KENDARI, KOMPAS Sepanjang tahun 2018, 50 izin pinjam pakai kawasan hutan untuk industri tambang seluas 43.638 hektar dikeluarkan di Sulawesi Tenggara. Izin terbanyak di Kabupaten Konawe Utara, yaitu 23 izin dengan luas 10.158 ha.
Sebagian besar konsesi itu untuk tambang emas, nikel, dan aspal. Dari jumlah itu, baru empat perusahaan yang merehabilitasi lahan kritis.
”Dari 23 izin itu, dua izin baru eksplorasi, artinya tidak wajib merehabilitasi lahan. Belum semua lahan benar-benar diolah perusahaan. Kami terus mengawasi penggunaan hutan,” kata Subandriyo, Kepala Dinas Kehutanan Sultra, Selasa (18/6/2019). Ia menjelaskan, izin pinjam pakai kawasan hutan dikeluarkan Kementerian Kehutanan melalui proses panjang. Dinas memberi pertimbangan teknis, gubernur memberi rekomendasi.
Beberapa hari ini, wilayah Konawe Utara jadi salah satu lokasi banjir terparah di tujuh kecamatan, empat di antaranya terisolasi. Banjir Sultra juga merendam tiga kabupaten di luar Konawe Utara dengan ribuan orang mengungsi.
Menurut Subandriyo, kondisi hutan di wilayah Sultra masih relatif baik. Ia menilai, banjir besar itu karena curah hujan tinggi, topografi wilayah yang landai, dan sebagian besar jenis tanah yang mudah jenuh.
Namun, pemkab tidak menafikan adanya lahan kritis di wilayah hutan sekitar 300.000 ha. Perambahan dan alih fungsi hutan juga terjadi dalam kurun waktu yang lama.
Sejumlah pihak yakin bahwa banjir parah lebih dari dua minggu dengan ketinggian air hingga 4 meter itu terkait rusaknya kawasan hutan di hulu dan kritisnya kondisi DAS. Pembukaan area untuk industri pertambangan dan perkebunan diduga kuat jadi penyebab.
Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Sultra, sejak 2001 sampai 2017, wilayah Konawe Utara kehilangan 45.600 ha tutupan pohon. Pertambangan dan sawit juga mengubah hutan primer seluas 954 ha dan hutan alam 2.540 ha.
”Untuk contoh, pertambangan di Konawe Utara saja ada sekitar 200.000 ha lahan masuk dalam izin usaha pertambangan. Padahal, luas wilayah kabupaten ini hanya sekitar 500.000 ha. Belum lagi maraknya tambang ilegal dan illegal logging. Pertanyaannya, mengapa izin pertambangan terus dikeluarkan, sementara kondisi hutan dan lingkungan kita sendiri kritis?” kata Direktur Eksekutif Walhi Sultra Saharuddin.
Pemerintah didesak menyelesaikan secara menyeluruh penyebab banjir parah saat ini. Revisi izin menggunakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) adalah beberapa hal yang direkomendasikan. (JAL)