Ketinggian Banjir di Konawe Selatan Masih Tiga Meter
Banjir masih merendam sejumlah wilayah di Sulawesi Tenggara. Di Konawe Selatan, ketinggian air ada yang mencapai lebih dari tiga meter. Perbaikan lingkungan, khususnya, kawasan hutan harus dilakukan karena sekitar 300.000 hektar diantaranya kini kondisinya kritis.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KONAWE SELATAN, KOMPAS - Banjir masih merendam sejumlah wilayah di Sulawesi Tenggara. Di Konawe Selatan, ketinggian air ada yang mencapai lebih dari tiga meter. Perbaikan lingkungan, khususnya, kawasan hutan harus dilakukan karena sekitar 300.000 hektar diantaranya kini kondisinya kritis.
Hingga hari ke-10, banjir masih merendam sebagian wilayah Kabupaten Konawe Selatan. Di Dusun III, Desa Laikandonga, Kecamatan Ranomeeto Barat, air terlihat mencapai lebih dari tiga meter. Sekitar 30 rumah warga terendam air hingga atap. Untuk mencapai lokasi ini, warga harus melewati dua lokasi genangan air yang cukup dalam, dan harus menggunakan rakit.
Puluhan keluarga terpaksa mengungsi di sebuah sekolah dasar dan belum bisa kembali ke rumah karena air masih tinggi. “Sudah berhari-hari di sini. Air sudah turun sekitar 30 sentimeter, tetapi masih saja sampai atap rumah. Barang-barang sudah habis, hanya sedikit yang diselamatkan,” ucap Asman (27), pengungsi, Senin (17/6/2019).
Menurut Asman, banjir kali ini adalah yang terparah. Air limpahan Sungai Konaweha dengan cepat menggenangi kampung. Hanya dalam hitungan jam, air telah mencapai bagian dalam rumah dan mencapai atap.
Irfan (30) pengungsi lainnya, menyebutkan, pascabanjir 2013, ia meninggikan fondasi rumah hingga 1 m. Bagian atap juga dibuat lebih tinggi. “Tapi sekarang sudah sampai atap, tertutup air semua. Alhamdulillah semua keluarga dan warga di sini selamat,” jelas Irfan.
Wilayah Konawe Selatan adalah satu dari empat kabupaten yang terdampak banjir parah beberapa hari terakhir di Sultra. Akibatnya, 5.245 jiwa terdampak. Sebanyak 995 jiwa mengungsi di sejumlah lokasi. Selain Konawe Selatan, tiga kabupaten lain yang masih terendam adalah Kabupaten Konawe, Konawe Utara, dan Kolaka Timur.
Sedikitnya sekitar 50 kecamatan dengan ratusan desa/kelurahan tergenang banjir terparah yang pernah melanda kawasan Sulawesi Tenggara. Sekitar 10.000 keluarga terdampak, dan puluhan ribu jiwa mengungsi dari rendaman air yang mencapai 3 m.
Banjir parah terjadi diduga kuat karena terjadinya kerusakan hutan di bagian hulu. Kerusakan ini ditengarai akibat industri pertambangan dan perkebunan skala besar yang terus terjadi. Akibatnya, saat curah hujan dengan intensitas tinggi dan dalam waktu yang lama terjadi, air dengan gampang turun karena hilangnya vegetasi.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Konawe Selatan Adywarsyah Toar menyebutkan, pengungsi terbanyak berada di Kecamatan Ranomeeto Barat. Jumlah 74 orang. Ketinggian air paling tinggi juga berada di wilayah ini hingga sekitar 3,7 m dari tinggi muka air sungai normal.
“Air memang masih tinggi karena kami di sini menerima buangan air dari Konawe dan Kolaka Timur melalui Sungai Konaweha. Jadi, meski di sana mulai surut, di sini tetap tinggi,” katanya.
Sejauh ini, tambahnya, pihaknya terus memantau kondisi pengungsi sekaligus menyalurkan bantuan. Pengungsi yang kekurangan air bersih, juga makanan, telah dikirimkan untuk disalurkan. Salah satu yang menghambat penyaluran bantuan adalah terputusnya jalan dan harus melintasi limpahan sungai yang dalam dan cukup panjang.
“Banjir kali ini memang paling tinggi. Tahun 2013 lalu, sekitar 1,5 m dari batas normal. Sekarang hampir 4 m. Karena itu, masa tanggap bencana juga diperpanjang hingga 28 Juni,” urainya.
Hutan kritis
Lahan kritis diduga memicu banjir ini. Data lahan kritis di Sultra mencapai 885.000 hektar. Luas lahan kritis ini menyumbang sekitar sepertiga dari total luas lahan kritis di Sulawesi yang mencapai 2,7 juta Ha.
Data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra, sejak 2001 sampai 2017, wilayah Konawe Utara kehilangan 45.600 Ha tutupan pohon. Dalam kurun yang sama, pertambangan dan sawit juga mengubah hutan primer seluas 954 Ha dan hutan alam 2.540 Ha.
Saharuddin, Direktur Eksekutif Walhi, mengungkapkan, banjir itu pasti diakibatkan oleh tutupan pohon yang hilang. Vegetasi di kawasan hutan tidak mampu menampung air berlebih. "Kawasan perkebunan membuka kawasan hutan. Terlebih, aktifitas pertambangan itu penyumbang terbesar terjadinya kerusakan DAS. Revisi izin pertambangan dan perkebunan harus dilakukan," katanya.
Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara Subandriyo mengucapkan, dari hampir 900.000 Ha lahan kritis, hanya sekitar 300.000 Ha yang berada di kawasan hutan. Selebihnya berada di luar kawasan hutan.
“Kami perkirakan, sekitar 60 persen wilayah Sultra ini masih berupa tutupan hutan. Memang ada yang kritis tetapi terus diperbaiki,” ucapnya. Meski demikian, pihaknya belum memiliki data terkait tutupan pohon di Sultra.
Menurut Subandriyo, banjir kali ini bukan karena rusaknya kawasan hulu. Akan tetapi, disebabkan oleh curah hujan yang memang tinggi. Selain itu, topografi kawasan yang landai dan rendah, juga kondisi tanah yang cepat jenuh air, membuat air dengan cepat limpas. Pihaknya mengklaim terus melakukan penghijauan, dan penanaman pohon untuk menghijaukan hutan dan memperbaiki DAS yang rusak.