Apa hubungan antara pilihan politik, genetika, kecerdasan emosi, dan hoaks? Dalam diskusi akhir pekan lalu, tautan di antara hal-hal itu dibahas secara menarik oleh para pembicara yang hadir.
Oleh
INGKI RINALDI
·4 menit baca
Apa hubungan antara pilihan politik, genetika, kecerdasan emosi, dan hoaks? Dalam diskusi ”Kecerdasan Buatan dan Biopolitik: Membangun Manusia Indonesia Kebal Semburan Dusta”, akhir pekan lalu, tautan di antara hal-hal itu dibahas secara menarik oleh para pembicara yang hadir.
Batu pijak diskusi ini ialah konsepsi biopolitik, yang secara sederhana bisa dipahami sebagai pertautan antara biologi manusia dan politik. Michel Foucault, dikutip dari The Birth of Biopolitics: Lectures at the College De France, 1978-1979, menyebut biopolitik sebagai upaya rasionalisasi persoalan yang ditimbulkan dalam praktik pemerintahan sejak abad ke-18. Persoalan itu menyusul fenomena yang dikarakterisasi dari makhluk hidup yang membentuk populasi.
Diskusi saat itu dihadiri Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia yang juga politikus, Budiman Sudjatmiko; pakar neurosains Ryu Hasan atau Roslan Yusni Hasan; pakar teori kompleksitas dari Bandung Fe Institute, Hokky Situngkir; dan kandidat doktor bidang rekayasa genetik dari Universitas Oxford, Inggris, Muhammad Hanifi.
Hanifi yang menjadi pembicara setelah Budiman mengatakan, saat ini sedang ada gairah di kalangan ilmuwan genetik untuk membuktikan ada tidaknya kaitan antara pilihan politik dan informasi genomik dalam tubuh manusia. Ia menyatakan, hingga sejauh ini bukti yang mengaitkan kedua hal itu masih sangat lemah.
”(Namun) Ketika sequencing (pengurutan) DNA, (biayanya menjadi) lebih murah, (maka) akan lebih mudah menemukan link (hubungan) tersebut,” kata Hanifi.
Saat ini, biaya pengurutan kode DNA manusia sudah turun drastis sejak 1990-an dan diperkirakan akan makin turun. Penurunan biaya dan makin teraksesnya pengurutan DNA manusia akan menjadi teknologi yang akan mendasari perkembangan lain di bidang medis. Hanifi mengibaratkan hal itu sebagaimana teknologi rel kereta api, yang mendasari pula kenaikan bisnis kartu pos menyusul dapat diaksesnya lokasi-lokasi baru.
Kecerdasan emosional
Ryu menyinggung politik dan hal-hal tentang kehidupan yang cenderung mengutamakan kemampuan otak kognitif rasional. Padahal, kecerdasan emosional jauh lebih penting untuk hidup ketimbang kecerdasan rasional. Karena itu, kecerdasan emosional yang terkait dengan latihan terhadap bagian otak emosional relatif dibutuhkan dalam berpolitik. Hal ini, antara lain, berguna dalam menangkal semburan informasi palsu dan dusta yang saat ini hampir setiap saat diterima.
Menurut Ryu, lebih dari 90 persen tindakan manusia didorong otak emosional alih-alih otak logis. ”Kita (manusia) selama ribuan tahun didorong oleh emosi, dan ini yang mendorong kita untuk survive,” kata Ryu.
Dalam proses itu, ujarnya, yang dilihat bukan perkara benar atau salah. Akan tetapi, yang dikenali lebih pada pola-pola tertentu. ”Kita (manusia) hanya perlu selamat atau enggak. Bukan lihat salah atau enggak,” ucapnya.
Ia mencontohkan ketakutan sebagian manusia terhadap hewan tertentu, bahkan sejak kanak-kanak. Padahal, hewan itu belum tentu berbahaya. Pada sisi lain, ada hal yang lebih berbahaya, misalnya stok kontak listrik, tetapi justru dianggap tidak berbahaya.
Ini disebabkan ketakutan yang sudah terbenam dalam memori genetik selama ribuan tahun dan berwujud dalam keputusan yang sifatnya cenderung emosional. Sementara ancaman lain yang bahayanya lebih nyata, seperti stop kontak listrik, belum terekam di memori genetik karena baru hadir di ingatan manusia selama rentang generasi yang tidak jauh.
Ini menimbulkan pertanyaan mengenai upaya untuk menghadapi atau bahkan memberantas hoaks, misalnya. Sebab, ada kemungkinan keyakinan karena ketakutan sebagian manusia terhadap informasi yang belum jelas merupakan salah satu kemampuan tersimpan dalam kode dan struktur DNA sejak ribuan tahun lalu sebagai mekanisme bertahan hidup.
Terkait dengan hal itu, Ryu menyoroti pentingnya kecerdasan emosional dilatih. Hal ini terutama terkait dengan preferensi politik seseorang dan kecenderungan penyebaran hoaks.
”Apakah pilihan politik seseorang berpengaruh terhadap hoaks? Tidak, dan sayangnya hoaks tidak ada penangkalnya,” katanya.
Meski demikian, ia menggarisbawahi, untuk menghadapi hal itu diperlukan penyadaran terhadap elite bidang pendidikan terkait konten pendidikan emosional, sosial, dan ekologikal. Ryu menuturkan, keputusan politik merupakan kecerdasan sosial sebagai bentuk kecerdasan emosi yang lantas menjadi kecerdasan ekologi. Pada akhirnya, hal itu menjadi kultur dalam berbangsa dan bernegara.
Dalam politik yang sebagian di antaranya terkait bagaimana cara memengaruhi orang lain, kata Hokky, ini mewujud pada peran yang tidak lagi melulu fokus pada aktor politik. Namun, juga influencer yang bisa ”meretas” otak manusia dengan konten yang tepat, waktu yang tepat, dan tempat yang tepat.