Selesainya Pemilu dan Perang Dagang Akan Dorong Pertumbuhan Investasi
Badan Koordinasi Penanaman Modal meyakini, investasi pada 2019 akan tumbuh hingga dua digit secara tahunan. Meski pada triwulan I-2019 investasi cenderung melambat, selesainya pemilihan presiden serta memanasnya perang dagang antara AS dan China akan mendorong pertumbuhan.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Koordinasi Penanaman Modal meyakini, investasi pada 2019 akan tumbuh hingga dua digit secara tahunan. Meski pada triwulan I-2019 investasi cenderung melambat, selesainya pemilihan presiden serta memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China akan mendorong pertumbuhan.
Investasi di Indonesia hanya tumbuh 5,3 persen secara tahunan pada triwulan I-2019. Pertumbuhan itu melambat dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan I-2018, yakni 11,8 persen.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, Selasa (18/6/2019), di Jakarta, tetap optimistis investasi pada 2019 mencapai dua digit meskipun pertumbuhan cenderung melambat pada awal tahun. Menurut dia, investasi pada semester II-2019 akan terbantu dari sisi domestik dan global.
Dari sisi domestik, investasi akan semakin terdorong dengan selesainya pemilihan presiden. Terpilihnya presiden 2019-2024 membuat iklim investasi kembali kondusif karena jaminan stabilitas.
”Pada dasarnya, investor suka terhadap stabilitas dan kontinuitas. Para investor menanggapi pemilu dengan sangat positif. Dalam minggu-minggu pascapemilu, banyak yang mengekspresikan minat berinvestasi. Mereka mulai mencari tahu gagasan baru pemerintah untuk lima tahun ke depan,” tutur Thomas.
Sementara itu, perang dagang AS dengan China juga memberikan potensi pada investasi. BKPM melihat, Indonesia berpeluang merebut pasar China yang selama ini menjadi lahan subur bagi pabrik-pabrik asal AS.
”Pastinya akan ada diversifikasi lokasi pabrik akibat perang dagang ini. Indonesia harus bisa mengambil peluang ini. Karena sudah banyak pabrik di China ataupun Vietnam, mereka mengincar perluasan ke opsi baru, seperti negara-negara di Asia Tenggara dan Bangladesh,” lanjut Thomas.
Akan ada diversifikasi lokasi pabrik akibat perang dagang ini. Indonesia harus bisa mengambil peluang ini.
Dengan situasi mendukung dari domestik dan global, BKPM meyakini, investasi pada sisa 2019 mampu memperbaiki pertumbuhan tahunan. Adapun investasi triwulan memang sangat fluktuatif dan tidak bisa mencerminkan pertumbuhan tahunan.
Lebih dari itu, Indonesia semakin menarik bagi investor setelah mendapatkan peningkatan peringkat status layak investasi dari Standard & Poor’s. Peringkat Indonesia meningkat menjadi BBB dari sebelumnya BBB-.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, menuturkan, pemerintah akan sulit mencapai pertumbuhan investasi hingga 10 persen pada 2019. Penyebabnya adalah penanaman modal asing (PMA) yang melambat.
Pada triwulan I-2019, investasi PMA turun 0,9 persen menjadi Rp 107,9 triliun secara tahunan. Penurunan itu mengikuti tren investasi langsung global yang rata-rata anjlok 20 persen.
”Karena itu, akan sulit tembus dua angka. Topangan kita hanya dari PMDN (penanaman modal dalam negeri). Padahal, porsi PMA terhadap total investasi sangat tinggi,” katanya.
Menurut Abdul, iklim investasi belum sepenuhnya membaik. Investor masih berhadapan dengan kerumitan memulai usaha. Salah satunya adalah kerumitan mengakses sistem perizinan terintegrasi berbasis daring (OSS).
Sistem itu belum terintegrasi dengan regulasi rencana tata ruang wilayah di daerah. Padahal, daerah merupakan tujuan investasi langsung. Dari sejumlah kabupaten dan kota, hanya 10 yang memiliki rencana desain tata ruang.
Untuk itu, pemerintah harus memperbaiki iklim investasi terlebih dahulu. ”Karena masalah fundamental investasi kita terkait dengan korupsi dan tidak efisiennya birokrasi. Ini yang tidak beres-beres,” ucap Abdul.