Basuki Tjahaya Purnama Pertanyakan Dasar Hukum IMB
JAKARTA, KOMPAS - Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menegaskan Pergub No.206 Tahun 2016 tidak bisa dipakai untuk menerbitkan IMB atas bangunan yang ada di atas lahan hasil reklamasi. Harus ada perda mengenai tata ruang kawasan strategis pantura Jakarta dulu, baru bisa dilakukan penerbitan IMB.
"Kalau pergub bisa untuk menerbitkan IMB, udah lama aku terbitkan IMB," jelas Basuki Tjahaja dalam konfirmasi tertulis melalui pesan Whatsapp, Rabu (19/06/2019).
Baca juga : IMB Pulau D Dikritik
Yang seharusnya terjadi, ujar Basuki, untuk bisa menerbitkan IMB atas bangunan di lahan reklamasi harus ada perda terlebih dahulu.
Ia pun lalu mempertanyakan tindakan Anies Baswedan, Gubernur DKI yang sekarang, yang memilih menerbitkan IMB berdasarkan Pergub No.206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, Pulau D, dan Pulau E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Baca juga : Penerbitan IMB Celah untuk Pendirian Bangunan Baru
Mencermati penamaan pergub itu saja, sudah jelas pergub itu kaitannya ke perda rancangan tata ruang kawasan strategis (RTRKS) pantura Jakarta. Di dalam RTRKS itu juga, ada pasal yang mengatur kontribusi tambahan yang harus dibayarkan pengembang kepada Pemprov DKI. Yaitu pasal yang menyatakan adanya tambahan kontribusi sebesar 15 persen dari nilai NJOP total lahan (hasil reklamasi) yang dapat dijual oleh pengembang.
Dengan adanya pasal itu, Basuki bermaksud mendapatkan sumber pendanaan/pendapatan daerah untuk pembangunan DKI Jakarta (PAD DKI). "Nilainya bisa mencapai diatas Rp 100 triliun dengan kontribusi tambahan 15 persen NJOP setiap pengembang jual lahan hasil reklamasi," jelas Basuki.
Dengan adanya pasal itu, Basuki bermaksud mendapatkan sumber pendanaan/pendapatan daerah untuk pembangunan DKI Jakarta (PAD DKI). "Nilainya bisa mencapai diatas Rp 100 an trilyun dengan kontribusi tambahan 15 persen NJOP setiap pengembang jual lahan hasil reklamasi," jelas Basuki.
Kemudian, bila Anies memilih menerbitkan IMB dengan dasar pergub tersebut dan bukan dengan perda, memilih memasukkan lahan pulau hasil reklamasi sebagai bagian dari daratan Jakarta, serta mencabut RTRKS Pantura, maka DKI Jakarta akan kehilangan potensi pendapatan dari tambahan kontribusi itu.
Basuki pun menyayangkan langkah yang diambil Anies itu. "Anies memang hebat bisa tidak mau 15 persen buat bangun DKI. Sama halnya dengan oknum DPRD yang menolak ketok palu Perda RTRKS Pantura karena pasal 15 persen kontribusi tambahan," kritik Basuki.
Baca juga : Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta Dicabut
Anies Baswedan sendiri, sejak berita tentang penerbitan IMB ramai sejak pekan lalu, sampai hari ini tidak memberikan keterangan lisan. Ia memilih memberikan keterangan tertulis dua kali, pada Kamis (13/06/2019) dan Rabu (19/06/2019).
Semuanya keterangan yang menyatakan Anies menerbitkan IMB atas 932 bangunan berdasarkan aturan. Yaitu berlandaskan pada Peraturan Gubernur (Pergub) No. 121 Tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Pergub No. 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota (PRK) Pulau C, D, dan E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Aturan lain yang dipakai, Keputusan Presiden (Keppres) No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta; Peraturan Daerah (Perda) No. 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura; serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2005 yang memperbolehkan pemerintah daerah untuk memberikan persetujuan pendirian bangunan untuk kawasan yang belum memiliki RDTR dan RTRW untuk sementara waktu paling lama 10 tahun.
Baca juga : Geliat Usaha Tumbuh di Tengah Perkara Izin
Dalam keterangan tertulis kedua sebanyak enam halaman itu, Anies juga mempertanyakan balik mengapa Basuki malah menerbitkan Pergub tentang PRK itu sebelum cuti kampanye pada Oktober 2017, yaitu saat perda RTRKS pantura belum disahkan.
Nirwono Joga, pengamat perkotaan secara terpisah menegaskan, seharusnya dalam situasi seperti ini, baik Pemprov DKI ataupun pengembang ataupun DPRD DKI harus menyepakati status quo. Dengan status itu, artinya semua pihak menahan diri untuk tidak membangun ataupun menerbitkan aturan ataupun IMB.
Nirwono Joga, pengamat perkotaan secara terpisah menegaskan, seharusnya dalam situasi seperti ini, baik Pemprov DKI ataupun pengembang ataupun DPRD DKI harus menyepakati status quo. Dengan status itu, artinya semua pihak menahan diri untuk tidak membangun ataupun menerbitkan aturan ataupun IMB.
"Status ini sebaiknya sampai anggota DPRD DKI yang baru dilantik," jelas Nirwono.
Sambil menunggu DPRD yang baru, tentu saja Pemprov DKI mesti menuntaskan pekerjaan rumahnya. Yaitu penyelesaian rancangan perda RTRKS Pantura dan RZWP3K yang dicabut pada akhir 2017. Anies Baswedan sendiri juga harus membatalkan IMB yang terbit dan Pergub tentang PRK tersebut.
"DPRD pun harus ada di tengah. Kalau Pemprov DKI tidak mau membatalkan IMB sementara Pemprov berupaya mengajak DPRD membahas raperda sebaiknya dewan menolak. Karena itu sama saja Pemprov DKI melecehkan DPRD DKI, membahas aturan tapi sudah ada IMB," jelas Nirwono.
"DPRD pun harus ada di tengah. Kalau Pemprov DKI tidak mau membatalkan IMB sementara Pemprov berupaya mengajak DPRD membahas raperda sebaiknya dewan menolak. Karena itu sama saja Pemprov DKI melecehkan DPRD DKI, membahas aturan tapi sudah ada IMB," jelas Nirwono.
Darjamuni, Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian DKI Jakarta menyatakan bila RTRKS dicabut maka sekarang yang sedang dikerjakan menyelesaikan raperda RZWP3K. "Draftnya sudah diserahkan ke biro hukum untuk proses verbal," jelasnya.
RZWP3K itu lebih mengatur ke ruang perairan. "Karena itu adalah dasar dari semua untuk kita untuk mengatur perijinan dan pemanfaatan ruang perairan. Ada zona pemanfaatan, strategi, semuanya ada disitu. Udah ada petanya," jelasnya.