Tingginya harga tiket pesawat berdampak signifikan bagi industri pariwisata di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Nusa Tenggara Barat. Hal itu dinilai sangat mengganggu, apalagi industri pariwisata di daerah tersebut, khususnya Lombok masih berupaya setelah lesu pascagempa 2018. Semua bidang terkait mulai dari akomodasi, penyedia jasa perjalanan dan wisata, hingga usaha mikro kecil dan menengah ikut terimbas.
Oleh
KHAERUL ANWAR/ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS – Tingginya harga tiket pesawat berdampak signifikan pada industri pariwisata di Nusa Tenggara Barat. Itu menjadi pukulan kedua industri pariwisata, khususnya bagi Lombok yang masih lesu pascagempa 2018. Semua sektor mulai akomodasi, penyedia jasa perjalanan dan wisata, hingga usaha mikro kecil dan menengah turut terimbas.
Pelaksana Tugas Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) NTB, Gusti Lanang Patra di Mataram, Senin (17/6/2019) mengatakan, sejak harga tiket penerbangan melambung ditambah kebijakan bagasi berbayar, tingkat hunian hotel di Mataram menurun. Okupansi hotel hanya 20-30 persen dari total kamar.
“Tahun sebelumnya ketika bulan puasa hotel-hotel ramai tamu. Bulan puasa tahun ini, kamar banyak yang tidak terisi dan tamu restoran sepi. Bagaimana orang mau pelesir, sudah tiket mahal, harus bayar bagasi pula, jadi double kenanya,” ujarnya.
Menurut Lanang, harga tiket pesawat rute Lombok-Jakarta di atas Rp 1,5 juta, sedangkan tahun-tahun sebelumnya hanya Rp 700.000 hingga Rp 800.000. Bandingkan harga tiket pesawat rute Lombok-Kuala Lumpur yang hanya Rp 700.000. Sementara, beberapa tahun terakhir muncul hotel baru, bahkan ada yang sedang dalam proses pembangunan di Mataram.
Upaya pemerintah menurunkan batas atas harga tiket sebesar 12-16 persen sejak 15 Mei tidak berpengaruh positif terhadap hunian kamar hotel. “Mestinya penurun harga tiket sebesar 50 persen, baru bisa nendang tingkat tingkat hunian,” ujar Lanang Patra.
Hal senada dikatakan Indah Puri Tiara, Humas Hotel Aruna Senggigi, Lombok Barat. Tingkat hunian hotel dengan 143 kamar itu cenderung menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya yang mencapai 30-40 persen. Namun, okupansi itu mulai terdongkrak bulan Mei mencapai 60 persen, dan akhir Juni ini 80 persen. “Hunian kamar bulan Juni ini naik karena ada event dan pemesan sudah memesan tahun sebelumnya," kata dia.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Agen Perjalan dan Wisata Indonesia (Asita) NTB Dewantoro Umbu Joka menambahkan, tingginya harga tiket pesawat membuat wisatawan pikir-pikir untuk berwisata ke suatu daerah, termasuk ke NTB.
Akibatnya, situasi itu berdampak pada bidang terkait industri pariwisata mulai dari akomodasi, agen perjalanan dan wisata, hingga usaha mikro, kecil, dan menengah seperti kuliner dan oleh-oleh.
“Khusus NTB, ibarat sudah jatuh, ketimpa tangga. Baru saja diguncang gempa, mulai pemulihan, tiba-tiba dihajar lagi oleh kenaikan harga tiket pesawat dan pemberlakuan bagasi berbayar,” kata Dewantoro. Okupansi hotel turun dratis seiring berkurangnya kunjungan wisatawan, khususnya domestik.
“Begitu juga dengan UMKM. Mereka lebih sadis. Sudah ada yang tutup. Yang lain, tinggal menunggu waktu karena sama-sama susah,” kata Dewantoro.
Menurut H Edy Gunarto, pemilik toko Sinar Abadi Mutiara, toko perhiasan di Jalan Adi Sucipto Ampenan, yang menjual oleh-oleh mutiara, tingginya harga tiket membuat masyarakat berat untuk berlibur ke Lombok. “Akibatnya, pengunjung toko saya sepi. Biasanya, akhir pekan dari Jumat hingga Minggu ramai. Sekarang tidak ada. Kalau dulu omzet sebulan di toko bisa sampai Rp 300 juta, sekarang paling Rp 2 juta-Rp 9 juta. Itu pun saya masih minus,” kata Edy yang menutup biasa operasional termasuk gaji dengan ikut ke bazar-bazar di luar daerah seperti di Jakarta.
Produsen Kopi Lombok di Mataram, Nurwardaini, mengatakan, usahanya sekedar bisa jalan. Sejak Januari hingga saat ini, pemilik toko oleh-oleh tidak memesan barang. Sebelumnya, ia bisa menjual kopi bubuk dengan berbagai varian rasa sebanyak 7 kilogram.
Strategi
Dewantoro mengatakan, naiknya harga tiket pesawat memang menjadi masalah nasional. “Bahkan, Presiden mewacanakan akan mengundang maskapai asing. Tapi itu menimbulkan pro-kontra. Artinya, di tingkat pusat saja belum ada solusi, bagaimana di tingkat daerah,” kata dia.
Menurut Dewantoro, menurunkan harga tiket adalah solusi yang ditunggu untuk saat ini. Namun, jika tetap tinggi, strategi yang bisa ditawarkan Asita NTB adalah paket perjalanan dan wisata murah. Misalnya paket untuk empat hari, bisa dibayar tiga hari.
“Sudah kami coba, tetapi belum bisa optimal. Itu kan tidak bisa sendiri, tetapi harus didukung oleh pihak hotel karena menjadi bagian dari paket yang kami tawarkan. Memang ada yang mau, tetapi hanya beberapa,” kata Dewantoro.
Ia menambahkan, selain itu, NTB bisa memaksimalkan penerbangan langsung maskapai luar negeri, seperti AirAsia, khususnya untuk wisatawan mancanegara. Penerbangan itu tidak ikut terdampak dengan kenaikan tiket.
“Saat ini, penerbangan langsung maskapai AirAsia Malaysia-Lombok untuk wisatawan dari Malaysia, Eropa, dan China. Selain itu, ada juga penerbangan langsung AirAsia yang baru dibuka, yakni Perth, Australia, ke Lombok,” kata Dewantoro.