Jakarta masih menempati posisi ke-7 sebagai kota termacet di dunia versi TomTom Traffic Index. Meski membaik dibandingkan tahun sebelumnya, peningkatan kualitas angkutan umum masih dibutuhkan untuk memperlancar perjalanan warga.
Oleh
Helena F Nababan/Aguido Adri
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jakarta masih menempati posisi ke-7 sebagai kota termacet di dunia versi TomTom Traffic Index. Meski membaik dibandingkan tahun sebelumnya, peningkatan kualitas angkutan umum masih dibutuhkan untuk memperlancar perjalanan warga.
Berdasarkan indeks TomTom yang dirilis Senin (17/6/2019), kemacetan di Jakarta pada 2018 turun 8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini membawa Jakarta di posisi ke-7 dari 403 kota di 56 negara. Setahun sebelumnya, Jakarta di posisi ke-4 dari 390 kota.
Tahun 2018, rata-rata pengendara mobil menghabiskan 63 persen dari waktu perjalanan dengan terjebak di kemacetan saat jam sibuk pagi hari atau rata-rata menambah 19 menit setiap 30 menit waktu perjalanan saat kondisi normal.
Kemacetan dirasakan kian parah pada sore, yakni sampai 88 persen dari waktu perjalanan. Dibandingkan saat lalu lintas normal, pengendara rata-rata menambah 26 menit setiap 30 menit waktu perjalanan.
Pada 2017, pengendara menghabiskan 73 persen waktu perjalanan dengan terjebak di kemacetan pagi hari. Rata-rata terjadi penambahan 22 menit setiap 30 menit perjalanan. Pada sore hari, 99 persen waktu habis di kemacetan, dengan penambahan 30 menit setiap 30 menit perjalanan.
Gito Yunarto (42), warga Ciracas, Jakarta Timur, mengaku hampir setiap hari terjebak macet saat menuju kantor di kawasan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Ia mengatakan, belum merasakan dampak dari penurunan angka kemacetan di Jakarta.
”Sama saja kemacetan dari tahun ke tahun, Jakarta selalu macet,” ujar Gito, kemarin. Ia harus menempuh sekitar 1 jam dengan sepeda motor menuju kantor saat macet.
Pengalaman serupa dirasakan Erlan Aji (35), warga Bekasi; dan Moh Basri (29), warga Bintaro. Mereka sepakat, kemacetan lalu lintas di Jakarta tidak berubah meskipun ada peraturan ganjil genap.
Mereka menilai, jika angkutan massal, seperti MRT, LRT, KRL, dan bus Transjakarta dimanfaatkan optimal sebagai moda transportasi, pasti akan mengurangi kemacetan.
”Masalahnya, kan, transportasi publik belum terintegrasi semuanya satu dengan yang lain. Orang-orang masih memilih menggunakan kendaraan pribadi,” tutur Erlan.
Ralf-Peter Schaefer, Wakil Presiden Lalu Lintas TomTom, mengatakan, tingkat kemacetan di Jakarta turun 8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan di Jakarta ini tercatat paling besar dibandingkan kota-kota lainnya yang diukur oleh perusahaan penyedia teknologi navigasi ini.
Integrasi angkutan
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko mengatakan, berkurangnya kemacetan lalu lintas di Jakarta karena sejumlah kebijakan dan pembangunan, antara lain pengoperasian terowongan dan jalan layang, serta kebijakan ganjil genap yang diperluas dan diperpanjang sejak 2 Januari 2019.
Perluasan jangkauan angkutan umum juga terus dilakukan, antara lain pembukaan rute-rute baru bus Transjakarta. ”Program Jak Lingko dari PT Transjakarta dengan menggandeng angkutan kota juga berperan serta menurunkan kemacetan. Begitu pula dengan penutupan pelintasan sebidang kereta api,” ujarnya.
Beroperasinya kereta MRT, menurut Sigit, juga turut mengurangi kemacetan lalu lintas.
Ia menyebutkan juga, penataan trotoar Jalan MH Thamrin dan Jalan Sudirman membuat pejalan kaki menjadi nyaman karena trotoar semakin lebar.
Pengamat transportasi dari Universitas Katolik Unika Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijawarno, menambahkan, pembatasan kendaraan seperti kebijakan ganjil genap juga turut mengurangi kemacetan.
”Sebetulnya kemacetan di Jakarta bisa makin berkurang kalau Gubernur DKI mau memperluas penerapan ganjil genap hingga ke sejumlah ruas jalan protokol. Lalu melarang sepeda motor di jalan-jalan protokol. Itu bisa menurunkan tingkat kemacetan hingga 20 persen,” jelas Djoko.
Ia yakin, jalan berbayar yang kelak diberlakukan juga bisa mengurangi kemacetan.
Terkait angkutan umum, penambahan kapasitas kereta rel listrik (KRL) Commuter Line juga ikut menarik orang memakai angkutan umum.
Begitupun dengan perpanjangan rute bus Transjakarta hingga ke daerah di sekitar Jakarta. Dengan begitu, warga dari Bodetabek yang bekerja di Jakarta tidak perlu menggunakan kendaraan pribadi.