Sektor Keuangan Pasca-pemilu
Pemilu serentak 2019 usai sudah. Dalam rekapitulasi nasional pilpres yang diumumkan KPU pada 21 Mei, pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul dengan 55,5 persen suara.
Kepastian politik tentu akan menggairahkan sektor riil yang kemudian menyetrum pertumbuhan ekonomi. Bagaimana tantangan dan gairah sektor keuangan? Pertama, pemerintah akan dapat dukungan lebih besar dari partai koalisi di DPR. Dengan demikian, diharapkan makin banyak RUU yang dapat disahkan menjadi UU.
Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019 terdapat 55 RUU dan yang terkait dengan sektor keuangan, seperti RUU Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, RUU Ekonomi Kreatif, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan RUU BUMN.
Sayangnya, DPR sering melemparkan alasan bahwa pemerintah malas hadir untuk membahas RUU. Hal itu tersirat dari nihilnya daftar inventaris masalah (DIM) ketika menyerahkan surat presiden (surpres) kepada DPR. Tiga surpres yang tak disertai DIM yakni RUU Pertembakauan, RUU Aparat Sipil Negara, dan RUU Masyarakat Hukum Adat (Kompas.com, 8/3/2019).
Ada RUU yang patut dijadwalkan, yakni RUU Bank Indonesia, mengingat pengawasan bank sudah beralih ke Otoritas Jasa Keuangan mulai 31 Desember 2013. Pun RUU Perkoperasian ketika Mahkamah Agung menganulir UU No 17/2012 sehingga kembali ke UU No 25/1992. Terlebih koperasi sebagai soko guru ekonomi rakyat belum terwujud. Ini tantangan kunci Kementerian Koperasi dan UKM.
Induk perusahaan BUMN
Kedua, saat ini BUMN terus digenjot untuk lebih profesional dan terkemuka. Terdapat 143 BUMN pada 2018 dengan total aset Rp 8.092 triliun, total ekuitas Rp 2.479 triliun, yang telah memberikan kontribusi pada APBN Rp 422 triliun dan total laba Rp 200 triliun (unaudited) pada 2014-2018. Untuk itu, Kementerian BUMN membentuk induk perusahaan (holding company) untuk menaikkan tingkat efisiensi dan daya saing. Pembentukan induk perusahaan itu bertujuan menggeber kapasitas BUMN Indonesia menuju perusahaan kelas dunia sehingga dapat bersaing minimal di tingkat kawasan dengan trengginas.
Kini sudah terbentuk induk perusahaan BUMN semen di bawah PT Semen Indonesia, BUMN pertambangan (PT Inalum), BUMN perpupukan (PT Pupuk Indonesia), BUMN migas (PT Pertamina), dan BUMN perumahan (Perumnas). Hal teranyar adalah rencana pembentukan induk perusahaan BUMN penerbangan di bawah PT Penas. Induk perusahaan itu meliputi PT Angkasa Pura I, PT Angkasa Pura II, PT Garuda Indonesia, PT Pelita Air Service, dan Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (AirNav Indonesia).
Mengapa PT Penas yang relatif kecil justru menjadi calon pemimpin induk perusahaan? Pemerintah hendak menekan resistensi serendah mungkin di antara BUMN-BUMN perkasa itu sehingga pembenahan ke depan lebih mulus. Untuk itu, harus dipilih calon pemimpin induk perusahaan yang mumpuni dalam arti profesional, berintegritas tinggi, dan berpengalaman dalam bisnis yang terintegrasi tinggi.
Induk perusahaan yang masih digodok adalah BUMN Jasa Keuangan yang meliputi PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT Bank Mandiri, PT Bank Negara Indonesia (BNI), PT Bank Tabungan Negara (BTN), PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), PT Permodalan Nasional Madani (PNM), PT Investment Management, PT Danareksa Finance, PT Bahana Sekuritas, dan PT Bahana Artha Ventura. Sebagai langkah awal, BTN segera akuisisi 30 persen saham PT PNM pada PT Permodalan Nasional Madani Investment Management (PNMIM).
Upaya pembentukan induk perusahaan BUMN Jasa Keuangan ini butuh waktu lama meski sudah bergulir sejak lima tahun lalu (2014), karena tiap-tiap bank pelat merah itu punya jutaan nasabah gurem hingga raksasa yang wajib dilindungi.
Karena itu, DPR hendaknya segera ”bangun tidur” menuntaskan RUU BUMN sebagai landasan hukum yang bervisi jauh dalam pembentukan induk perusahaan. Apalagi rencana pembentukan induk perusahaan super (super holding company) yang langsung di bawah pengawasan presiden, mirip Temasek di Singapura dan Khazanah di Malaysia yang di bawah perdana menteri.
Rencana induk perusahaan BUMN Karya yang meliputi, antara lain, PT Hutama Karya, PT Waskita Karya, PT Adhi Karya, PT Wijaya Karya, PT Amarta Karya, dan PT Istaka Karya, perlu dipertimbangkan masak-masak. Mengapa? Karena ketika induk perusahaan itu terbentuk, maka dari sisi manajemen risiko bank sebagai kreditor proyek infrastruktur akan menilai BUMN Karya sebagai satu entitas. Penilaian itu akan menghasilkan kredit yang lebih rendah.
Selain itu, bank wajib mempertimbangkan batas maksimal pemberian kredit (BMPK). Akibatnya, kredit perbankan ke proyek infrastruktur, seperti bandara, pelabuhan laut, jalan tol, jalan kereta api, irigasi, dan pusat tenaga listrik, akan lebih terbatas. Inilah tantangan serius Kementerian BUMN dan Kementerian PUPR.
Sinergi antar-BUMN
Ketiga, upaya membangun sinergi antar-BUMN harus terus didorong. Saat ini, PT Asuransi Jiwasraya yang merupakan satu-satunya BUMN Perasuransian sedang mengalami kekurangan likuiditas. Untuk mengatasi itu, Jiwasraya akan menerbitkan surat utang medium term notes (MTN) Rp 500 miliar.
Sebelumnya, penulis menyarankan aneka alternatif solusi, seperti pengucuran penanaman modal negara (PMN), obligasi rekapitalisasi (bond recap) untuk menambal modal sebagaimana yang telah diberikan kepada 28 bank umum pada 1998-1999 atau mengundang investor asing (Paul Sutaryono, Kontan, 14/11/2018).
Sebaliknya, pemerintah ingin mengundang BUMN, yakni BTN, PT Pegadaian, PT Kereta Api Indonesia (KAI), dan PT Telkom, untuk memeluk Jiwasraya. Sungguh, itu suatu upaya membangun sinergi antar-BUMN yang cantik. Oleh karena itu, sudah sepatutnya BRI, Bank Mandiri, dan BNI perlu diikutsertakan mengingat mereka memiliki modal yang lebih perkasa.
BRI mengungguli dalam perolehan laba bersih dari Rp 29,04 triliun per Desember 2017 menjadi Rp 32,40 triliun per Desember 2018 (naik 11,60 persen). Disusul Bank Mandiri dengan laba bersih dari Rp 20,60 triliun menjadi Rp 25,00 triliun (21,40 persen) dan BNI dari Rp 13,61 triliun menjadi Rp 15,01 triliun (10,30 persen). Bukan main!
Dengan demikian, Jiwasraya segera bangkit kembali untuk menjadi BUMN yang kampiun. Ingat bahwa industri perasuransian masih kalah bergairah ketimbang industri perbankan. Ini ironis karena Indonesia berpenduduk 260 juta jiwa yang merupakan basis nasabah (customer base) mahagendut. Inilah tantangan sejati pemerintah daripada buru-buru membentuk induk perusahaan perasuransian.
Kredit perbankan
Keempat, kepastian politik pasti juga akan memacu kredit perbankan, terutama proyek infrastruktur yang menjadi fokus pembangunan. Otomatis, kredit ke sektor konstruksi bakal lebih kencang. Statistik Perbankan Indonesia yang terbit 26 April 2019 menunjukkan kredit ke sektor konstruksi naik 28,61 persen dari Rp 244,13 triliun per Februari 2018 menjadi Rp 313,97 triliun per Februari 2019. Sayangnya, rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) cukup tinggi, 3,69 persen.
Selain proyek infrastruktur, pemerintah hendaknya fokus untuk menggeber sektor yang sanggup menyerap banyak tenaga kerja. Hal itu diharapkan dapat menekan tingkat pengangguran terbuka yang mencapai 5,34 persen per Agustus 2018 yang ditargetkan menipis menjadi 5,2 persen pada 2019.
Katakanlah, sektor pertambangan dengan kredit yang naik 32,91 persen (NPL 4,64 persen); sektor listrik, gas, dan air 15,99 persen (NPL 1,14 persen); sektor perikanan 12,40 persen (NPL 7,08 persen); sektor pertanian 12,28 persen (NPL 1,35 persen); sektor industri pengolahan 11,54 persen (NPL 2,76 persen); serta sektor perdagangan 9,82 persen (NPL 3,94 persen).
Pertumbuhan kredit atas permintaan sektor riil itu sungguh menggembirakan. Secara keseluruhan, kredit tumbuh 12,13 persen (year to year) per Februari 2019, meliputi kredit modal kerja, investasi, dan konsumsi. Kredit produktif yang meliputi kredit investasi tumbuh tertinggi 13,96 persen dan kredit modal kerja 12,75 persen, sedangkan kredit konsumsi ”hanya” 9,55 persen.
Namun, kredit konsumsi akan meledak selama bulan puasa dan Lebaran, Natal, serta Tahun Baru. Apalagi disokong kucuran bantuan sosial sekitar Rp 96 triliun, kenaikan gaji pegawai negeri, dan tunjangan hari raya. Buahnya, target pertumbuhan kredit menurut BI 12 persen dan OJK 12-14 persen bakal terwujud akhir 2019. Konsumsi rumah tangga telah memberikan kontribusi tertinggi 2,69 persen terhadap pertumbuhan PDB 5,17 persen pada 2018. Kini, pertumbuhan ekonomi masih bertumpu pada laju konsumsi rumah tangga.
Kelima, kredit konsumsi berupa kredit pemilikan rumah (KPR) yang tumbuh 13,28 persen, kredit pemilikan apartemen (KPA) 24,16 persen, dan kredit kendaraan bermotor (KKB) 9,86 persen bakal lebih deras. Kredit ini indikator bergairahnya sektor riil. KKB mencerminkan gairah industri pembiayaan yang terus membuka pameran otomotif.
Beberapa bank dan pengembang pun rajin menggelar pameran rumah. Namun, bank wajib meningkatkan kualitas kredit terhadap NPL sektor usaha yang mendekati ambang batas 5 persen. NPL tinggi akan membebani bank dengan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN), bahkan menggerus modal.
Paul Sutaryono Staf Ahli Pusat Studi BUMN (PSB), Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI