Perubahan iklim mulai dikenali awal abad ke-20. Suhu udara terdeteksi terus memanas dan es di kutub mulai mencair. Berikutnya, para ilmuwan mulai menelisiknya, hingga kini tercapai konsensus bahwa gas rumah kaca dari aktivitas manusia sebagai penyebab utama perubahan iklim.
Setidaknya, Akademi Ilmu Pengetahuan dari 80 negara telah mendukung perspektif ini. Studi John Cook dan kawan-kawan di Environmental Research Letter (2016) menyebutkan, 97 persen dari 11.944 paper ilmiah terkait perubahan iklim menyetujui bahwa ulah manusia menjadi penyebab utama fenomena yang memicu peningkatan suhu udara hingga 1 derajat celcius dibandingkan tahun 1900-an.
Namun demikian, masyarakat umum belum sepenuhnya mendukung konsensus ilmuwan, dan Indonesia ternyata menempati peringkat pertama yang menyangkal bahwa perubahan iklim disebabkan ulah manusia. Survei yang dilakukan YouGov-Cambridge Globalism Project 2019 di 23 negara menyebutkan, sebanyak 18 persen responden asal Indonesia mengakui perubahan iklim memang terjadi, "tetapi tidak disebabkan oleh ulah manusia".
Indonesia ternyata menempati peringkat pertama yang menyangkal bahwa perubahan iklim disebabkan ulah manusia.
Jumlah ini lebih tinggi dibanding responden Arab Saudi (15 persen) yang menempati peringkat kedua, dan Amerika Serikat (13 persen) sebagai peringkat ketiga. Tidak penjelasan lanjut kenapa Indonesia menjadi juara pertama.
Namun, masih menurut YouGov seperti dipaparkan di The Guardian, sebanyak 17 persen dari responden di Amerika Serikat sepakat bahwa "pendapat bahwa pemanasan global buatan manusia merupakan hoaks yang diciptakan untuk menipu masyarakat". Penyangkalan meningkat seiring bertambahnya usia dan juga ideologi politik konservatif. Sebanyak 52 persen orang Amerika yang menyebut diri mereka "sangat sayap kanan" menegaskan bahwa pemanasan global adalah tipuan.
Sikap ini mengamplifikasi pandangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang menyebutkan bahwa perubahan iklim merupakan rekayasa China (BBC, 26 November 2018). Kalangan politisi di Amerika, terutama dari Partai Republik, memang berkontribusi besar terhadap menguatnya penolakan sains yang belakangan menguat di negeri itu, seperti ditunjukkan oleh survei Pew Research Center/PRC (2015).
Majalah sains terbitan Springer Nature, Scientific American pada November 2012 telah mengingatkan, "Amerika mulai tercerabut dari sains yang menjadi fondasi dan sejarah bangsa." Hal itu terjadi, ketika politisi mengambil posisi sebagai "anti-sains" untuk menarik pemilih dengan, "menentang teori evolusi, perubahan iklim disebabkan oleh manusia, vaksin, sel punca, dan banyak lagi."
Dengan menjadikan Partai Republik sebagai “anti-ilmu pengetahuan", partai ini ternyata sukses menjadikan Trump sebagai Presiden Amerika Serikat yang ke-45. Masih mengacu pada survei PRC (2015), penyangkalan masyarakat Amerika terhadap penyebab perubahan iklim, sangat dipengaruhi preferensi politik dan perspektif agama. Seperti diketahui, pendukung utama Trump adalah penganut Protestan evangelis kulit putih, yang mencapai 80 persen (Washington Post, 2016), dan masih terus mendukung hingga saat ini (PRC, 2018), terutama kalangan perempuannya.
Penyangkalan masyarakat Amerika terhadap penyebab perubahan iklim, sangat dipengaruhi preferensi politik dan perspektif agama.
Nyaris serupa dengan di Amerika, para politisi dan komunitas agamawan di Indonesia juga berkontribusi besar terhadap sikap anti-sains di kalangan masyarakat, mulai dari gerakan anti-vaksin, penolakan metode ilmiah hitung cepat, hingga wacana illuminati terhadap masjid yang didesain lawan politik kelompoknya.
Sekalipun demikian, menyangkut persoalan perubahan iklim, penyangkalan masyarakat di Indonesia kemungkinan tidak se-ideologis di Amerika. Mengacu pada penelitian Center for Strategic and International Studies (CSIS)-Sonoma State University (SSU), isu lingkungan hidup, termasuk perubahan iklim, memang tidak dianggap penting oleh politisi. Dari semua kontestan pemilu, hanya Partai Solidaritas Indonesia yang secara jelas menyebutkan "lingkungan" di dalam visi dan misinya. Demikian halnya, survei terhadap preferensi pemilih di 34 provinsi juga tidak menganggap penting persoalan lingkungan.
Bisa jadi penyangkalan terhadap penyebab perubahan iklim sebagai ulah manusia di kalangan masyarakat kita lebih karena ketidaktahuan. Perubahan iklim memang soal yang sangat kompleks dan wacana ini juga masih elitis, belum terkomunikasikan dengan baik di kalangan masyarakat yang minim literasi. Memang, di era pasca-kasunyatan (post-truth), iliterasi bisa menjadi penyebab mudahnya ideologi anti-sains dan hoaks merasuk dengan cepat di kalangan masyarakat....