Tuna, tongkol, dan cakalang merupakan salah satu komoditas utama ekspor perikanan Indonesia dengan rata-rata nilai ekspor 15,68 persen terhadap total nilai ekspor perikanan Indonesia periode 2012-2018 (BPS, 2019).
Berdasarkan data UN-Comtrade (2019), periode 2012-2018 rata-rata 62,08 persen produk tuna, tongkol, cakalang (TTC) yang diekspor dunia adalah olahan (HS 160414 dan HS 030487) dengan pertumbuhan positif 4,04 persen per tahun. Adapun produk olahan TTC filet (HS 030487) mengalami pertumbuhan ekspor tertinggi 18,70 persen per tahun. Artinya, produk TTC olahan memiliki prospek yang baik di pasar internasional.
Hal ini menjadikan Thailand sebagai eksportir TTC terbesar dunia, padahal Thailand tidak memiliki produksi TTC yang besar seperti Indonesia. Oleh sebab itu, industri pengolahan ikan Thailand sangat bergantung pada pasokan bahan baku dari negara lain, termasuk dari Indonesia.
Hal ini tecermin dari neraca perdagangan TTC Thailand yang cenderung terus menurun dalam empat tahun terakhir yang disebabkan terus meningkatnya nilai impor bahan baku TTC. Tahun 2014 neraca perdagangan TTC Thailand mencapai 1,2 miliar dollar AS, sedangkan tahun 2018 turun menjadi 877,73 juta dollar AS.
Produsen tuna terbesar
Indonesia merupakan negara penghasil tuna terbesar di dunia. Salah satunya jenis neritik, yang dimanfaatkan sebagai sumber protein oleh masyarakat. Ada pula jenis large tuna, yang banyak diekspor ke beberapa negara (market state).
Indonesia melaporkan data produksi tuna di wilayah Samudra Hindia tahun 2017 secara resmi melalui dokumen Indonesia, National Report to the Scientific Committee of the Indian Ocean Tuna Commission 2018, sebesar 165.725 ton yang terdiri dari alba-core 6.994 ton, bigeye tuna 21.945 ton, skipjack tuna 96.872 ton, dan yellowfin tuna 39.913 ton. Berdasarkan data laporan tahunan Indonesia di Komisi Perikanan Pasifik Barat dan Tengah (WCPFC), produksi skipjack tuna 310.978 ton, yellowfin tuna 144.960 ton, dan bigeye tuna 10.331 ton dengan total tangkapan 466.268 ton.
Namun, ada ketidakcocokan antara data estimasi produksi TTC di Samudra Hindia yang dilaporkan delegasi Indonesia dengan data estimasi produksi Komisi Tuna Samudra Hindia (IOTC) 34.120 ton. Hal ini mungkin akibat adanya perbedaan pertimbangan dalam pengkajian stok yang dilakukan komite ilmiah IOTC.
Diskrepansi ini merupakan upaya kalibrasi terhadap data yang dilaporkan Indonesia, khususnya pada proses memisahkan data hasil tangkapan dari perairan lepas dengan perairan pesisir. Kendala ini tak hanya ditemui Indonesia, tetapi juga oleh semua negara pantai sehingga diskrepansi data estimasi produksi TTC tidak hanya terjadi pada angka estimasi Indonesia.
Selama tiga tahun berturut-turut tingkat kepatuhan Indonesia di IOTC meningkat signifikan dari 64 persen (2016), 73 persen (2017), dan 77 persen (2018), sedangkan di WCPFC meningkat dari 2016 sebesar 60 persen dan meningkat pada 2017 menjadi 81 persen. Peningkatan itu merupakan upaya keras Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mematuhi resolusi yang tertuang dalam Conservation and Management Measure (CMM) pada semua jenis komoditas tuna, baik dari pelaporan pendataan, kegiatan riset dan implementasi langkah-langkah pengelolaan secara nasional yang telah ditetapkan Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (RFMO) dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Selain itu, keberhasilan ini merupakan peran para pelaku usaha yang semakin taat hukum dalam melaporkan hasil tangkapannya.
Kinerja nilai ekspor TTC Indonesia pada periode 2015-2018 meningkat rata-rata 7,25 persen per tahun. Bahkan, nilai ekspor TTC tahun 2018 sudah di atas nilai ekspor TTC tahun 2014 sebesar 3,10 persen.
Peningkatan nilai itu dipicu oleh komoditas ekspor tuna olahan, terutama komoditas tuna filet 28,16 persen per tahun dengan harga rata-rata 7,15 dollar AS per kilogram dibandingkan dengan produk tuna lainnya, seperti segar (4,40 dollar AS per kg), beku (2,42 dollar AS per kg), dan kaleng (4,4 dollar AS per kg).
Landasan filosofis
FAO sejak 1995 telah mendorong agar pengelolaan perikanan dapat dilakukan secara bertanggung jawab, mengedepankan pemeliharaan mutu, keanekaragaman, dan ketersediaan yang cukup untuk generasi kini dan mendatang dalam konteks ketahanan pangan, pengentasan rakyat miskin, dan pembangunan berkelanjutan.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu menjamin promosi, perdagangan dan produk perikanan tuna secara domestik dan internasional sesuai dengan konservasi dan pengelolaan yang layak. Juga harus mempertimbangkan dampak perdagangan ikan dan produk perikanan tuna internasional, integrasi vertikal bagi nelayan lokal skala kecil, buruh nelayan, dan komunitas nelayan.
Pemerintah juga menjamin pelaksanaan sistem manajemen perikanan tuna yang efektif untuk mencegah eksploitasi berlebihan. Sistem ini harus mencakup praktik-praktik usai panen, kebijakan dan tindakan yang bertanggung jawab untuk memastikan pendapatan ekspor menguntungkan bagi nelayan kecil secara adil.
Strategi industrialisasi tuna
Salah satu upaya nyata KKP dalam pengelolaan tuna adalah disusunnya harvest strategy untuk sumber daya ikan tuna dan cakalang di perairan kepulauan Indonesia (WPP 713, 714, dan 715) yang melibatkan peneliti, international expert, fishing industries, asosiasi perikanan, LSM, dan pemerintah daerah.
Produksi TTC Indonesia pada 2017 meningkat 1.231.790 ton atau 3,48 persen dibandingkan dengan produksi pada 2016 sebesar 1.190.381 ton. Kebijakan kedaulatan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan telah membawa dampak positif. Sebagian besar nelayan dapat menangkap tuna di perairan pesisir.
Saat ini, sekitar 30 persen kapal perikanan Indonesia berukuran 50-150 GT yang terdaftar di IOTC sudah menangkap ikan di laut lepas Samudra Hindia, dan di ZEEI. Secara teknologi, kemampuan armada perikanan Indonesia sudah memadai, tinggal keberanian pengusaha Indonesia untuk lebih aktif melakukan investasi untuk menangkap ikan di laut lepas.
Selain itu, isu underreported data masih cukup besar. Hasil tangkapan Southern Bluefin Tuna (SBT) yang dilaporkan masih rendah. Juga tangkapan skipjack tuna, bigeye tuna, dan yellowfin tuna masih banyak yang tidak terlaporkan, khususnya hasil tangkapan yang didaratkan di tempat tidak resmi.
Pendekatan peningkatan produksi besar-besaran sudah tidak jaminan lagi untuk mendorong Indonesia sebagai eksportir perikanan tuna terbesar dunia, tetapi sistem pemanfaatan yang bertanggung jawab akan menjadi modal besar ekonomi tuna Indonesia ke depan. Karena itu, kerja sama yang baik antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat nelayan jadi kunci utama keberlanjutan ekonomi tuna Indonesia.
Nilanto Perbowo Sekretaris Jenderal/Plt Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Kementerian Kelautan dan Perikanan RI