Dari Nagrig, Mo ke Eropa
Lorong kecil di sebuah desa yang berjarak ratusan kilometer dari Kairo, Mesir, telah mengantarkan Mo Salah—pahlawan Liverpool—ke pentas dunia. Mo bukan hasil besutan sekolah sepak bola.
Desa Nagrig, sekitar 130 kilometer arah utara kota Kairo, yang bersahaja dengan fasilitas apa adanya, menjadi saksi sejarah perjuangan panjang dan berliku- liku pemuda pendiam, bernama Mohamed Salah (27) meraih karier jauh melampaui cita-cita awalnya.
Semua jalanan Desa Nagrig hanya tanah berdebu dengan lebar antara 3 meter dan 4 meter. Rumah penduduk berupa bangunan sederhana yang sebagian besar dindingnya masih berupa bata merah.
Desa Nagrig dikelilingi area persawahan yang menjadi tulang punggung mata pencarian penduduk desa itu, tak terkecuali keluarga Mohamed Salah. Desa Nagrig dikenal sebagai penghasil beras, bawang merah, dan bunga melati.
Hanya ada satu lapangan sepak bola sangat sederhana dengan rumput seadanya yang dikelilingi rumah-rumah penduduk di desa itu. Lapangan sepak bola bersahaja itu melahirkan anak desa yang saat ini tengah malang melintang sebagai bintang klub elite Inggris, Liverpool.
Padahal Mo Salah semula bercita-cita bisa bermain di salah satu dari dua klub elite di Mesir, yaitu klub Al Ahli atau Zamalek. Namun impian itu tidak tercapai. Ia hanya diterima di klub Al-Mokawloon Al Arab yang merupakan klub papan tengah di Mesir.
Mo Salah berasal dari keluarga sederhana, religius, dan konservatif. Tipikal itu memang khas bagi masyarakat petani, termasuk keluarga Mo Salah yang membudidayakan melati. Ayah Salah, Salah Hamid Mahrous Zaki Ghaly, selain memiliki lahan bunga melati, juga bekerja sebagai pegawai pemerintah lokal di Desa Nagrig. Ibu Salah bekerja di kantor swasta.
Religius
Mo Salah menempuh pendidikan SD dan SMP di Desa Nagrig, kemudian melanjutkan jenjang SMA di kota kecil Basyoun yang tak jauh dari Desa Nagrig. Sikap religius Mo Salah membuatnya selalu bersujud di lapangan sebagai tanda bersyukur setiap kali berhasil mencetak gol di gawang lawan.
Tipikal religius tersebut yang juga mendorong Mo Salah menikah dini dengan meminang wanita pujaannya di Desa Nagrig, Maggi, pada tahun 2013 ketika Mo Salah bermain untuk klub elite asal Swiss, Basel, saat itu. Hidup di negara Barat yang jauh berbeda dari budaya Mesir mendorong Mo Salah menikah dini untuk mencegah fitnah dan perbuatan tidak layak.
Maggi dan Mo Salah dikaruniai seorang putri bernama, Makkah. ”Salah itu orangnya sederhana, rendah hati, berakhlak dan taat beragama,” kata Nasra Ibrahim (55), tetangga Mo Salah di Nagrig. ”Setiap Idul Fitri, Salah selalu pulang kampung dan berbaur dengan warga desa ini,” kata Nasra yang ditemui di rumahnya yang bersebelahan dengan rumah Mo Salah.
Karier pemain bola
Keluarga Salah dikenal sebagai pencinta sepak bola. Ayahnya pemain sepak bola di Desa Nagrig pada tahun 1970-an dan 1980-an. Mo Salah kecil, seperti halnya anak-anak kecil lainnya di Mesir, memiliki kebiasaan bermain bola di depan rumahnya. Lorong tanah dengan lebar sekitar 4 meter di depan rumah Mo Salah di Desa Nagrig menjadi saksi awal karier Mo Salah bermain bola dengan teman- teman sebayanya.
”Di lorong ini dulu Salah ketika berusia 6 atau 7 tahun dan teman-temannya bermain bola setiap sore hari,” ungkap Huda (65), tetangga Mo Salah. ”Saya sering melihat Salah bermain bola di lorong ini. Dia sejak kecil memang dikenal pintar main bola,” kata Huda.
Dalam keluarga Mo Salah sendiri sempat terjadi perbedaan pendapat antara ibu dan ayah tentang masa depan Mo Salah. Ibu menginginkan Mo Salah menjadi dokter atau insinyur. Namun, sang ayah mendorong terus Salah kecil bermain bola agar kelak bisa menjadi pemain bola profesional. Sang ayah melihat bakat besar pada Salah kecil bermain sepak bola. Keinginan sang ayah itu didukung bibi Salah. Akhirnya sang ibu mengalah.
Ketika menginjak usia 8 tahun, Mo Salah mulai pindah dari lorong di depan rumah ke lapangan sepak bola milik Desa Nagrig. ”Di lapangan ini, Salah bermain bola dengan anak desa lain. Sejak awal datang ke lapangan ini, Salah sangat menonjol dan kemampuannya jauh unggul dibandingkan teman lainnya,” kata Mohamed Shihab (50), salah seorang penanggung jawab lapangan sepak bola Desa Nagrig.
Namun, lanjut Shihab, Salah tak lama bermain bola di sini karena ia pindah lagi ke lapangan sepak bola yang lebih besar di kota Basyoun. Saat memasuki usia 12 tahun pada tahun 2004, Mo Salah diikutsertakan dalam Liga Pelajar tingkat nasional di Mesir di bawah sponsor perusahaan Pepsi Cola, mewakili klub sepak bola pelajar Basyoun.
Liga Pelajar tingkat nasional itu selama ini dikenal menjadi ajang pengamat dan pelatih sepak bola di Mesir membidik dan mencari pemain-pemain remaja berbakat untuk direkrut menjadi pemain di klub besar di Mesir.
Seusai kompetisi Liga Pelajar itu, salah seorang pencari pemain remaja berbakat bernama Ridha al-Malah memanggil Mo Salah kecil dan merekrutnya bermain di klub Al-Mokawloon Al Arab di Tanta.
Selanjutnya, sinar Salah berbinar. Pada tahun 2006 Mo Salah kecil dipromosikan ke klub Al-Mokawloon Al Arab pusat di kota Kairo. Lalu pada tahun 2010, Mo Salah mulai bermain di liga utama Mesir mewakili klub Al-Mokawloon Al Arab.
Ia menjadi pemain termuda di liga utama Mesir. Dua tahun berikutnya, Mo Salah masuk tim nasional Mesir dan turut berlaga di Olimpiade London. Seiring itu, mimpi anak di lorong Nagrig itu membawanya ke ”Benua Biru”.