Pagebluk Kebohongan
Meminjam istilah pengamat politik J Kristiadi, iklim kita saat ini terlanda pagebluk kebohongan. Pagebluk dalam istilah Jawa berarti ’musim wabah penyakit’. Yang pernah kita alami, misalnya, pagebluk sampar, malaria, TBC, dan tentu demam berdarah dengue. Semuanya menimbulkan korban.
Pagebluk kebohongan mengakibatkan lebih dari 400 petugas KPPS meninggal, belum termasuk petugas keamanan, tidak diapresiasi pengorbanannya. Mereka malah dijadikan amunisi, disangsikan kematiannya, bahkan ditiupkan isu racun. Bukan kelelahan.
Rakyat sudah lelah dicekoki kebohongan, terutama dalam masa kampanye. Diawali dengan kebohongan Ratna Sarumpaet, yang sampai memicu usul Hari Nasional Kebohongan. Ini terus berlangsung sehingga benar ucapan Presiden Perancis Charles de Gaulle, ”Politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut jika rakyat memercayainya.”
Kalau kita rangkum segala kebohongan itu, kesimpulannya adalah paradoks masyarakat digital: bahwa kelimpahan informasi digital ternyata tidak berbanding lurus dengan kedewasaan bertindak atau mengambil keputusan. Hal ini malah menjerumuskan masyarakat dalam epidemi irasionalitas.
Polarisasi yang mulai berlangsung sejak Pemilu Presiden 2014, Pilkada DKI Jakarta 2017, dan kini Pemilu Presiden 2019 memunculkan nama-nama yang layak disebut Si Pahit Lidah. Makin lama makin menjadi dan makin terang-terangan dalam berbohong. Mereka makin populer dalam sorak-sorai para pengikutnya. Artinya apa?
Media dalam hal ini memberikan andil bahwa media jurnalistik belum sepenuhnya hadir sebagai alternatif yang lebih baik daripada medsos. Media arus utama belum menjadi rujukan semua pihak. Akibatnya, masyarakat kesulitan membedakan antara gosip, spekulasi, informasi, dan berita yang digarap mengikuti kaidah jurnalistik.
Maka, yang terjadi adalah bohong dianggap sebagai kebenaran, sementara yang benar justru dianggap sebagai fitnah. Situasi ini benar-benar mematikan akal sehat.Pasca-Pemilu 2019, tampaknya kita sungguh perlu meruwat kembali kewarasan berpikir.
IGN SUNITO Bintaro, Tangsel
Pelajaran Berharga
Kerusuhan pada 22 Mei 2019 di beberapa tempat di Jakarta menorehkan noktah hitam bagi proses berdemokrasi di negeri ini. Sejumlah orang telah menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Ada yang meninggal, luka berat, dan luka ringan.
Namun, yang harus digarisbawahi dari peristiwa ini adalah sebagian besar korban adalah kalangan anak-anak muda, 294 orang berusia 20-29 tahun dan 170 orang lainnya berusia di bawah 19 tahun.
Ini suatu catatan serius bagi orangtua akan pentingnya pengawasan terhadap anak, khususnya yang terkait dengan aktivitas di luar rumah. Statistik di atas menjadi bukti bahwa para orangtua selama ini kurang peduli, bahkan lalai, dalam mengawasi sikap dan perilaku anak di luar rumah.
Padahal, orangtua menjadi inti terpenting sebuah proses pendidikan. Ancaman terbesar anak adalah pengaruh lingkungan di luar rumah, yang sangat sulit dideteksi dan dikontrol.
Kerusuhan 22 Mei 2019 menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, khususnya orangtua, agar lebih peduli terhadap segala aktivitas anak. Menganggap anak ”sudah cukup dewasa” adalah kekeliruan besar yang banyak dilakukan para orangtua, terutama yang tinggal di kota-kota besar.
Banyaknya anak di bawah umur yang menjadi korban kerusuhan harus dimaknai sebagai sebuah kegagalan dan catatan merah bagi para orangtua, utamanya dalam aspek kepedulian, perhatian, dan pengawasan.
Budi Sartono Cilame, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat