou. Begitu beranjak dari bandara, Jasmine menjelaskan perkembangan luar biasa Shenzhen yang membuat pemerintah mereklamasi pantai untuk permukiman warga dan perkantoran.
Tahun 1980, saat Deng pertama kali meresmikan kawasan ekonomi khusus Shenzhen, populasi di sana masih sekitar 20.000 penduduk. Magnet ekonomi Shenzhen menjadikannya tujuan migrasi penduduk China. Otoritas lokal memperkirakan kotanya kini dihuni lebih dari 20 juta jiwa.
Sepanjang perjalanan dari bandara menuju pusat kota, tak tampak rumah tapak buat warga. Hampir seluruhnya tinggal di hunian vertikal, apartemen hingga kondominium, baik yang sederhana maupun supermewah.
Tujuan pertama selepas dari bandara adalah Restoran Tao Yuan Shang Pin. Aneka dimsum disuguhkan untuk sarapan pagi ini, mulai dari bakpao, siomai dan hakau. Tentu tak lengkap sarapan dimsum tanpa minum teh.
Pukul 11.00
Pasar bunga
Seusai sarapan, kami menuju Dutch Flower Town di Distrik Nanshan. Kawasan ini adalah pasar bunga yang didesain mirip bangunan-bangunan negeri Belanda lengkap dengan miniatur kincir anginnya. Tak hanya bunga yang dijual di sini, mutiara dari tiram air tawar hingga berbagai kudapan pun ada di sini.
Aneka tanaman hias dan bunga endemik China tentu tak ketinggalan ditawarkan di sini. Beberapa di antaranya, bunga-bunga yang mekar di atas air, seperti teratai, lotus, hingga berbagai jenis eceng gondok.
Pukul 13.00
Windows of The World
Shenzhen melengkapi diri dengan destinasi-destinasi yang memukau wisatawan. Salah satunya Windows of The World, taman tematik seluas sekitar 50 hektar yang menyuguhkan miniatur lebih dari 100 tempat atraktif di dunia, seperti Menara Eiffel, Taj Mahal, Piramida Mesir, hingga Basilika Santo Petrus. Miniatur Candi Borobudur pun ada di sini.
Sebelum masuk taman, pengunjung disuguhi landmark tiruan piramida Museum Louvre, Paris. Butuh waktu seharian penuh mengelilingi taman ini.
Pukul 16.00
Splendid China Folk Village
Taman tematik lain yang tak kalah menarik adalah Splendid China Folk Village. Untuk mereka yang ingin mengetahui betapa luasnya China dan kekayaan budayanya, taman ini sangat layak dikunjungi. Splendid China Folk Village seperti taman mini China. Taman ini terdiri atas dua bagian, taman miniatur dan desa budaya rakyat China.
Di taman miniatur kita bisa menikmati lebih dari 100 tiruan tempat wisata di China yang dibangun dengan skala 1:15, termasuk Tembok Besar, Kota Terlarang, kuil Konfusius, hingga Istana Potala Tibet. Tak hanya bangunan, miniatur lanskap alam di China, seperti hutan batu di Kunming, Sungai Li di Guilin, hingga Gunung Taishan di Provinsi Shandong juga ada di taman ini.
Sementara di desa budaya rakyat China, didirikan rumah dan bangunan ikonik dari 56 suku bangsa yang ada di negara itu dengan skala sama seperti aslinya. Di sini, pengunjung juga bisa menikmati sajian kesenian dan produk budaya suku-suku bangsa tersebut. Tentu juga kuliner asli mereka.
Splendid China Folk Village tak hanya bisa dinikmati di siang hari. Pada malam hari, pengunjung bisa menikmati pertunjukan yang berkisah seputar mitologi burung phoenix bagi orang China. Pertunjukan seni dan legenda rakyat ini mengombinasikan tarian, keunikan teknik, dan aksi akrobatik.
Di Splendid China Folk Village, keragaman budaya China ini bisa dinikmati dengan tiket masuk 300 yuan RMB atau sekitar Rp 630.000.
Pukul 11.00
Masjid Shenzhen
Di Shenzhen yang sangat kosmopolitan, wisatawan dari negara-negara berpenduduk Muslim tak perlu khawatir soal makanan halal ataupun tempat beribadah. Di kota itu, berdasarkan catatan resmi, ada sekitar 70.000 warga yang memeluk Islam. Mereka kebanyakan adalah suku Hui. Sebagian besar berasal dari Gansu di utara China.
Orang-orang dari Gansu ini pula yang awalnya membuka hotel dan restoran untuk pengunjung Muslim yang datang ke Shenzhen. Hotel dan restoran Muslim di distrik Luhuo menjadi tempat berkumpul warga muslim Shenzhen.
Di depan restoran, seorang pelayan mengenakan pakaian tradisional suku Hui dengan ramah mengucap salam. Manajer Restoran, Musa La, ramah menyambut. ”Tak banyak tamu dari Indonesia. Yang sering datang ke mari justru tamu dari Malaysia,” ujarnya.
Saat kami datang, sebenarnya restoran belum buka. Para pelayan masih menyiapkan hidangan dan teh dari racikan sembilan jenis daun dan buah ang coh.
Namun, tak berapa lama menunggu, berbagai jenis hidangan khas dari Provinsi Gansu langsung disiapkan, mulai dari aneka masakan ikan sampai daging kambing. Makanan penutupnya sangat khas, yoghurt dari susu kambing.
Seusai makan kami menuju ke Jalan Meilin untuk menunaikan shalat dzuhur di satu-satunya masjid di Shenzhen. Masjid megah ini baru selesai dibangun tahun lalu. Pemerintah Kota Shenzhen membongkar dan merekonstruksi masjid lama.
Kompleks masjid ini meliputi area seluas 6.632 meter persegi. Masjid terdiri atas lima lantai, satu lantai di antaranya adalah ruang bawah tanah. Masjid ini mampu menampung 3.300 jemaah. Salah satu yang menarik dari bangunan masjid ini adalah pencahayaan terbuka dari bagian atas masjid.
Pemuka Masjid Shenzhen, Ali Zhou, bercerita, sejak masjid berdiri, warga Shenzhen tak lagi kesulitan menunaikan shalat Jumat. Sebelumnya warga Muslim shalat Jumat di hotel dan restoran Muslim di Luhuo. Ali bersyukur pemerintah memperhatikan komunitas Muslim di Shenzhen meski mereka hanya minoritas.
Pukul 14.00
Meridian View Centre
Lanskap Shenzhen sebagai megalopolis China bisa ditangkap mata dari banyak bangunan pencakar langit di kota ini. Salah satunya Gedung Diwang atau Xinxing Square. Tingginya 383,95 meter. Gedung Diwang punya 69 lantai. Di lantai teratas, terdapat Meridian View Centre, tempat pengunjung bisa menikmati pemandangan Shenzhen dan sebagian wilayah Hong Kong.
Sungai Shenzhen yang menjadi pembatas wilayah China daratan dengan Hong Kong terlihat jelas dari puncak gedung ini. Di lantai ini pula terdapat patung lilin Deng tengah duduk bersama Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher membahas masa depan Hong Kong. Ini merupakan replika pertemuan mereka pada 4 September 1982 di Balai Agung Rakyat China Beijing.
Selain pemandangan Shenzhen dari pencakar langit, di lantai 69 ini juga ada ruangan teater yang menyuguhkan film pendek sejarah Shenzhen. Ada banyak cerita tentang betapa cepatnya China membangun Shenzhen dan gedung-gedung tingginya.
Pukul 16.00
Dongmen Market
Tak lengkap mengunjungi Shenzhen tanpa berbelanja. Jika Anda sering berbelanja di Pasar Pagi Mangga Dua, Jakarta, atau pusat perbelanjaan semacam ITC Kuningan, Jakarta, sebagian besar barang-barang mode yang dijual di sana berasal dari Shenzhen.
Di sini ada dua pusat perbelanjaan besar yang dikunjungi ratusan ribu orang setiap hari. Salah satunya adalah Dongmen Market. Selain produk mode berlabel global, Dongmen juga banyak menawarkan barang mode produksi lokal China yang sebagian besar juga diekspor, termasuk ke Indonesia.
Kecuali di mal yang ada di kawasan ini, harga berbagai barang mode di Dongmen bisa ditawar. Tawarlah segigih mungkin untuk mendapatkan harga terbaik.
Pengetahuan berbahasa Mandarin menjadi nilai tambah jika ingin menawar harga di Dongmen. Jika barang-barang di Mangga Dua saja asalnya dari sini, bisa dibayangkan harga sebenarnya. Di Dongmen, berbelanjalah sampai kaki Anda lemas.