Berselimut sarung merah dan oranye, Eva Sarnasia, bocah berumur 16 jam itu, lelap tertidur. Beralas matras tipis, di atas meja belajar yang dijadikan ”ranjang” persalinan, ia didampingi Rika (34), ibunya. Rumah dan desa mereka terendam banjir terparah yang pernah melanda.
Wajah Rika sesekali semringah, Jumat (14/6/2019) sore, di posko pengungsian SMA 1 Pondidaha, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Anak ketiganya lahir selamat setelah melewati kepungan air setinggi 2 meter, Jumat dini hari.
”Tinggalkan kantor desa pukul sembilan malam. Dievakuasi orang SAR pakai perahu karet. Tidak lama perut sudah sakit, pukul 01.00 melahirkan. Alhamdulillah,” ucapnya. Sebelum dievakuasi, ia empat hari di rumah keluarganya di Desa Wonuamanapa, 2 km dari posko pengungsian sekarang.
Oleh tim evakuasi, Rika dibawa berperahu melintasi jalan terendam air, yang disambung menumpang mobil. Tiba di posko pengungsian, ketubannya pecah. Ruangan kelas disulap menjadi ruang persalinan.
Minimnya ranjang pengobatan membuat tim medis menggabungkan empat meja belajar kayu jadi ranjang darurat, dilapisi matras tipis anak sekolah. Tak berapa lama, Rika mempertaruhkan hidupnya melahirkan di tempat darurat itu. ”Sama bidan dan dokter dikasih nama Eva Sarnasia. Katanya, ’Evakuasi Basarnas Indonesia’,” tuturnya. Semua itu karena air menenggelamkan desanya. ”Ini yang paling tinggi. Sebelumnya cuma sampai lutut.”
Idris (72) menuturkan hal serupa. Ayah empat anak ini belum pernah merasakan banjir sedahsyat ini di Desa Lalonggotomi. Dulu semata kaki. ”Sekarang seleher,” katanya. Puluhan ribu warga mengungsi lebih dari seminggu di puluhan desa di empat kabupaten, yaitu Konawe, Konawe Utara, Kolaka Timur, dan Konawe Selatan.
Di Kelurahan Laosu, Kecamatan Bondoala, Konawe, bangunan papan 4 meter x 7 meter jadi tempat tinggal beberapa hari ini. Papan-papan disusun di atas pagar rumah. Tenda biru jadi atap. Barang ditumpuk di berbagai sudut. ”Ada 25 orang tidur di sini,” kata Mansyur S (60), pengungsi.
Banjir di Sulawesi Tenggara merendam sedikitnya 40 kecamatan dan 180 desa/kelurahan di empat kabupaten. Ketinggian air berkisar 1-3 meter. Data BPBD Sultra, lebih kurang 10.000 keluarga terdampak banjir kali ini.
Direktur Eksekutif Walhi Sultra Saharuddin pun menengarai, kerusakan hulu akibat pembukaan hutan untuk industri dan perkebunan skala besar menjadi salah satu penyebab banjir semakin parah. Kondisi DAS juga kritis.
Banjir telah menjauhkan warga dari rumah dan segala kenyamanan. Di ranjang darurat dari meja belajar, Eva dilahirkan. Di sanalah jam-jam pertama hidupnya. Semua tak lepas dari dampak manusia berinteraksi dengan alam. (JAL)