Hari Minggu (16/6/2019), beberapa ruas jalan utama di Hong Kong menjadi ”lautan hitam”. Warna hitam itu terbentuk dari pakaian hitam yang dikenakan sejumlah pengunjuk rasa penentang rancangan undang-undang ekstradisi. Tiga tuntutan utama mereka: pencabutan RUU Ekstradisi, permintaan maaf aparat kepolisian, dan pelengseran Carrie Lam.
Warga Hong Kong sedang marah. Kemarahan mereka dipicu keputusan Carrie Lam (62), perempuan Pemimpin Eksekutif Hong Kong, memproses pengesahan RUU Ekstradisi. Jika RUU itu disahkan dan diberlakukan, warga Hong Kong maupun warga asing di wilayah itu yang dituduh berbuat kejahatan bisa diekstradisi ke China daratan tanpa melalui proses pengadilan.
Di mata warga Hong Kong, tindakan Lam dianggap pengkhianatan dan penipuan. Dulu, 22 tahun silam, saat Hong Kong diserahkan Pemerintah Inggris kepada China, ada garansi bahwa sistem hukum yang independen di wilayah itu tetap dihormati.
Beijing juga berjanji menghormati selama 50 tahun—kebebasan ekonomi, sosial, dan budaya ala Barat. Sejak itu dikenal istilah ”satu negara, dua sistem”. Bagi kalangan pebisnis dan diplomat, status tersebut menjadi salah satu aset terkuat yang dimiliki Hong Kong. Bekas koloni Inggris itu pun tetap menjadi salah satu pusat keuangan terkemuka di dunia.
Dengan status itu pula, warga Hong Kong masih bisa menikmati kebebasan yang tidak mungkin dihirup di China. Karena itu, ketika Lam mendorong pengesahan RUU Ekstradisi, warga Hong Kong dengan keras menolaknya. "Hong Kongers", sebutan bagi warga Hong Kong, melihat adanya ancaman bagi kebebasan mereka. Sebagai respons, dalam sepekan terakhir, mereka turun ke jalan menolak pengesahan RUU tersebut. Unjuk rasa pada Rabu lalu berujung bentrokan antara massa dan aparat keamanan, menyebabkan sedikitnya 80 orang luka-luka.
Hari Sabtu lalu, Lam sebenarnya telah menunda langkah pengesahan RUU kontroversial tersebut hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Namun, hal itu tak mampu memadamkan kemarahan warga Hong Kong. Warga Hong Kong sudah tak lagi memercayai Lam. Mereka menuntut Lam lengser dari jabatannya.
Para analis memperkirakan, jabatan Lam tak akan berumur lama. Willy Lam, pengamat politik Hong Kong, mengatakan, Beijing mungkin tak akan segera mencopotnya, tetapi mencari waktu tepat agar tidak kehilangan muka.
Steve Tsang, analis politik di London, menyebut langkah Carrie Lam mempermalukan Presiden China Xi Jinping saat China disibukkan dengan perang dagang dengan AS. ”Xi bukan tipe pemimpin yang bisa menoleransi kegagalan pejabat bawahannya,” ujar Tsang kepada kantor berita AFP.
Langkah Carrie Lam mempermalukan Presiden China Xi Jinping saat China disibukkan dengan perang dagang dengan AS.
Dubes China untuk Inggris kepada BBC mengatakan, langkah jalur cepat mengesahkan dan memberlakukan UU Ekstradisi di Hong Kong sepenuhnya gagasan Lam.
Lam, perempuan pertama pemimpin eksekutif Hong Kong atau pemimpin keempat setelah Hong Kong diserahkan ke China, berasal dari keluarga sederhana. Ia tumbuh dan berkembang di Distrik Wanchai, anak keempat dari lima bersaudara. Setelah lulus dari sekolah putri Katolik dan kuliah di Universitas Hong Kong, ia belajar di Cambridge University atas beasiswa pemerintah.
Lam dikenal reputasinya sebagai administratur yang efisien dan pragmatis. Namun, ia tidak populer bagi warga Hong Kong. Ia dianggap sebagai proksi Beijing. Ketidaksukaan warga Hong Kong padanya telah muncul sejak penunjukannya sebagai pemimpin eksekutif, Maret 2017.
Ia menduduki jabatan itu bukan karena dipilih warga, melainkan oleh komite beranggotakan 1.194 orang yang didominasi elite pro-Beijing. Pembentukan komite itu sendiri mengundang unjuk rasa besar pada 2014, yang dikenal sebagai ”Gerakan Payung”.
Di kalangan aktivis pro-demokrasi, Lam kerap menjadi bahan olok-olok bernada misoginis. Nama keluarganya kerap diplesetkan menjadi ”lai-ma”, yang berarti perawat basah. Ia juga kerap dijuluki ”777”, merujuk suara voting yang diperoleh saat pengangkatan dirinya. Dalam bahasa Kanton, kata tujuh terdengar dekat dengan ungkapan slang yang tidak sopan diucapkan.
Kebencian warga Hong Kong kepada Lam memuncak saat ia tampak memaksakan pengesahan RUU Ekstradisi. RUU telah ditunda, tetapi kemarahan warga tak mereda. Tak hanya ingin RUU dicabut, mereka menuntut Lam lengser.
Peristiwa di Hong Kong menjadi pengingat bagi pemimpin di mana pun: jangan melawan suara rakyat. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Vox populi, vox dei....